Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 21 Agustus 2009

Berkorban Demi Harga Diri

Musim kemarau berganti sudah. Rakyat nggak perlu sibuk mencari teduhan dan nggak repot cari pelepas dahaga. Kini sedang hujan. Warga berpayungan menuntut ilmu. Baik yang miskin atau kaya. Semua bekerja dan belajar agar tak menyesal nanti. Kodok-kodok dan ikan-ikan berteriak gembira. Bahagia bisa menikmati kemenangan. Cuma semut yang rada malu untuk keluar rumah. Soalnya, takut pada air yang melimpah. Langkah gontainya diikuti kambing yang lari terbirit-birit nggak tentu arah sebab ketakutan telah memuncak naik.
“ Si Kerbau bagaimana ?” tanya tetangga yang suka usil.
“ Wah, dia terlihat riang mandi-mandi dan menyenangkan dirinya sendiri. Inginnya hidup di atas penderitaan orang lain. Kalau dia telah berada di kubangan, otomatis ikan-ikan kecil yang berada di dalamnya seakan hilang nafas sekejap.”
“ Kasihan, kok teganyalah dia......!” kata burung pipit heran.
“ Wah, itu sih belum apa-apa bila dibandingkan dengan Singa. Dia akan terus menindas yang lemah, nggak pandang bulu, tua, muda, besar, kecil, atau si miskin yang menjerit. Semua disikatya, kecuali dari keluarganya sendiri. Mereka akan terus dibantunya sebisa mungkin !” ujar Kodok.



“ Benar yang dibilangnya. Kalau telah banyak keluarganya yang ia tolong, maka ia semakin lantang berteriak. Teriakannya mampu menembus hutan belantara, pujian pun segera singgah di pundaknya. Engkau baik, engkau baik, pantaslah jadi pemimpin,” kata Raja Hutan.
Mendengar kata penuh pujian itu, Singa cuma bisa mendelik dan cengar-cengir karena dia yakin tentunya raja hanya tahu menatap dari luarnya saja. Dari dalamnya bagaimana ? Cuma Singa saja yang mengetahuinya.
Suatu ketika, kodok, ikan, semut, kerbau, dan binatang lainnya tengah bermusyawarah. Musang dan konconya cari ulah.Musyawarah jadi berantakan nggak karuan gara-gara persoalan sepele. Semua kecewa, kesal, kegembiraan hilang seketika. Padahal, Dik, beberapa warga di antara mereka telah berjaya mengangkat nama baik warga menjadi terbaik antar rukun warga.
Hari itu suasana semakin kacau, rumit, dan berbelit-belit. Memang usul begitu banyak berdatangan, namun sayang, banyak pula yang ditolak mentah-mentah sama Bos Singa. Si Kodok hanya bisa berkoak tetapi nggak mampu berbuat banyak karena hidup di bawah ketiak tempurung. Ikan dan semut diam nggak berani buka mulut karena mereka rakyat kecil yang nggak pernah diperhitungkan.
“ Lantas, siapa yang akan melunakkan egoisme si Macan Bos itu ? “ Mereka bertanya-tanya dalam diri sendiri.
“ Kalau dibiarkan tindakan Singa yang tak memikirkan baik buruknya sesuatu, maka yang rugi adalah rakyat juga. Sia-sia mereka telah berupaya mengangkat nama baik warga namun tak bersambut kehangatan nan mesta. Apapun yang mereka kerjakan senantiasa dikatakan salah. Inilah hidup yang serba susah,” teriak ikan-ikan.
Saat itu muncul si Kancil. Dia coba menantang kebijakan Bos Singa dengan suara lemah lembut.
“ Hei Bos Singa, kita tak bisa memutuskan dengan bertepuk sebelah tangan. Hidup tidak sendiri, tetapi harus pula melihat kepentingan bersama. Mereka yang mengangkat nama kampung hutan sepatutnya kita dukung, bukan sebaliknya memperlambat kemajuan dan keinginan dengan menindas perlahan-lahan.”
“ Ala.........., pintar-pintaran kau. Yang mengatur di hutan ini kan aku, bukan kau. Semua keputusan ada di tanganku !” jawab Bos Singa lantang.
“ Memangnya keinginan bos bisa terpenuhi kalau kami enggan ? Mikir........, mikirlah, jangan mau menang sendiri. Perasaan orang dan tanggung jawabnya harus diperhatikan. Oke, okelah, seandainya kau mau, mungkin upaya yang dilakukan jauh dari hasil, bahkan mungkin semua akan diam membisu, dan Bos Singa akan ketiban pulung. Warga kita nggak akan maju. Kita juga akan dikucilkan dari segala kegiatan, “ balas Kancil mantap.
Adik-adik manis. Perkataan halus si Kancil bikin mumet ( pusing ) Bos Singa. Duduk salah berdiri pun salah. Ia bingung tidak karuan. Biarpun begitu, yang paling bingung si Ikan, Udang Kecil, dan Kodok. Soalnya, keberangkatan mereka telah di ambang pintu, namun uang makan belum juga ke tangan. Banyaklah macam alasan yang mencuat ke permukaan.
“ Maklumlah, kata si Kancil. Bos Singa kikirnya bukan kepalang. Kalau sudah begini, yang repot kita juga. Yang parahnya, kalau kalah kita disuruh pulang.”
“ Lantas, yang jaga warga kecil kita di medan laga siapa ......?? Emangnya kita harus lepas dari tanggung jawab.....?? Begini, kita harus pergi dan pulang bersama dengan kekuatan sendiri, ketimbang mengorbankan tanggun jawab, “ kata Ikan Teri mantap pula.
“ Benar yang diucapkan warga kampung. Kalau menang kita disanjung, kalau kalah nggak ada yang open. Dibiarkan merana begitu saja. Tetapi, kalau menang, itu kan karena aku, karena aku......! Si Bos Singa nggak ngerti kalau kemenangan itu diraih dengan perjuangan. Tanpa dukungan, mustahil kemenangan bisa diraih. Oleh sebab itu, kita harus bersatu. Biar dengan kocek sendiri, nggak apa, yang penting, harga diri masih utuh. Jangan dikira kita makan duit melulu. Biar mereka tahu, dengan kocek sendiri, kita mampu mencapai kemenangan,” ucap Kodok penasaran.
Mendengar semua itu, binatang hutan pada ngakak semua. Ha........ha......ha...... dan kemenangan itu memang nyata adanya. Terbuktikan.........????!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar