Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 21 Agustus 2009

Selamatkan Jiwanya

Suatu hari bumi mulai sedikit basah. Aku melihat seekor burung menyanyi sendiri di dalam kurungan. Tidak sama dengan yang kulihat di rumah pamanku. Mereka terbang bebas di sangkar yang besar di belakang rumah. Yang ini tidaklah demikian. Sebentar kepalanya ditundukkan, lalu sayapnya dikepak berulang kali. Gundah hatinya terus menjadi-jadi. Ia ingin mencairkan jerit tangisnya namun tidak kuasa. Jangankan saudara-saudara sekandungnya, tenaganya saja tidaklah mampu menerjang benteng yang begitu kuat dan kokoh. Kokohnya benteng itu mungkin sekuat karang di tengah lautan. Seakan tidak bergeming walau dihantam badai sekalipun.
Adik-adikku manis, dia meronta-ronta seperti itu mungkin minta bantuanku agar bisa bebas hidup mandiri seperti saudaranya yang lain. Aku sedih sekali, teman-teman. Bagaimana perasaan kalian seandainya teman-teman dikungkung seperti itu ? Sedih, bukan ? Aku yakin kalian pasti merana juga. Air mata tentu membanjiri bumi kasih sayang-Nya.
Begitu pula dengan burung yang kulihat. Kesedihan kita juga dirasakannya. Hidup sunyi menyendiri ibarat hidup segan mati pun tak mau. Harapannya kelak bisa berteman banyak kini lenyap sudah. Hanya melamun saja kerja yang bisa dibuat. Terheran-heran melihat diri bersayap namun tak bisa terbang jauh. Pilu hati terus membubung menatap kertas beterbangan ditiup angin kencang.
Adik-adikku yang pemurah senyum. Keadaan hari itu seakan bertambah genting. Bumi terus diguncang dengan badai dan tiupan angin kencang diselingi cicit anak ayam yang ingin disuapi induknya. Rumput-rumput kayaknya ikut bergoyang. Pohon-pohon kayu besar sepertinya mau tumbang. Sebentar kemudian lolongan anjing menyibak lamunan melemparkan angan-angan yang mungkin tak tercapai. Sebab kurungan itu bukanlah milikku. Isinya itulah yang membangkitkan amarahku, namun tidak kuasa berlari untuk menggapainya, kemudian melepaskannya supaya sahabatku bisa bersenang ria. Karena aku orang yang tak punya.
Tentu adik-adik maklum pada keadaanku. Tiada yang ingin kukejar selain kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya untuk diriku seorang, melainkan juga untuk lingkunganku. Kebahagiaan yang hanya bisa diraih dengan kemauan dan usaha maksimal. Kebahagiaan yang tidak memandang dari segi materi, melainkan kebahagiaan yang dipandang dari segi nurani manusia. Manusia seperti kita-kita ini. Manusia yang sadar akan dirinya sebagai manusia. Dengan kesederhanaan itu pula aku ingin mencoba menolong temanku. Teman yang betul-betul mengharapkan keringanan langkah dan jiwaku untuk membebaskan dari belenggu yang berkepanjangan. Maukah adikk-adik membantuku ?
Di pembaringan yang amat sederhana, mataku tidak bisa dipejamkan. Meski sudah kuusahakan, namun tidak juga mau terkatupkan. Irama dan kepiluan hati temanku terus menyusuri lorong kecil tempat tinggal sahabatku.
Ketahuilah adik-adik, tangan-tangan kecilku seakan-akan diajaknya menari untuk memberinya makan. Pikiranku galau dan semakin kacau. Kacau sekacau-kacaunya. Melilit dan melintir-lintir. Ingin sekali aku meremas-remas kepalaku saat itu, merobek-robek dan memukul-mukul diriku manakala tak bisa........ Ah, aku kesal sekali. Mengapa dia kutinggalkan seorang diri ? Huuuuuu, kakiku kelihatan tidak sabar lagi guna mengajak jiwaku ke rumah saudaraku itu. Tak dinyana dan tak pula disangka-sangka bening-bening hangat mulai memecah di dermagaku yang agak tinggi.
Hatiku kian hancur berkeping-keping, perih, pedih sepedih-pedihnya. Lebih pedih lagi ketimbang diiris dengan sembilu. Duh, hancur sudah harapanku. Tetapi, ah......tidak boleh demikian. Kepingan dan jeritan hati terus menghujam tatkala kulihat sahabatku untuk kesekian kalinya di rumahnya sudah tidak tertinggal jejak. Ke manakah dia pergi ? Apakah dia sudah tidak mau lagi berteman denganku ??? Mungkinkah dia digondol maling ? Atau......??? Ah, entahlah. Sebab kedua mataku tak sampai menatap sedemikian jauhnya. Karena kesal, kuajak kedua tungkaiku berlari kecil kembali ke pondokku.
Hati kecilku semakin luruh dan terperanjat berjuntai seribu duka berkepanjangan. Betapa tidak, hujan bergelanjut terus menghempas dan menerpa bumi mengantar pikiran yang tak menentu. Menyelimet, membelit seribu belah, tidak terbatas dan tidak pula bertepi.
Di situ, dekat pasar ikan, nongkrong sahabat sejati. Ternyata dugaanku benar adanya. Dia sudah berpindah tangan. Di tangan kasar ia tertampung. Penjual-penjual yang lagi diserbu nasib untung besar. Tak memikirkan nasib orang yang lagi bingung.
Di tempat itu sahabatku dikerubuti orang. Silih berganti mereka menawar harga pas agar kelak tidak rugi melilit dahi. Untukku......? Ah, rasanya bumi ini mau pecah. Tahulah sendiri, di rumahku tidak lagi tertinggal nyawa sedikitpun. Sepertinya jantungku mau copot. Detaknya semakin kencang bagai dikejar-kejar anjing liar yang siap menerkam mangsa di depan mata.
Ke mana lagi aku harus mengadukan nasib, teman-teman ? Kepadamukah..atau kita sama-sama menanggungnya, bagaimana ?
“ Pulang saja !”
“ Pulang ?”
“ Ya, pulang. Untuk apalagi kau di situ, sedangkan........”
“ Kalau itu yang kalian inginkan, boleh juga. Kalian mau ikut menemani ?”
“ Jauh atau tidak ?”
“ Kalau jauh, mengapa rupanya ?”
“Aku tinggal di pasar. Kamu yang pulang sendiri. Hujan belum juga reda. Lihatlah, masih deras. Jangan-jangan kepalaku pusing nantinya.”
Kutinggalkan tempat itu. Kukayuh kencang langkahku sekencang larinya kijang. Kupercepat dan semakin kupercepat layak seorang pembalap yang ingin meraih gelar juara. Akibatnya nafasku tersenggal –senggal bagai musik yang sedang kejar-kejaran. Keringat mengucur deras ibarat air kali mengalir ke muara. Seketika itu pula, mataku sedikit memerah menahan duka. Rasa memiliki seakan sirna sudah. Ibarat punai di tangan terlepaskan meski telah di depan mata. Tetapi, untunglah Yang Maha Kuasa masih meninggalkan sisa-sisa celenganku di lemari. Tidak banyak memang, namun cukuplah kurasa. Kuraih dan kumasukkan ke saku tanpa kuhitung-hitung lagi.
Si pengguyur bumi sudah menghentikan aksinya. Ramahnya pun menguak ke permukaan. Karenanya aku bisa sedikit lega. Tidak pula harus pusing tujuh keliling hanya karena tidak memiliki payung mantranya hujan.
Nah teman-teman, nafasku naik turunnya telah rada teratur juga. Denyut nadiku pun telah stabil seperti sediakala. Kata dokter, kalau sudah begitu tentunya darah kita telah berjalan normal pula. Cuma keberuntungan belum mau singgah di dermagaku yang telah menanti penumpang. Penumpang-penumpang kaya semuanya telah memesan tempat sehingga aku yang papa ini tak kebagian. Semua terbang dibawa angin kencang. Burung-burung pada laku terjual. Tiada sisa sedikit pun untukku. Nggak kasihankah kawan-kawan padaku ?
Teman-teman, panas hari itu kian tinggi. Tawa canda para penjual burung terus membahana seakan dialah yang hebat. Musik ringan radio pedagang lain memberi suasana baru pula. Si penjual ada juga yang bersiul kecil –kecil mengiringi irama musik kegemaran. Sampai-sampai ada pembeli lain yang tak digubris. Bahkan aku tak ambil peduli pada mereka. Kucari dan terus kucari sahabatku. Ternyata, ia telah lepas dari genggaman tanganku. Aduh, kekecewaan itu tidak mau juga hengkang dari tempatku bermadah. Sahabat sejati telah beranjak jauh. Jauh sekali. Aku pun tak tahu ke mana perginya. Yang kutahu, ia pasti lenyap di tangan peminat burung yang lain.
Wahai sahabatku seiman dan seperjuangan.........! Kau boleh teguk kenikmatan yang kau inginkan tetapi hilangkanlah kekerasan jiwamu yang dapat merobek-robek makhluk yang ingin bebas. Kau boleh memilikinya namun selamatkanlah jiwanya. Jiwa yang tidak mungkin kita memilikinya. Jiwa yang hanya ada di alam bebas. Jiwa berjiwa yang berlagu manusia di pucuk-pucuk pinus yang siap merentangkan sayap kenikmatan tiada bertepi.
Oi...... sahabatku senusantara. Selamatkanlah dia yang hampir punah derita ditelan masa. Jangan kungkung dia bila tidak ingin balasan mampir di dada. Jangan, jangan sampai siksan-Nya menyelimuti diri ini datang lebih dini. Selamatkanlah..........selamatkan........selamatkan...........semoga ia bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar