Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 21 Agustus 2009

Merajut Benang Persaudaraan

Aku punya ayam banyak sekali. Ada jantan dan betina. Mereka riang sepanjang hari. Hidup berteman berkasih-kasihan. Bertolong-tolongan dalam suka dan duka. Berbaik hati dan tidak pula iri hati.
Ayamku Lurik namanya. Tubuhnya berwarna-warni. Temannya juga banyak. Ada si Putih, Hitam, Merah, dan si Belang. Semua gembira bisa bermain bersama. Sekali waktu mereka terbahak mendapat makanan lezat tak terbilang.
“ Oi...mak, kalau begini terus, bisa kaya mendadak kita nanti. Dapat sedikit berbagi-bagi, apalagi banyak, tentulah bersuka hati.” Begitulah pikiran teman-teman sekapal, riang dan bernyanyi menjadi santapan sehari-hari.
Si Lurik bertubuh kecil. Giat bekerja dan suka membantu. Membantu sesama warga sangatlah digemarinya. Terlebih kepada keluarga sendiri. Enggak pernah bikin ribut. Nggak pernah bikin susah orang tua. Sedari kecil, ia menurut kata-kata orang tuanya. Nggak pernah membantah dan tak banyak permintaan. Apa yang disediakan ayah dan ibu, itu yang ia makan. Sebab, ia tahu itulah rezeki yang ada.
Pagi-pagi sekali si Lurik sudah bangun. Kalau bangun, ia nggak pernah dibangunkan orang tuanya. Bahkan ia pula yang jadi penghulu dalam keluarga. Begitu bangun, si Lurik langsung sujud kepada Tuhan. Dengarlah, Dik, puja-pujinya.
“Kukuru...yuk...!Kukuru...yuk..!Kukuru...yuk !”Begitu syahdu doanya. Merdu terdengar bertalu-talu. Rintihan doanya terdengar kemana-mana. Sampai-sampai ia menitikkan air mata kerinduan, ketakutan, dan kesedihan.
“Oi..manusia..!Oi..manusia..!Bangunlah...bangunlah!”Begitu kira-kira ucapannya.
Sadarlah kita bahwa dia itu sayang sama kita. Si Lurik sayang karena dia takut nanti siksa pedih Yang Kuasa mampir menggerogoti jiwa berjiwa. Lebih cepat dari perkiraan semula. Bagitu baiknya ayamku, ayam kita, ayam kamu. Sampai kini pun orang-orang masih suka kepadanya.
Semua orang menyukai Lurik. Suaranya yang merdu bagai nyanyian bekisar. Nyanyian-nyanyian rindunya bikin orang berebutan. Di pasar, di rumah, di mana-mana, semua mencarinya. Mencari daging gorengnya. Merasakan nikmatnya kuning telur keluarga Lurik. Oi..., betapa banyak telur-telur itu. Besar-besar dan kecil-kecil. Bulat lonjong dan berpipih.
Senja terus menepi. Si Lurik tetap menanti kekasihnya menghadirkan bayi mungil kepadanya. Hatinya gusar bercampur resah. Kini dua puluh satu hari telah bergulir. Sudah saatnya...Benar juga tebakannya. Si imut-imut nongol juga. Mereka riang diasuh bunda terkasih. Mereka bermain dan bercanda.Tepuk dada tanya selera.
“Ah, begini saja aku bahagia. Biar rumah sederhana, yang penting kesehatan terjaga. Pak, biarkanlah anak-anak bermain. Jangan kungkung mereka. Biarkan hidupnya bebas merdeka asal terus kita awasi ke mana mereka pergi !” kata si Ibu.
Suatu ketika rembang senja telah menyapa. Anak-anak telah berkumpul duduk menanti papa tercinta, tetapi si Lurik Kecil belum kembali juga. Si Bunda ingin menjerit keras namun tak kuasa. Hanya bapak yang sanggup.
Tetangga dekat berdatangan ke rumah. Mereka ingin menolong namun ke mana harus mencari.
“ Ke mana Bapak....? Ke mana Bapak ?” isaknya terus. “Dia masih kerja di tengah ladang, mencari makan untuk keluarga, kerjanya dari pagi hingga petang,” sahut anak tertua.
Itulah kerjanya nggak pandang siang maupun pagi. Yang penting, pulang kerja keluarga dapat makan. Sehat badan, sejahtera sepanjang waktu. Tetapi hari itu..........
Saat itu juga si Lurik keliling kampung. Dicarinya si buah hati. Oi..betapa terkejutnya ia. Didapatinya si Lurik Kecil tengah merintih duka. Di dekatnya menggelepar seekor ikan mujair minta tolong.
“Aku tak kuat menolongnya, Pak !” Tolong dia, Pak ! Kasihan dia, rumahnya tadi kebanjiran. Kasihan, Pak !” rintihnya memelas. Karena ibanya si Lurik ikut membantu mengangkat.
“Duh, terima kasih sahabat.Terima kasih, Mungil.!” katanya seraya menjabat tangan si Lurik Kecil. Mendapat jabatan tangan erat tersebut, si Lurik Kecil ikut bangga pula.
Kini, bertahun sudah keakraban mereka. Riang bermain. Sekali waktu si Lurik Kecil mengunjungi temannya. Begitu pula janjian bertukar. Mujair pindah ke rumah majikan Lurik Muda. Bentuk rumah lebih menarik. Terhias kembang warna-warni. Tanpa sengaja Lurik Kecil menghampirinya. Ia nggak tahu kalau telaga kecil itu rumah temannya saat ini.
Hari itu hujan turun gerimis. Tetangga sebaya banyak yang bertandang ke rumah Mujair. Si Lurik Kecil menyaksikannya. Membangkitkan keinginan untuk bermain pula. Satu, dua, tiga, mereka mencebur ke telaga. Hop..hop..hop...., asyik..!
Si Lurik Kecil nggak mau kalah. Ia melompat. Hop..hup...hup..e..e..eg. Tangisnya jelas. Ia merintih sampai sepi menjelma.Ia mau mengepakkan sayap namun tak kuasa, maklumlah sudah terlanjur basah. Kakinya juga tak punya sirip. Ya..sudah, nafas ngos-ngosan, mulutnya didongakkan hanya untuk menghirup udara. Kalau tidak, duh...
Menyaksikan pemandangan yang tak enak itu, Mujair langsung mendekat.
“ Kau.., kau..sahabat..?! “ katanya pelan.
“Hei,kau..kau .. Jair..?! Tolong aku, Jair. Kakiku...ah...nggak bisa kuangkat lagi ! “
“ Duh, kasihan.... kalau tak bisa berenang, jangan main-main !” kata Jair iba.
“ Tetapi, kawan-kawanku yang lain..?” tanya Lurik Kecil heran.
“ Lha, mereka kan punya pelampung. Kamu tidak. Ayo, sekarang berdirilah di punggungku. Aku akan antar kamu ke seberang !” pinta Jair lembut.
Si Lurik Kecil nongkrong di pundak Mujair. Selamatlah dirinya. Bahagia hatinya.
“ Terima kasih kawan. Engkau baik sekali padaku. Untung ada kamu, kalau tidak, nyawaku telah melayang jauh.” puji Lurik Kecil bangga.
“ Sama-sama, Lurik. Engkau juga sahabatku yang baik. Aku menolongmu karena aku tak ingin melihat kawan merana.”
“ Betul, Jair. Kita hidup harus saling...”
“ Membantu, kan ......?”
Keduanya tertawa riang sambil berangkulan merajut benang persaudaraan, meskipun berlainan jenis keturunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar