Bahasa, Seni, dan Budaya

Selasa, 18 Agustus 2009

Tukang Becak

Cuaca hari ini tenang, tidak terlalu panas. Orang-arang pun senang ke luar rumah. Mereka tidak perlu berpayungan untuk menghindari panas seperti biasanya. Para pekerja pun leluasa menggerakkan tubuhnya memecah batu di tepi jalan, mengemudikan kendaraan mengantarkan penumpang, dan mengantarkan anak-anaknya ke bangku sekolah. Semuanya bersahaja, gembira, bersenang-senang, tetapi tidak bagi seorang lelaki kere seperti Ucok.

Lelaki itu tengah memikirkan nasib hidupnya yang tidak pernah mendapatkan keuntungan banyak. Setiap hari penghasilannya selalu pas-pasan saja. Cukup untuk makan dan membayar biaya sekolah adiknya di kampung nun jauh di balik gunung Bukit Barisan Sumatera Utara sana. Namun aneh, walaupun merenung, ia tidak pernah menyesali nasibnya, tidak menyalahi siapa-siapa, dan tidak berburuk sangka. Ia senantiasa tetap bersyukur kepada Allah. Cuma yang dipikirkannya bagaimana mencukupi biaya sekolah adiknya, dan makannya, itu saja.

Sebagai lelaki tertua, anak itu sudah harus memikul tanggung jawab yang seharusnya belum dipikulnya. Siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan dia. Kedua ibu bapaknya sudah lama tiada. Kasihan sekali lelaki itu, sampai-sampai sekolahnya nggak sempat tamat. Soalnya, kedua adiknya saat ini tinggal bersama neneknya yang tak memiliki apa-apa dan tidak bekerja pula.

Hari itu telah pukul sepuluh. Uang belum juga didapatnya. Ia masih terduduk lesu menunggu penumpang di depan persimpangan dekat Mesjid Raya Medan. Sementara temannya yang lain terus berlomba mengantarkan penumpangnya.

“ Asyik, kami dapat lagi. Kamu, Cok, bagaimana ? “ ledek teman-temannya yang lain.

“ Antar kalian dululah. Kalau aku sabar saja. Sebentar, nanti juga ada,” jawabnya merendah dan tersenyum.

Ia tampak begitu pasrah dengan kehendak dan keputusan Allah. Hatinya tetap tawakal memuja-muji kebesaran Yang Kuasa. Lelaki itu seakan menepis perkataan orang bahwa kita harus banyak-banyak mencari penumpang , mengejar uang,dan keuntungan.

“Yang penting aku telah berupaya menanti penumpang di sini, aku tidak ingin rakus, mengejar sampai ngos-ngosan. Sebab Allah sudah menetapkan rezeki umat-Nya masing-masing menurut kadar yang telah ditentukan,” pikirnya sambil bertasbih kepada Allah.

Benar apa yang dikatakannya. Tak lama kemudian seorang lelaki menghampirinya. Tubuhnya tinggi besar, berkulit putih, bercelana pendek, berkaos oblong, dan membawa ransel besar di pundaknya. Matanya sipit. Rambutnya pirang kemerah-merahan.

“ Antar saya ke Hotel Sumatera, Bang !” katanya dengan logat keinggris-inggrisan.

“ Baik. Ayo, naik !” jawab Ucok lembut.

“ Money.....? “ tanya si Bule.

“ Murah saja, terserah, Tuan !” jawab Ucok lagi.

Dalam perjalan singkat itu, Ucok sempat bercerita dengan si Bule.Ternyata dia mahir sekali berbahasa Indonesia. Si Bule tersenyum-senyum saat bicara. Hatinya senang sekali bisa berkenalan dengan Ucok yang ramah. Tahulah sekarang anak Batak itu kalau penumpangnya tadi berasal dari Negeri Kanguru alias Australia. “ Hebat juga dia!” pujinya saat penumpangnya telah turun di Jalan Sisingamangaraja.

Kebaikan dan keramahan si Ucok tidak hanya sampai di situ. Meskipun hanya seorang tukang becak, ia tidak malu untuk ikut membawakan barang milik penumpangnya sampai ke ruang resepsionis Hotel Sumatera. Itu dilakukannya dengan senang hati, tanpa dipaksa, dan tanpa basa-basi. Bukan karena si Bule itu teman barunya, bukan pula untuk mencari perhatian. Sama sekali bukan. Semua dilakukannya ikhlas semata-mata kepada Allah. Tuhan Yang Maha Kaya.

“ Usok, ini untukmu !” kata si Bule memberi tip.

“ Tidak, Tuan. Itu bukan uang saya. Permisi !” jawab Ucok terus berlalu meninggalkan si Bule dalam keadaan melongo.

Lelaki berambut gondrong itu meneruskan kerjanya mencari penumpang Dia mutar-mutar sampai ke Jalan Katamso, meskipun sebenarnya anak muda itu tak ingin melakukannya. Di situ Ucok menemukan penumpang lagi. Seorang ibu tengah baya Wanita itu hendak berbelanja di Simpang Limun.Tiba-tiba................

“ Bang, punya siapa itu ?” tanyanya ketika hendak naik.

“ Ou..........ou..........., ini punya penumpang saya tadi,” jawab Ucok yakin.

“ Wah, rezeki nomplok nih, Bang !” kata ibu itu.

“ Bukan,Bu. Bukan rezeki saya. Ntar kalau saya sudah antar ibu, ini akan saya kembalikan kepada pemiliknya.”

“ Mengapa, Bang ?” tanya wanita itu heran.

“ Daripada saya makan uang haram, penyakit bisa datang, nambah dosa lagi.”

“ Bagi kita dong, Bang !” pancing si wanita lagi.

“ Buat saya, bukan baginya itu, tetapi dosanya yang saya takutkan. Benar, Bu. Lebih baik tidak usah makan yang begituan. Memang nggak ada yang melihat sekarang kecuali ibu dan saya, tetapi kan Allah lebih mengetahuinya, Allah itu dekat sekali dengan kita, dekatnya melebihi dekatnya urat leher kita !” jawab Ucok mantap dan tanpa ragu sedikit pun.

“ Wah, Bang Becak pintar juga berkhotbah, kayak ustad saja,” pujinya.

“ Bukan begitu, Bu. Sebagai hamba-Nya, kita wajib melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, itu pun jika hidup kita ingin selamat. Kalau tidak, ya terserah ibu saja. ”

“ Duh, saya jadi malu dengan Bang Becak,” kata ibu itu mesem-mesem.

“ Kita tidak perlu malu jika yang kita kerjakan itu benar, Bu.”

“ Berapa, Bang ?” tanya ibu itu ketika turun dari becak.

“ Biasalah, Bu !”

“ Makasih, Bang !” kata wanita itu sembari memberikan uang dua ribuan. Ia menggeleng-geleng, terheran-heran, dan juga mungkin takjub melihat sikap si Ucok. Kok di dunia yang begini keras masih ada orang yang begitu baik, katanya sendiri.

Selesai itu, Ucok cepat memutar becaknya ke arah mesjid raya. Ia bergegas ingin cepat sampai di Hotel Sumatera dan menjumpai si Bule. Ketika terburu-buru, sebuah sedan hampir menyambar becaknya. Sedan itu melaju dengan sangat kencang dari arah berlawanan. Waktu itu ia hendak menyeberang ke arah kanan, memutar arah. Padahal di simpang itu telah menyala lampu merah.Untung si Ucok masih sempat mengerim. Kalau tidak, entah apalah jadinya. Mungkin saja terjadi kecelakaan.

Setibanya di Hotel Sumatera, Ucok terus masuk ke dalam.

“ Permisi, Kak. Mau tanya, kamar si Bule yang saya antar tadi di mana ?” tanya lelaki itu pada seorang pekerja resepsionis.

“ Bule yang mana ?” kata pelayan resepsionis itu balik bertanya. Ia heran sebab dari tadi, sejak masuk kantor, wanita itu belum melihat seorang bule diantar lelaki di depannya.

“ Yang dari Australi,” kata Ucok memastikan.

Petugas hotel melihat daftar nama. “ O........, nomor tiga belas, Bang.”

“ Makasih, Kak.”

Ucok berjalan menuju kamar si Bule. Ia keliling-keliling sampai dua kali. Untung ada pesuruh hotel yang tengah mengepel lantai menegurnya. Kalau tidak, mungkin ia nggak ketemu kamar tiga belas.

“ Wah, kamu, Sok. Ada apa ?” tanya si Bule ketika membuka pintu dan mendapatkan si Ucok telah berdiri di depannya.

“ Ini, Tuan !” Ucok menyerahkan dompet yang tertinggal di becaknya.

Bule Australi itu menghitung-hitung isinya, masih utuh, cukup, nggak ada kekurangannya.

“ Ambillah, Sok. Ini hadiah buatmu !” Si Bule menyerahkan lembaran duapuluh ribu.

“ Tidak, Tuan. Teimakasih, saya mau cari penumpang lagi,” katanya berlalu.

Waktu, hari, dan bulan pun datang silih berganti. Kekeringan tampaknya telah di ambang pintu. Musim hujan sudah berkurang. Dedaunan berguguran, ranting pada patah, kerbau dan lembu melenguh ke sana-sini ikut merasakan kekurangan minum seakan hidup segan mati pun ditolaknya. Layu, lemas, tak berdaya kayak setahun tak pernah menikmati dinginnya air. Mungkin itu yang dirasakan Ucok saat ini di kediaman neneknya di sekitar Danau Toba.

Ketika sedang melamun di pertigaan, turunlah serombongan turis mancanegara. Mereka ingin menikmati keindahan danau terbesar di Indonesia itu. Para turis berdecak kagum bukan main. Di antara mereka ada yang langsung turun ke air untuk menikmati sejuknya air pegunungan. Yang lainnya keliling seputar danau, dan sebagian lagi langsung menuju ke penginapan.

Seseorang di antara mereka, yang tengah mencuci muka, tanpa sengaja menoleh ke kiri danau. Matanya tertuju pada seorang lelaki. Sepertinya ia kenal betul dengan orang itu. Untuk meyakinkan pandangannya, ia berlari mendekati.

“ Halo, apa kabar, Usok ?” sapanya ramah.

“ Hai........., Tuan Michael ! Mengapa bisa sampai ke mari ?” kata Ucok.

Keduanya berangkulan. Lama sekali, seperti telah sekian tahun tidak bersua. Teman bule lainnya bengong melihat keakraban anak lain bangsa itu. Aneh, di tempat yang cukup jauh begini, dia telah punya teman. Kapan kenalnya pun mereka tidak mengetahuinya. Yang jelas, hari itu muka si Ucok berubah seratus delapan puluh derajat. Senyumnya mengembang lagi, tidak cemberut kayak hari-hari yang lalu. Girangnya semakin bertambah manakala si Bule mau diajak mampir ke biliknya yang sederhana.

Di rumah Ucok, di atas perbukitan, di lereng gunung yang curam lagi mengerikan, si Bule dan teman-temannya dijamu anak desa pedalaman. Mereka disuguhi rebusan singkong, ubi goreng, sayur daun ubi, sambal terasi, dan makanan ringan lainnya. Orang-orang kulit putih itu makan dengan lahapnya. Soalnya, di negara mereka sudahlah tentu hal itu tidak ada.

Lelaki dan wanita yang berkunjung tadi sibuk berfoto ria, mengabadikan dusun nan asri, bebas dari segala polusi. Ucok yang menyaksikan adegan itu malah tersenyum bangga. Bisa jadi, ini bekal untuk bercerita kepada saudaranya yang lain bahwa hawa di pegunungan di sekitar Danau Toba ini begitu sejuk, dingin, dan menggoda kulit untuk betah tinggal di situ. Betapa bahagianya anak pedalaman, anak miskin tak berpengetahuan, seorang tukang becak, dapat kunjungan teman yang sebenarnya masih asing baginya.

Selang beberapa waktu kemudian, entah bilangan ke berapa, si Ucok diajak Tuan Michael jalan-jalan keliling kota Medan, Berastagi, dan ke Sigura-gura. Anak itu nurut saja ketika dibawa. Sampai-sampai membeli sebuah rumah mewah pun ia tidak ketinggalan. Bahkan sarannya agar si Bule membeli rumah di sekitar kota Medan pun dituruti. Cek ile...........!!!

“ Sok, bagaimana, kamu tinggal dengan aku saja ya ?” bujuk si Bule suatu senja.

“ Becakku ?” kata Ucok penuh tanda tanya.

“ Itu becak taruh di rumahku saja. Sekalian kamu bersihkan, merawat rumah dan tamannya. Uang tak perlu kamu pikirkan. Oke......?” pintanya penuh harap.

Demi sahabatnya, si Ucok tidaklah menolaknya. Ia rela meninggalkan adiknya di kampung. Mungkin dititip sama tetangga ataukah kepala dusun. Itu nggak dipersoalkannya.

Sejak tinggal dengan si Bule, pemuda tanggung itu amatlah rajin dan semakin rajin saja. Mobil BMW baru yang disimpan di garasi kerap kali dibersihkannya. Halaman tetap bersih. Lantai rumah besar itu juga selalu dipelnya. Bersih, kilat, kayak tegel memancarkan pandangan tubuh kita sendiri. Pokoknya kerja si Ucok tidak mengecewakan, bahkan mendatangkan keberuntungan si pemilik rumah.

“ Wou........, aku senang tinggal bersamamu, Sok !” katanya suatu hari.

“ Wah, terbalik, Tuan. Seharusnya saya yang betah bersama Tuan. Bagaimana sih, lucu ah.........!” kata Ucok sambil menyeringai. Tawanya lebar sekali. Sampai-sampai ayam jantan terdengar berkokok berulang kali.

“ O ya, Sok. Esok hari mungkin aku akan balik ke negaraku. Aku titip semuanya padamu. Pokoknya terserah kamu bagaimana menjaganya. Mobil kamu cuci-cucilah, kalau minyaknya habis, tolong isikan. “

“ Tetapi, Tuan.........”

“ Sudah, aku percaya kepadamu. Tidak lama kok, cuma sekitar tiga bulan saja. Ini uang dua juta aku tinggalkan untukmu, pakailah. Bila perlu, waktu kamu memanaskan mobil, itu mobil bisa kamu bawa jalan-jalan keliling kota, “ kata Tuan Michael pasti.

“ Baiklah,Tuan !”

Hari selanjutnya, Ucok masih seperti dulu. Ia tetap menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Nggak pernah melanggar janjinya. Semua terjaga dan tetata rapi. Aneh........, itulah dia. Banyak kesempatan untuk menggunakan mobil keliling kota, namun tidak pernah ia melakukannya. Cuma memanaskan mesin mobil di garasi saja. Bahkan untuk membayar isi bensin, diambil dari koceknya sendiri. Sementara uang yang dua juta itu, masih tersimpan utuh di lemari. Bukan main baiknya dia.

“ Lho, Tuan sudah kembali ?” tanyanya suatu ketika.

“ Sudah, sudah cukup lama, Sok,” jawab si Bule terus melangkah ke dalam rumah gedungnya yang besar kayak istana raja. Kedua belah matanya seperti sedang mencari sesuatu. Tatapannya lama benar, kemudian ia balik ke biliknya.

“ Usok........!” panggilnya.

“ Ada apa, Tuan ?” jawab Ucok tergopoh-gopoh.

“ Ini uang tidak kamu pakai ?” tanyanya heran melihat tasnya masih utuh.

“ Tidak, Tuan.”

“ Jadi, tidak kamu pakai untuk mengisi bensin atau jalan-jalan keliling kota ?” tanya si Bule ragu-ragu.

“ Juga tidak, Tuan.”

“ Lantas, pakai apa kamu membayar isi bensin mobil itu ?”

“ Pakai uang saya saja, Tuan. Yang di lemari itu kan bukan milik saya,” jawab Ucok tanpa ragu sedikitpun.

“ Nah, sekarang kuganti, ambillah !”

“ Tidak, Tuan Michael. Uang gaji saya sudah cukup bahkan bisa lebih, Tuan.”

Si Bule kian takjub dengan kejujuran lelaki hitam legam itu. Sambil geleng kepala, ia bergumam, cek.......cek........cek........! Mulia sekali hati anak ini, aku sudah kasih kesempatan, namun ia tidak mau menyentuhnya sedikitpun. Anak ini sungguh dapat dipercaya, pikirnya dalam.

Hari terus bergulir dan tidak pernah menanti kita yang ada di belakangnya. Ia terus jalan sendiri, menepati janjinya yang tidak pernah meleset. Janjinya yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Janji yang tidak bisa ditunda maupun ditangguhkan. Begitu pula dengan rentang waktu yang lain. Siang dan malam terus berganti jaga. Keduanya tidak pernah berselisih, masing-masing tetap melaju menurut garis kodrati yang telah diterimanya. Burung-burung juga seakan mengerti diri. Mereka bersiul-siul menyemarakkan pergantian alam. Iramanya merdu, mendayu-dayu menyertai nyanyian kodok yang telah siap memberi kabar baru buat kita menghirup udara esoknya.

Begitu jugalah yang dialami si Ucok. Anak itu nggak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Dia masih tetap menjalankan profesinya sebagai tukang becak. Tidak pernah terpikirkan olehnya daun-daun menjadi kering. Ayam-ayam mencicit pulang ke kandang. Yang diketahuinya cuma kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada umat-Nya. Ya begitulah adanya kita.

Yang dirasakan Ucok benar terjadi. Kejadian itu seakan mengguncang dunia terbelah terbagi-bagi, terpecah-pecah sampai menusuk ulu hati. Guncangan dahsyat itu menyentakkan lamunan lelaki yang ringan tangan. Hentakannya meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan anak kere tak berpendidikan. Hatinya gundah, gusar, memilukan. Kini badai itu tengah menghantam kapalnya.

Dua orang asing datang menghampirinya. Mereka dari negeri tetangga. Negeri Kanguru tempat sahabatnya menetap.

“ Kami datang ke sini mencari teman sahabat kami. Katanya dia punya kawan di daerah sini, di kota ini, di Indonesia,” kata seorang di antara keduanya sambil memperkenalkan diri kepada Ucok yang menyambutnya.

“ Benar kamu yang namanya Ucok ? “ tanya yang satu.

“ Benar. Ada apa Tuan-tuan datang ke mari ? Apa bisa saya bantu ?” katanya.

Keduanya memperhatikan foto yang terpampang di dinding. Nggak salah lagi. Di dinding itu jelas terlihat sahabatnya sedang santai dengan Ucok.

“ Kami ingin mengabarkan sesuatu dari sahabat kami yang ada di Negeri Kanguru, namanya Michael,”

“ Kamu kenal Michael ?” tanya yang lain.

“ Kenal, Tuan. Dia itu Tuan saya di sini.”

“ Maaf, dia telah..............” katanya terputus.

Ucok terduduk lesu mendengar kabar di siang bolong itu. Sepertinya ia nggak percaya dengan berita yang baru saja diterimanya. Hujan segera saja turun membasahi dermaga pipinya. Kucurannya deras bukan main.

“ Michael, mengapa cepat sekali engkau pergi ?” keluhnya sediri.

“ Ini ada sepucuk surat darinya. Katanya untukmu dan hanya kamu yang boleh membacanya,” kata keduanya sembari menyerahkan surat.

Ucok tak kuasa membaca isinya. Hujan semakin deras mengguyur bumi. Michael menghibahkan semua harta yang dimilikinya itu kepada Ucok.

“ Mengapa harus kepada saya ? Apakah istri dan anak, dia tak punya ?” tanya Ucok penasaran.

“ Ada, cuma dia itu lebih percaya kepadamu.”

“ Mengapa bisa begitu ?” tanya Ucok lagi.

Ucok membaca surat itu sampai habis. Tahulah dia mengapa Michael sahabatnya menghibahkan semua hartanya, uangnya di bank, dan mobil BMW yang masih mulus kepada dirinya. Ternyata istri dan anaknya selalu menyusahkan dirinya. Mereka asyik menggerogoti uangnya saja tanpa pernah memikirkan bagaimana mencarinya. Ucok menerima harta titipan itu sebagai suatu kepercayaan dari seorang sahabat kepadanya.

Sebagai wujud kepeduliannya pada seorang sahabat, harta yang diberikan harus tetap terpelihara dan terjaga. Adik-adiknya di kampung dibawa bersamanya. Pemberiannya itu tidak dimakannya sendirian. Mereka menikmati kehidupan ini dengan bersyukur. Harta pemberian itu disalurkannya untuk membangun mesjid di kampung tercinta. Sebagian disumbangkan kepada yang berhak menerimanya. Dia pun mengundang teman-temannya sesama penarik becak untuk makan bersama di bilik barunya. Bahkan setelah makan pun teman-temannya masih sempat diberi oleh-oleh lagi.seperangkat alat shalat dan pakaian yang masih baru. Wou, betapa mulianya dia dibalut ketulusan dan kejujuran yang kerap menghiasi rona kehidupannya sendiri.

“Makasih, Sok, engkau memang sahabat sejatiku, orang yang paling kupercaya dalam hidupku. Engkau sahabatku yang telah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, yang mampu membahagiakan aku, temanmu ini.” Begitu pesan terakhir yang ditulis Michael sahabatnya.

Selamat Ucok, semoga sikapmu mampu diteladani oleh yang lain.……!!!!!!!!!

3 komentar:

  1. assalamualaikum

    wah pak critanya seru ya
    saya ska sekali dgn cerita ini

    sikap ucok baik
    dia peduli sama sahabtnya
    sampai-sampai
    dia membagikan sbgaian
    hartanya kpada sahabtnya

    smga aja msh ada ya pak
    org sperti si ucok

    Amin...

    skian dlu ya pak
    sya tdk tau
    mau koment apa lg...

    wassalam

    BalasHapus
  2. WaH pak ceritanya seru buat saya tersangak-sangak

    BalasHapus
  3. nama : Tauhanny Krisdila .
    email : Lha_cream@yahoo.com


    komenetar saya :

    Wahh , bgus skali Pak ceritanya .
    saya suka .
    saya juga ingin seperti si ucok Pak .
    tpi,, smoga yg buat cerita ini jgk sama sikapnya seperti si ucok .
    hahahahahhahahhaahhaaha :D

    BalasHapus