Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 21 Agustus 2009

Akhir Sebuah Penyesalan

Malam kian dingin menggigit-gigit, meremas, merobek kulit anak adam. Hujan dan guntur datang bergantian, mengiringi langkah gontai manusia serakkah kenikmatan. Langkah gontai semakin kencang bergerak merengkuh namun kaki tak kuasa menahan tonggak yang menancap. Hati menjerit melolong keras, namun tak ada yang dengar. Jiwa meronta dan memaki-maki diri sendiri.
Kenapa.....? Kenapa bisa begini......? Kenapa begini jadinya.........? Kenapa........? Oh...oh....! Aduh........., aduh........, panas........!!! Jangan........jangan........!
Mereka sibuk cari teduhan ke sana ke mari. Berlari-lari mengejar-ngejar, namun yang dikejar nggak mau berhenti maupun menoleh sedikitpun. Berlari dan terus berlari. Mereka berlari mencari titik embun penghilang dahaga. Kecuali sepasang lebah yang tengah memadu kasih.
Sepasang lebah tengah duduk bersantai ria. Keduanya bercanda tawa, mengelus-elus dada.
“ Untunglah kita tidak terbuai ya, Ma !”
“ Sejak kapan, Pa ?”
“ Ya, sejak dulu, waktu kita masih kecil dan sampai kita berkumpul di tempat yang megah ini. Kalau tidak, entah apalah jadinya diri ini. Belum lagi dosa yang kita pikul. Semuanya akan minta balas sama kita.”
“ Coba Papa lihat, mereka tengah minum apa, arakkah itu ?”
“ Betul, Ma. Yang di sana, lihatlah mereka sedang makan makanan yang dikerubungi lalat.”
“ Hi.........hi........., jijiknya......!”
“ Ngomong-ngomong tentang itu, aku jadi teringat kejadian masa lalu.”
“ Apa itu ?”
“ Pokoknya siiip......!!!”
Suatu ketika, sepasang lebah tengah dirundung malang. Hari-hari mereka selalu diliputi kesedihan dan kedukaan. Hari-hari mereka sendiri tiada yang menemani. Kasihan sekali. Sudah sekian lama menantikan buah hati, namun belum juga dikaruniai anak.
“ E...........e..........e..........eg, Ma, jangan ngomong, kita kan sudah diberkahi. Buktinya kita sehat, tidak melarat, makan seharipun rasanya cukup.”
“ Papa tahunya enak saja, tetapi aku yang merasakan ........ Masak sudah dua belas tahun berkeluarga belum juga punya momongan, eh keturunan. Orang lain, baru berkeluarga empat bulan sudah punya gendongan. Ayo dong, Pa........ cari anak, mungut anak kek, atau apa gitu !”
“ Emangnya mungut anak itu gampangan apa......?”
“ Hu......, Papa sih, nggak sayang sama aku lagi ya.....?”
“ Bukan aku nggak sayang sama kamu, cuma Tuhan belum mgnizinkan kita punya ....!”
“ Ala........., sudahlah, bosan aku, apa-apa mesti bilang kayak begitu. Hu......,lihat saja besok, aku mau ke gunung....!” tantangnya.
“ Emangnya gunung bisa ngasih apa....? Gunung saja diam membisu, e........malah kamu mau minta. Senget kali ye...!!”
Si istri diam. Dia nggak mau ngomong. Sebab kalau ngomong terus, bencana kan runyam, api akan semakin membara dan kian membesar.
Lama setelah itu, mereka mendapat anak. Banyak sekali, nggak tanggung-tanggung. Aku saja nggak bisa menghitungnya. Kalau kalian bisa, hitung saja sendiri. Saat itulah beban yang mereka pikul kian berat. Tak sanggup badan memikulnya. Namun ada anak yang tertua. Dialah yang mengatasi semuanya dan sukses tentunya.
“ Pesan Bapak, kalian jangan sekali-kali cari makan di tempat yang kotor, kalian hidup tidak sendiri.”
“ Siiip..........! Jika perlu, kami akan berkorban demi yang lain.
Suatu ketika, anak-anak lebah pergi merantau dipimpin raja dan ratu. Tujuannya hutan lebat dan banyak pohon buah-buahan. Mereka akan bergotong royong membantu yang lemah, meringankan beban orang tua. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Satu disakiti, maka yang lain pun merasakan. Itulah prinsip hidup mereka sebagai satu tali persaudaraan.
Setelah memperoleh informasi ada rakyat yang berpesta pora, ratu dan raja memerintahkan anak buahnya ke sana. Mereka berbondong-bondong ke atas bukit.
“ Wou, mereka tengah pesta. Lihat, anjing-anjing itu sedang teler, musang-musang pun ikut. Mereka berdansa, minum-minum arak yang memabukkan. Bergandeng tangan, berhappy-happy. Rasanya dunia ini milik mereka ya, Bang.........?”
Adik-adik, kalian jangan tergiur akan kenikmatan mereka itu. Yang mereka kerjakan semuanya kotor. Lihat, sudah ada minuman bersih, masih mau yang kotor, dan makanan yang telah tersedia di rumah, kok kiranya masih kurang. Rakyat itu nggak tahu bahwa sebenarnya mereka tengah menikmati siksaan. Teler dan berkawan setan. Mamak dan bapak bilang..........
“ Aduh........., aduh.........., maafkan aku........! Kalau tahu begini jadinya, begini siksaannya, aku tak mau berbuat kayak dulu. Oooooooh, menyesal aku........, menyesal sekali.......! “
“ Hei lebah-lebah, bagi-bagilah minuman ! Mengapa kalian bisa menikmati makanan dan minuman yang begitu lezat ha..........??! Bantu kami beri payung itu, ayo beri.....! Panas rasanya, tolong.........!!!!”
Mereka minum minuman panas lagi menyala-nyala. Mereka yang serakah hidupnya dulu, kini mengalami nasib sial. Sial sejadi-jadinya.
“ Hai Raja, mengapa tidak Engkau bilang dulu pada kami kalau tempat ini begitu ngeri........? Kami minta, kami minta antar kami balik ke sana, biar kami bisa berbuat seperti lebah itu...!”
“ Mengapa kamu tanyakan itu ?”
“ Kami menyesal sekarang. Kami menyesal, beri kami tempo, Raja........!!”
“ Maaf, sudah terlambat, nasi sudah membubur untuk apalagi dijadikan beras. Rasakan balasannya !”
E.........e...............e....................eheg...........! Mereka menangis namun tidak berguna lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar