Bahasa, Seni, dan Budaya

Selasa, 18 Agustus 2009

Yang Ulet Yang Berhasil


Terkabarkan kepadaku tentang anak muda. Tubuhnya tegab, berbidang, dan kekar. Wajah pun lumayan. Nggak merugikan bagi orang yang kenalan dengannya. Namun sayang, ia sangatlah pendiam benar, karenanyalah banyak orang yang enggan kenalan dengannya. Termasuk kaliankah atau aku ....?

Kita pun tahu, kalau terlalu pendiam, kita nggak bakalan banyak teman, bahkan kita akan rugi sendiri. Begitu pula dengannya. Lebih-lebih setelah orang mengetahui bahwa dia termasuk kelompok keluarga kere alias nggak memiliki apa-apa. Yang pasti, dia nggak kekurangan makan, begitu harapannya.

Suatu ketika hatinya berselimut duka. Orang tuanya telah berpulang. Adiknya banyak dan masih kecil-kecil. Namun begitu, ia masih bersahaja, sebab masih ada nenek yang mengasuh adik-adiknya tercinta. Cuma dia yang ogah tinggal bersama nenek. Maksudnya benar, pemuda itu tidak ingin memberatkan beban yang kian menumpuk gunung. Lebih baik berusaha sekuat tenaga daripada menyusahkan orang lain. Nah, tekadnya telah bulat. Nggak ada yang bisa menghalanginya lagi. Kalaupun nantinya menderita, itu sudah takdir bagiku, pikirnya mantap.

Hari dan waktu terus bergulir tanpa menoleh ke belakang, menunggu, atau menantikan kita jalan berbarengan. Waktu terus jalan sendiri. Tanpa terasa ia telah lelah berkeliling kota mencari setitik harapan. Peluh bercucuran dan wewangian tak sedap menguak ke permukaan. Jadilah dia kayak manusia gembel, makhluk terlunta-lunta tanpa ada yang peduli. Cemoohlah kini yang diterimanya. Terlanjur basah hendak dibilang apalagi. Kita juga nggak bisa mengubahnya kalau bukan dia sendiri.

Hari itu lelah terus semakin menjadi-jadi. Perut minta diisi, namun uang yang dibawanya dari kampung tidaklah cukup untuk membelinya. Terpaksalah ia merelakan dirinya mengutip nasi buangan yang ada di tong sampah pinggir jalan. Berjalan dan terus berjalan hingga berhenti tepat di depan kedai nasi.

“ Hai anak muda, mengapa engkau makan nasi yang di tong itu ? Sedari tadi aku lihat kau begitu. Sayang, kamu masih muda. Mengapa engkau lakukan itu semua ?” tanya si Penjual Nasi.

“ Aku lapar, Bang. Mau beli nasi tak ada ...” jawabnya sembari merapatkan jari telunjuk dan jempolnya.

“ Kalau kamu lapar, bilang. Jangan malu-malu. Sini ....!” ajaknya.

Pemuda itu pun duduk di kursi kedai dan diberinya makan. Lahap sekali makannya. Ia nggak pedulikan lagi orang-orang yang memandangi cara makannya.

“ Dik, kamu tidak punya famili di sini ?” tanya si punya kedai setelah pemuda itu selesai makan.

“ Ada, Bang, tetapi jauh di pelosok kampung. Nenek dan adik-adikku yang masih kecil.”

“ Daripada begitu lagi, bagaimana, apakah kamu mau kerja di sini, bantu-bantu abang ?”

“ Oh, maulah, Bang. Terimakasih, Bang. Itu yang kuinginkan.”

“ Kerjamu tidak berat kok. Kamu cukup cuci piring saja. Setiap seratus piring, kamu kuupah lima ribu rupiah. Lagian kamu juga boleh makan sepuasnya setelah selesai kerja.”

Kerja itu digapainya juga. Tetapi, bosannya datang lagi. Kerjanya yang telah memberinya uang cukup, ditinggalnya. Katanya sih ingin mengubah nasib.

Rembang pun telah berganti mengentakkan jejaknya ke pinggir dermaga. Di situ anak muda melongo, terheran-heran bagai kambing masuk kota. Kapal-kapal bersandar dan buruh sibuk bekerja demi sesuap nasi. Keinginan mendapat pekerjaan diutarakan kepada mereka, namun cincu ogah menerima.

“ Maaf, tidak ada lowongan kerja “

Hatinya kian pilu, panas terus menyengat, dan dahaga semakin memuncak naik. Kering kerongkongan, lapar melilit-lilit. Siapa yang ingin membantu........ ? Siapa.........? Tolonglah.........!

Saat-saat bingung, ada supir mengajaknya menari, menawarkan pekerjaan. Kontan saja anak muda itu mau. Mungkin inilah harapan hidup barunya. Kerja berat menurunkan peti-peti kemas itu pun diterimanya. Nggak peduli siang atau malam. Yang penting perutku teisi, pikirnya.

Kerja yang digapai nggak bertahan lama. Majikan tak sudi lagi sebab kerugian terus melilit dahi. Apalah daya, nasib...................!!!

Hari itu juga ia balik lagi ke dermaga. Dia melihat kapal-kapal asing yang bersandar di situ. Pemuda itu masuk ke dalam dengan sembunyi-sembunyi dan berdiam diri di ruang mesin kapal.

Lama setelah itu, kapal berlayar menuju laut lepas. Tiba-tiba saja kapten kapal turun ke ruang mesin. Ia mengecek ke dalamnya.

“ Hei, kerja apa kauuuuu ?”

“ Maaf, Tuan. Aku lapar......”

“ Lapar......??!! Makan mau, kerja dulu. Oke ....?”

“ Ya.”

“ Itu kapal, cat !”

Sepanjang perjalanan ke negeri jiran, kerja itu yang dilakukannya. Akhirnya ia terdampar di sana.

Di negeri jiran itu, lagi-lagi ia terlunta-lunta, tetapi untunglah masih ada sisa uang pemberian si bule kapten kapal. Dalam terdamparnya kerap ia termenung sendiri.

Pulang ke pondok malu menguat. Mau tidur gratis nggak mungkin sebab kocek sewaan terus meminta. Oi........ke mana mau dicari. Rezeki susah didapat. Namun ia ingat pesan sang Guru. Kalau mau berusaha, pasti ada hasil. Hitung punya hitung mungkin benar. Nekatnya muncul seketika.

“ Kerja kasar.........?”

“ Ya, pasti jijik. “

“ Kasih tahulah kami, mungkin kami bisa bikin pelajaran.”

“ Oke......!”

Di Kampung Keling, si pemuda menyaksikan orang muda hilir mudik dengan timba berisi cairan. Baunya minta ampun. Kotoran manusia penhuni rumah. Alamak.....!! Si pemuda tergopoh-gopoh menghampiri lelaki tengah baya.

“ Boleh aku ikut kerja sama abang ?” tanyanya nekat.

“ Boleh, kalau kau mau. Upahnya tidak banyak, limpul seember.”

Dia nggak mikir lagi. Langsung diterimanya. “ Aku mau, Bang. Kerja kasar tidak mengapa, yang penting halal, hasil keringat sendiri. Cukup untuk makan.”

Kian waktu hidupnya terus berubah. Kerja membuang tinja jadi santapannya kini. Hingga peluh yang keluar tak dirasakannya. Koceknya semakin penuh dan tidak perlu sewa rumah, sebab majikannya yang ini baik hati. Dengan sabar sebagian rezekinya ia kumpulkan, sisanya buat makan, serta mengirim uang buat adik-adiknya di lain desa. Betapa bahagianya mereka menerima uang yang tidak disangka-sangka.

“ Nek.........Nek......, abang kita sudah kerja ........!!! Abang sudah kerja, Nek......!”

Bocah-bocah cilik sebayaku berteriak keras sehingga nenek yang pulas terbangun karenanya.

“ Ada apa, Cu ?”

“ Abang sudah kerja, Nek.”

“ Di mana ?”

“ Di kota, Nek.”

“ Ya, syukurlah, semoga abangmu itu bagus dan jadi orang yang sadar akan kemampuannya. “

“ Semoga sajalah, Nek ! Abang bisa kembali dan kumpul bersama kita di kampung.

Nah, nyata benar doa mereka diterima dan dikabulkan Tuhan. Malam-malam ia sibuk membuat pekerjaan tangan mengukir kayu di pondok kecil milik majikannya.Sedikit-sedikit dikerjakannya. Peralatan sederhana pun akhirnya dibeli juga dari hasil tabungannya. Uletnya nggak bisa kubilang lagi. Kerja sampingan itu digelutinya seperti ia menyayangi dirinya sendiri. Sampai akhirnya ia kembali ke kampung halamannya.

Di kampungnya sendiri, kerja mengukir itu terus berlanjut. Beruntung besar dia. Mula-mula seorang bapak tetangganya yang membeli, lama-kelamaan berjubel orang bertandang ke situ. Keadaan itu yang membuatnya semakin giat membuat ukiran berbagai macam.

Hari ke hari pesanan kian bertambah, tentunya kocek bertambah penuh pula, namun tidak membuatnya congkak. Lihatlah, sekarang anak muda itu tidak sendirian lagi mengukir kayu, melainkan anak-anak muda sekitar rumahnya turut dibinanya, bekerja padanya, dan mereka tinggal bersama dalam rumah sederhana miliknya sendiri. Pekerjaan membuang tinja dulu itu ditinggalkannya sudah. Dia nggak mau mengingatnya lagi. Kini pemuda itu telah beralih profesi menjadi pengukir kayu di kampungnya.

Disegani dan dihormati karena budi baiknya. Digugu dan ditiru karena ketulusan dan keikhlasan membantu orang-orang kesusahan. Keuletan yang patut diteladani dan ditiru agar kita berhasil meraih cita-cita.

Akhirnya selamatlah ia dari duka dan nestapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar