Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 18 Desember 2009

HONDA SAHABATKU HONDA CINTAKU

“ Pa……, Pa….., beli honda ya, Ai mo ikut ma Papa !”
Itulah kalimat yang muncul dari bibir mungil anakku Swastie saat ia lihat tetangga sebelahku pulang dengan hondanya. Aku spontan berdecak, jiwaku bicara. Anak sekecil dia sudah dapat mengerti dan menilai sepeda motor yang namanya honda. Weleh……….weleh………..!
Jika kukenang masa awalku beli honda, ada rasa lucu, nekat, dan bahagia berbaur menyatu mewarnai kehidupan keluargaku. Aku dan istriku Arlinawaty memang benar-benar nekat. Betapa tidak begitu, coba bayangkan, aku seorang guru sekolah dasar yang bergaji hanya seratus sepuluh ribu per bulan kok nekat beli Honda Astrea yang waktu itu masih dua jutaan harganya. Simpananku juga nggak ada. Makan saja masih ngirit. Namun, karena hatiku lebih kuat bicara dan ingin membahagiakan keluarga, aku pun berupaya keras bagaimana bisa beli dan naik honda. Seketika itu aku anjurkan istriku ikut arisan keluarga di lingkungan Rancong tempat tinggalku.
Bener lho………, ini nggak bohong. Hari itu istriku tersayang pulang dengan membawa uang tiga ratus ribu rupiah. Spontan saja kubilang, “ Ma, ayo kita beli kereta (sebutan untuk sepeda motor di tempatku) sekarang !” Tak dinyana dan tidak pula disangka-sangka, istriku setuju, sebab memang telah lama menginginkannya.
Hari Minggu sore itu kami ke Lhokseumawe. Tujuannya hanya satu, ke PT Capela dealer Honda satu-satunya di kotaku. Istriku girang bukan main, raut mukanya berkaca-kaca, senang membubung langit tiada terbilang.
“Mudah-mudahan dealernya mau ngasih kita kredit ya, Pa !” ucapnya padaku selama dalam perjalanan .
“Semoga aja, yang penting, niat kita baik !” kataku tanpa ragu sedikit pun.
Setibanya di dealer Lhokseumawe, kami langsung menyampaikan niat pada seorang pegawai yang ada di situ. Ternyata, sambutannya luar biasa. Ramah dan menyenangkan. Kami kemudian diminta melihat dan memilih kereta mana yang kami senangi.
Wou……….., istriku berdecak kagum, bingung, sekaligus gembira menghias alam. Soalnya, di PT Capela dealer Lhokseumawe tersebut dipajang beraneka corak warna honda. Semuanya bagus, baru, dan memikat hati, yang bikin ngiler cepat-cepat membeli.
“Pa, Mama masih bingung, mau beli yang mana, barangnya bagus-bagus sih. Harganya juga terjangkau ya, Pa !” bisik istriku saat itu.
“Murah dan mutunya baik. Begitulah daya pikat honda !” kataku meyakinkan istriku.
Kenyataan memang, itulah salah satu cara Honda menarik minat pembeli, pelanggan, dan pencintanya. Honda memasang tarifnya tidaklah terlalu tinggi, sehingga orang-orang berekonomi lemah seperti aku, bisa juga menikmati perjalanan dengan Honda.
Dalam hal urusan pembelian, janganlah pernah ragu. Hondalah nomor satu. Cepat urusannya, puas hasilnya. Itu yang kurasakan waktu itu. Beli Honda dengan biaya sendiri, nyicil lagi, dan tidak pula memberatkan. Alhasil, aku dan istriku pulang ke rumah dengan gembira, berboncengan dengan Honda baru, dan plat baru.
Sejak itu pula, resmilah aku punya Honda sendiri. Walau nyicil dua tahun dengan bayaran tujuh puluh delapan ribu per bulan, aku merasa sangat bahagia dengan kendaraanku, Honda Supra keluaran tahun 1985.
Kini, setelah dua puluh dua tahun aku berkenalan dengan Honda, tahulah aku kalau Honda memang jempolan, sahabat setia yang nggak pernah meminta belas kasihan, tetap bersikap jantan meskipun dihadang musuh pendakian yang terjal lagi mengerikan. Karena itulah aku katakan bahwa Honda bagiku adalah saudaraku, sahabatku yang tak mungkin menjauh dari kehidupanku.
Ke mana pun aku dan keluargaku pergi, kami tetap dengan Honda. Ibarat pepatah, kerja adalah nafasku, Honda itu jantungku. Honda dan diriku telah menyatu kalbu yang tidak mungkin terpisahkan walau termakan waktu. Siapapun tidak kurelakan mengotori sahabatku. Siapapun tidak kuizinkan mempreteli, melepas, menggerogoti tubuhnya. Aku tidak ingin hondaku jadi jelek, kering, dan tidak bernyawa. Karena aku sudah amat mencintainya sedalam jiwaku dan menyayanginya sebagai bagian tubuhku sendiri.
Saking cintanya aku pada Honda sahabatku, aku tetap menjaga dan merawatnya sendiri. Seminggu dua kali aku memandikannya dengan ditemani anakku Swastie. Kuberi dia wewangian sehingga harum menyibak permukaan alam. Kuelus-elus tubuhnya dengan lembut bagaikan kasih seorang ibu kepada anaknya sendiri kerena aku tidak ingin dia tersakiti. Semua kulakukan dengan penuh keikhlasanku. Ya……… seperti yang dianjurkan petugas dealer Honda waktu pertama kubeli dulu. “Jika Bapak ingin hondanya awet, tahan lama, dan tidak merengek-rengek, maka rawatlah dengan baik, servicelah yang teratur di tempat khusus Service Resmi Honda.”
Cintaku pada Honda sahabatku tidaklah akan pernah pudar. Tidak ada yang dapat menandingi rasa cintaku padanya. Buktinya, setiap aku akan membawa dia jalan-jalan jauh bersama keluargaku, sebelum berangkat, aku cek dulu sahabatku, apakah dia sakit atau tidak. Aku pun tetap memberinya makanan oli baru buat dirinya lebih dahulu. Aku nggak ingin dia nggak sampai di tujuan. Kuperhatikan segala lekuk tubuhnya, jika ada yang tidak beres dengannya, kuganti dia dengan onderdil yang baru sehingga jalannya tidak akan pincang.
Begitu pun ketika aku berangkat ke tempat kerjaku. Sahabatku tetap ikut. Bagiku pergi dengan Honda sahabatku sungguh nyaman. Selain berteknologi tinggi, sahabatku juga mudah dikendalikan. Karena begitu mudahnya, aku nggak pernah telat sampai di kantor. Aku juga nggak pernah mengecewakannya. Dia pun tidak pernah mengecewakanku. Sekali lagi kukatakan bahwa aku tidak pernah disakiti sahabatku Honda. Dialah sahabatku yang ramah lingkungan. Sahabatku yang mementingkan keselamatan dan kenyamanan.
Bagiku Honda merupakan bagian dari hidupku, penunjang sukses keberhasilan kerjaku, teman dalam suka dan duka bersama keluarga. Honda, engkau jantung hatiku, yang menyemangati aku dalam setiap tarikan nafasku sehingga aku tetap mencintaimu. Honda sahabatku, Honda cintaku dalam seumur hidupku. Terima kasih Honda, engkau telah sudi menemani hari-hari hidupku dan keluargaku.

Kabar Pagi Hari

Mendung pagi mengalun tebal
menutupi jendela-jendela kehidupan
mengiring gerak langkah kita
mengejar bayang-bayang
dalam sekali langkah
meninggalkan tabir kealpaan
siap menerkam urat-urat pintu kehausan
kehausan yang melanda tanah kering sahabatku

Pagi ini juga burung-burung memberi kabar
hilangnya kasih sayang di tengah jalan
merengkuh mendekap tanah tak bersuara
melepaskan bunga-bunga yang merintih
pedih menyayat hati tak terkira
karena lupa menghampiri dada

Pagi ini juga bapakku terkapar
terjerembab melolong di bawah besi-besi tua
tak ada tenaga yang membantu
kecuali beton kekar penghempas kepala

Pagi ini juga kami mengharap
belaian tanganmu singgah lagi
di pintu pelabuhan anakmu
yang tak menginginkan ratapan
mempir menggerogoti sanubari
sebelum lonceng berdentang untuk kembali pada-Nya


Lhokseumawe, 10 Jan 90

Kepada Bapakku di Sana

Di tengah teriknya mentari
bapak-bapakku mengitari dinding-dinding kehidupan
mencari ketenangan untuk kami
anak-anakmu dalam dekapan bunda tercinta
hingga senja memberi kabar kepulanganmu

Bapak-bapakku yang berjalan di antara tebing terjal
menitiskan butir-butir kehangatan
bersiaplah dengan mantel tebal
pelindung badan tahan pukulan sengatan kelukaan
sebelum ajal menjemput
meninggalkan kami sendiri
dalam ruang sepi hampa akan kasihmu lagi

Bapak-bapakku yang mendengus di antara besi dan kayu
adalah kepunyaan kami
dalam dekapan dan dalam tidur siang hari
bertemankan helm kasih dalam ingatan
sebelum datang hentakan syaitan
yang menggiring bapakku dalam pelukan aspal

Ingat......!
ingat bapakku........!
di tangan kanan aku berkata
di tangan kiri aku berjanji
di kedua atangan aku berdoa
harapkan bapak selamat mengarungi laut samudera
untuk kita berbagi duka
beranak cucu sentosa dalam pelukan-Nya


Lhokseumawe, 9 Jan 90

Lantunan Kasihmu Masih Ingin Kudengar

Lantunan kasihmu masih ingin kudengar
seperti dulu
ketika bapak belum beranjak pergi
meninggalkan luka menusuk kalbu
hari ini tidak seperti dulu

Lantunan kasihmu masih ingin kudengar
di ambang senja keteduhan hati
yang membangkitkan semangat
yang menyinari tanah kering
yang lalai menjadi ingat
karena bapak sinari kami dengan cahaya-Nya

Lantunan kasihmu masih ingin kudengar
siang malam sampai pagi kembali
yang kelak mengantarkan kami
berdiri tegar tanpa malu
di depan sidang masa penantian pengabdi diri

Lantunan kasihmu, Papa………!
masih ingin kuteguk
masih ingin kurasa
masih ingin kudamba
sampai petang membayang di depan mata ini


Lhokseumawe, 5 Jan 90

Sadar Kembali

Kakekku punya kebun yang luas. Seluas mata memandang.Wou...., luas sekali ! Nah, kali ini kebunnya terlambat untuk dibersihkan. Padang ilalang tumbuh dengan leluasa, Duh, bagai hutan saja.
Selain ilalang, banyak juga binatang yang berhamburan mencari makan. Mereka menyelinap dan bersembunyi di balik semak.
“ Bersembunyi......?”
Jelas, kelak tak dimangsa binatang lain. Eh, teman-temanku yang cakep, salah satu binatang di kebun itu adalah...... Mau tahu kan ? Itu......tu......tu...., binatang cacing. Tahu kan...? Kalau tidak tahu, tanyakan saja pada papa dan mamamu di rumah. Ntar, pasti tahu sendiri.
Sudah tahu kan ....? Nah, Cacing yang satu ini pandai sekali. Ia pintar mencari rumah dan sembunyi sendirian di balik pohon nenas. Dia ada rada ogahnya juga. Malasnya juga minta ampun, jengkel kita dibuatnya.
Selain itu, kerja si Cacing hanya bernyanyi sepanjang waktu. Ya........kadang juga ia merenung seorang diri. Tak punya kerja, malas, bersiul-siul kecil, dan mengolok-olok saja tiada hentinya bagai kereta api yang berjalan.
Nah teman-teman, suatu hari hujan turun kecil-kecil. Wah, kalau sudah datang hujan, yang paling senang yah...... petani kita. Mereka pasti bahagia sebab tanaman pada akan tumbuh subur. Wou......, bukan petani saja, adikku juga. Ia akan mandi hujan dan bemain-main di luar. Ha......ha....., termasuk kamu tentunya, kan ? Begitu pula dengan cacing kita.
Saat itu dia bertemu dengan semut-semut kecil. Matanya melirik ke sana-sini. Dasar tinggi hati, melihat semut kerja barengan, e...... malah dia mencibirkan muka, sebentar kemudian e...... tersenyum.
“ Gila kali !”
“ Gila......??!”
“ Bukan, mana ada cacing yang gila, ya tidak ?”
Nah, Cacing mulai ngoceh, bicaranya mulai ngelantur.
“ Wah......,wah......, benda segede itu ( lalat mati ) kalian angkat, apa tak berat ? Lihat, ogut enak ongkang-ongkang, tak capek kerja, makanan datang sendiri. Kalian apa, he......? Dasar Semut tolol !” ejek Cacing.
Warga semut hanya membalasnya dengan senyum nan aduhai.
“ Du ila......, sudah dihina e......malah membalas dengan senyum nan aduhai.”
“ Hebatkan....!”
“ Ya, betul.”
“ Betul, Pak Ridha juga bilang begitu.”
“ Buktinya ?”
“ Mau tahu ? Wah, Bung Karim ngakak.”
“Mengapa ?”
Hujan semakin deras dan bumi semakin tenggelam bagai lautan tak bertepi. Segar tanaman masih bisa menghirup kenikmatan dunia dan nenekku eh.... nenek Sari pulang kerja senang hatinya sebab lelah kini melenyapkan diri.
Si Semut juga begitu. Mereka merayapi dinding rumah nenek Sari dengan badan kering tak basah karena hujan. Keceriaan itu terpancar jelas dari wajah semut imut-imut.
Kini, mereka balik mengolok-olok si Cacing yang lagi kedinginan dan rumahnya yang penuh dengan riakan air bagai kolam buatan si jampang pengirim lagu. Badan Cacing kuyub dan rumah lenyap diterjang badai.
“ Kasihan.....!”
“ Wah, baik juga rupanya si Semut. Percaya tidak, teman-teman ?”
“ Pasti........., pasti percaya !”
Nah, biarpun semut kecil-kecil, mereka punya rasa kemanusiaan juga. Coba simak saja. Si Semut Besar alias rajanya, tambah konco-konco kerenya tak pula ingin melihat Cacing menderita berkepanjangan, berjalan tertatih-tatih. Masyarakat kecil ingin melihat dia bahagia juga. Senangkan kalian digotong........ eh bukan, gotong royong ?
“ Senang !”
Si Cacing selamat. Dia terhindar dari mara bahaya yang mengancam dirinya. So, ia berterima kasih kepada keluarga Semut.
“ Apa sebab ?”
Si Cacing kini sembuh alias sehat di rumah keluarga Semut. Hidup enak dan makan nikmat.
Akhirnya si Cacing gembira. Di pondokan Semut, mereka berpesta bagaikan kita sedang berpantun. Asyik..........., makan pun mereka bagi rata. Tidak ada yang dianaktirikan. Kerja bareng membangun negeri damai sentosa.
Dalam pertemuan besar itu, si Cacing berpidato bahwa kini dia insyaf. Tidak ingin bermalas-malasan. Siapa yang malas tentunya dia akan tertinggal. Nah, semua kawan jadi saksi. Senang, berkaca-kaca, hati bernyanyi lihat Cacing tak malas lagi.

Penyu

Penyu….
Engkau makhluk Tuhanku
Saudara kura-kura
Punggungmu berperisai
Kuat kokoh tahan badai

Penyu………
Meski kau jelajahi air
Tapi takut air
Lihatlah………
Penyu kotak terbirit
Jauhkan diri ke darat
Hingga berbulan tanpa cacat

Penyu……..
Jantan cekung ekornya
Betina cembung menggoda
Musim semi musim bercinta
Padu kasih jalin asmara
Tanpa terasa
Musim panas tiba
Menetaslah kasih dari telurnya

Sekali waktu
Kau ke permukaan
Ambil nafas sebelum tidurmu
Selama di air
Kaudapatkan oksigen
Dari anusmu

Lhokseumawe, 14 Desember 2009
12.15

Cendrawasih

Cendrawasih…………..
Dikau indah menawan hati
Ada di sini
Di negeri ini

Suatu kali………
Engkau marah menjadi-jadi
Karena kawan kami
Menyakiti hati

Cendrawasih……….
Berilah maaf pada anak negeri
Yang mengusik ketenangan
Merampas kedamaian

Lhokseumawe, 18 Agustus 2009

Lemur

Kau saudara monyet
Hanya ada di Madagaskar
Ekormu meleret 12 senti
Engkau penghuni pohon
Tapi bukan blo’on

Lemur………
Hitam putih ekormu
Menghias alam sesukamu
Meloncat antar dahan
Sesuaikan diri dalam kelembaban

Lemur……
Monyet kecil
Tubuh mungil
Buat sarang bentuk bola
Dari dedaunan yang kautata

Aneh tapi nyata
Betina banyak saudara
Dalam kelompok aneka rupa
Tapi
Si jantan sendiri
Tak sudi ditemani

Lemur………
Lemur kecil 60 gram
Panjang 13 senti
Engkau lucu sekali
Di singgasana hati
Engkau hamil 60 hari
Turunanmu bagus
Dua ekor sekaligus
Dalam Oktober November pujaan
Seminggu setelah musim hujan

Lhokseumawe, 2 Desember 2009
14.55

Landak

Landak………
Kakimu empat
Kau semut besar
46 senti panjang memikat
20 senti lingkar tubuhmu
Buatku tetap menyukaimu

Durimu panjang nan tajam
Hiasi ragamu
Kecuali perutmu
Cuma bulu-bulu

Tuhanku mentitahkan
63 kromosom jantan
64 dalam jiwa betina
Tuk menyambung hidup selanjutnya

Landakku………landak Tuhanku
Tungkaimu pendek nan kokoh
Menggaruk tanah bagaikan sekop
Mencari musuh yang sembunyi
Kayak semut dan rayap
5 cakar tungkai belakangmu
Siap jaga dari musuhmu

Wahai landakku
7,5 senti moncongmu
Mampu melibas musuhmu
Lalu semut rayap tak kuasa lari
Kau sekap di teras 8 senti lidahmu

Lhokseumawe, 3 Desember 2009
13.00

Lalat

Lalatku………..lalatmu………….!
ada di sini ada di sana
dari daerah dingin hingga khatulistiwa
beterbangan liar ke mana suka

Lalatku……….. lalatmu………!
berkaki enam di bagian dada
bersayap tipis keluarga dipteria
terbangnya jauh tiada terkira

Lalat………..!
dikau dibenci terkadang dimaki
dibenci karena menggores luka di hati
dimaki karena tak suka suci

Engkau terkadang kejam
menyebar penyakit mencekam kelam
mendatangkan kalut
hingga maut ikut menjemput

Btp 260501

Capung

Capung………….
Engkau kurus nan panjang
Engkau indah tembus pandang
Matamu tajam mahir memandang

Capung………..
Lajumu cepat sekali
Mengitari bumi
Mencari kenikmatan sendiri

Capung……….
Dirimu terbesar
Dari serangga yang berkibar

Capung………..
Kau sikat penyebar penyakit
Nyamuk dan lalat kau gigit
Selamat dunia terhindar penyakit

Lhokseumawe, 18 September 2009

Rabu, 25 November 2009

Sendiri

Hari ini
aku sendiri
dalam sunyi sepi
tiada menemani
kecuali kita suci

Dalam kesendirian
pikiran tak karuan
menerawang jauh ke pedalaman
teringat bapak di samping Tuhan

Di sini
jelas lagi pasti
kisah kecil dulu mengukir diri
bahagia selimuti hari-hari
jadikan jiwa senangkan diri

Itulah hari-hariku
sendiri tanpa bapakku
kumau
cita bapakku menjelma dalam hariku

Lhokseumawe, 19 Agustus 2009
11.00

Hari Bahagiaku

Hari ini ....
hujan enggan mengguyur hidupku
berbunga kalbuku
tanpa malu-malu

Seketika....
langkahku bersorak
harapan menjelma
menatap insan-insan bermakna
buatku
bahagia tiada bilang rasa

Kusemai cita dan cintaku
anak-anakku beriang sukma
menggali ilmu penuh tawa
bersamaku meniti jalan
jalan hidupku sejak dulu

Duh...
polosnya kumbang melati
jiwaku dipuji
jiwaku dinanti
tiap hari
sejak pagi sampai sore hari

Bahagianya aku
girangnya aku
bisa berbagi ilmu
di tempat kerjaku
bersama generasi bangsaku

Betapa girang hatiku
betapa senang perasaanku
ketika kutahu
semua kataku
semua langkahku
digugu dan ditiru
demi menghias relung hidup mereka
tanpa takut
tanpa cela
melukis alam penuh makna
demi cita-cita
mereka diterima
mereka bahagia
bersamaku dlam bahtera ilmu

Lhokseumawe, 20 Agustus 2009
10.00

Hujan

Menggelegar gemuruh mengiring kehadiranmu
gelap menggumpal awan hitam
pecah berkeping dirimu
jatuh....jatuh....membumi

Tik tik tes tes ber....ber...
basah....basah... kuyub sekuyub-kuyubnya
gembira raga melonjak ria
kodok terbahak ngakak
cacing-cacing menari
rerumputan dansa
pepohonan berseri
menyambut kedatanganmu

Hujan...
kaulah sahabatku, kaulah teman sejatiku
kaulah saudaraku sesetia hari-hariku
tanpamu
hidup ini tak berarti

Lhokseumawe, 20 Agustus 2009
12.00

Senin, 09 November 2009

Topeng Penyelamat Dusun

Awan di atas sana tampak begitu gelap. Semua tak tampak. Cuma bayang-bayang samar mengusik mata. Kalaupun ada cahaya, ya itu cuma kedipnya kunang-kunang. Bunyi jangkrik semakin mendirikan bulu kuduk. Seram dan sungguh menakutkan. Desisnya ular dan nyalaknya srigala di puncak bukit kian menggetarkan jiwa agar tak ke luar bilik. Semua berdiam diri, mananti dan menanti, sampai fajar kembali membuka mata.
Topeng terenyuh menyaksikan keadaan sekelilingnya. Dia bingung sekaligus gundah melihat kampungnya dari hari ke hari semakin terpuruk dalam kekeringan yang amat panjang. Kayaknya orang-orang di kampung itu sudah tak peduli lagi. Mereka asyik dengan diri sendiri, tak lagi memikirkan daerahnya yang kian tandus dan gersang. Nggak ada lagi yang mau memikirkan tanah yang mulai retak berbelah-belah. Nggak lagi mau memikirkan orang kecil bisa makan atau tidak. Nggak ada yang terbuka matanya untuk menyelamatkan dusun dari kekeringan yang amat panjang. Sungguh mengerikan dusun itu. Jangankan dilalui, dijalani saja kayaknya sudah tidak memungkinkan lagi, hal itu yang tengah dipikirkannya
Suatu hari si Topeng berusaha mencari akal. Dia putar otaknya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ibarat pepatah kaki naik kepala turun. Harus bekerja keras dan tidak tanggung-tanggung jika ingin dusunnya terselamatkan dari bahaya yang lagi mengancam. Orang-orang akan mati kelaparan, piaraan di kandang akan mati kehausan tiada banding, dan tidak bisa hidup layak seperti saudaranya yang lain di lain dusun.
Akal baiknya pun muncul. Dia langkahkan kedua tungkainya menyusuri dusun sepi. Tujuannya juga belum pasti benar. Hanya hasrat yang membuatnya begitu. Si Topeng tetap mengayunkan langkah meskipun peluh telah membanjiri sekujur tubuhnya yang mulai kering. Dengus nafasnya yang kian kencang tidak dihiraukannya lagi. Jauh benar jalan yang ditempuhnya. Sudah tidak terhitung banyaknya langkah yang telah dijejakkan ke bumi. Yang pasti dia harus bermalam-malam di jalan dusunnya, sampai-sampai si suami yang ditinggalkannya mencari-cari. Tiga hari kemudian barulah ia kembali lagi ke bilik kecilnya.
“ Eh, Emak, dari mana saja, kok sudah tiga hari tak di rumah ?” tanya suaminya sedikit jengkel.
“ Aku tengah mencari sesuatu yang dapat menyelamatkan dusun ini dari bahaya yang berkepanjangan,” jawab Topeng enteng.
“ Mak, mengapa pula kau yang sibuk, ha....! Orang di sini saja tidak ada yang ambil peduli, e........malah dirimu cari penyakit. Tugas istri itu ngurus rumah, bukan malah meninggalkan kerjaan pada suami, “ nasehat si suami pula.
“ Emak tahu tugas. Nggak perlu dikasih tahu.”
“ E..., Mak, nggak usah mikir yang lain lha, ntar nanti sakit, mau ke mana kita cari obat, sementara uang kita nggak ada ?”
“ Lebih baik aku yang sakit ketimbang orang lain yang menderita,” ujar Topeng mantap seraya meninggalkan suaminya.
Pagi itu masih subuh benar. Sinar mentari baru sembunyi-sembunyi menampakkan dirinya. Belum terang-terangan seperti kita yang berbicara hari ini. Cahayanya masih samar-samar menembus cakrawala, cuma kokok ayam jantan yang terdengar bersahutan. Pagi seperti itulah si Topeng bergerak melangkah menggapai cita-citanya sembari menenteng sebuah pacul kecil miliknya sendiri.
Topeng terus berupaya menenangkan hatinya. Tekadnya telah bulat benar. Ia nggak peduli dengan cemoohan orang. Meskipun badai besar siap menghadang perjuangannya, wanita miskin itu tetap bersikeras menyelamatkan dusunnya tempat bernaung. Langkahnya pasti dan penuh perhitungan. Kini pun tujuan perjalanannya itu telah jelas. Lihatlah, dia tapaki lereng bukit perawan yang tinggi lagi terjal itu. Sendirian dan tiada yang menemaninya kecuali doa yang kerap diucapkannya setiap dia melangkah.
Berminggu-minggu ia menapaki jalan di susunnya, akhirnya Topeng menemukan sesuatu yang menjadi tujuan dan impian lamanya. Di atas bukit cadas dan keras itu dirinya menemukan setitik harapan masa depan. Matanya berkaca-kaca, jiwanya beriang sukma, dan nafasnya rada teratur kini. Seakan ia tidak percaya pada apa yang ditemukannya.
“Alhamdulillah ya Allah, Engkau beri secercah harapan. Mudah-mudahan mata air yang kutemukan ini dapat mengobati luka saudaraku yang lain. Aku bersyukur kepada-Mu Tuhan atas semua nikmat ini !” ucap Topeng penuh haru.
Hari itu mulailah dia memahat batu cadas untuk mengalirkan air dari mata air yang ditemukannya. Kerja keras yang banyak mengeluarkan tenaga itu dipautnya siang dan malam. Topeng tidak memikirkan peluh yang telah membanjiri sekujur tubuhnya. Sehari, dua hari, bahkan seminggu telah dilaluinya, tampaklah otot-otot mulai menghiasi dirinya sendiri. Ototnya besar-besar melebihi besarnya otot seorang lelaki tulen. Bangga dan dia semakin bangga dengan keadaan dirinya menebas cadas keras selebar 50 cm dan ke dalaman semeter itu. Kerja yang ditekuninya memakan waktu yang cukup lama. Untuk membuat lubang sedalam semeter saja, ia menghabiskan waktu dua minggu.
Kejadian hari-hari pertama dia menggali batu cadas diceritakanlah kepada suami tercinta. Topeng senang sekali menceritakannya semua, namun suami tercinta tidaklah menyahutinya, bahkan seakan mencemoohkan, mencibirkan, mengejek-ejek, mengatakan yang bukan-bukan.
“ Mak, apakah kamu sudah gila ? Masak batu cadas begitu keras dipahat ? Apa nggak ada kerja lain ? Kalau aku, mah........ tak uuk lah, lebih baik aku cari kerja yang lain saja daripada mencelakakan diri sendiri. Sudahlah, Mak, tinggalkan saja. Nggak mungkin kamu bisa mengerjakannya seorang diri !”ujar suaminya panjang lebar.
“ Ya sudah, kalau Bapak tak mau membantu, biar aku saja sendiri, “ balas Topeng enteng dan tidak menghiraukan kata-kata suaminya.
“ Itu kerja orang gila.”
“ Biarlah aku gila !” kata Topeng sambil berlalu meninggalkan keluarganya.
“ Ee........, Emak mau ke mana ?” tanya sang suami ingin tahu.
Topeng terus berjalan sendiri. Teman-temannya yang lain enggan ikut membantu. Mereka takut karena tidaklah mungkin seorang wanita desa sanggup menebas batu cadas, terlebih ingin mengalirkannya sejauh jalan yang ditempuh. Dia tetap tegar menjalaninya hanya demi kelangsungan hidup saudaranya. Begitulah hari-hari yang dilaluinya. Dia belum mau berhenti sebelum niatnya itu terwujudkan. Sampai akhirnya galian seperti parit kecil itu telah terbentuk sepanjang lima belas meter, namun airnya belumlah dialirkannya, masih tetap dibiarkannya di puncak bukit. Biar penuh dulu, pikirnya.
Hari-hari berikutnya, ia coba membujuk wanita-wanita yang ada di dusunnya. Topeng menginginkan sesuatu dari mereka. Wanita nan perkasa ini berharap warga di dusunnya itu merelakan semeter dari tanah yang dimiliki dapat digunakan untuk jalan air.
“ Tidak, aku tidak rela. Lagi pula, ngapain kamu buat seperti itu, itu mustahil bisa terlaksana !” kata seorang ibu.
“ Benar, kami tidak menginginkannya. Jangankan kamu, pemerintah daerah saja masih enggan ngurusin yang demikian. E.... malah kamu mau cari muka, dibayar berapa kamu dari kerja gilamu itu ?” ledek seorang tetangganya yang suka usil.
“ Kalaupun kami mau, berapa sanggup kamu membayarnya ?” ledek yang lain seakan merendahkan diri si Topeng.
“ Yang kubeli cuma satu meter selebar dan sepanjang tanah ibu-ibu yang di depan pinggir jalan ini,”
“ Sepanjang jalan desa ini ?! “ kata yang lain nggak percaya.
“ Ya, aku akan bayar dengan uang hasil menjual tanah yang kumiliki itu. Semuanya akan kujual untuk menutupinya. Bila perlu atau kalau juga kurang nantinya, rumahku pun akan kulego !” jawab Topeng mantap.
“ Nggak usah percaya omongannya. Mana mungkin orang miskin kayak dia bisa melunasinya. Kalau pun mungkin, ya kayak rezeki yang tiba-tiba turun dari langit. Rezeki nomplok yang mungkin tidak semua orang bisa mendapatkannya. Enak saja !” sindir yang suka usil dan kerap bikin keributan.
Si Topeng nggak banyak ngomong. Dia berlalu begitu saja tanpa ingin melanjutkan perdebatan. Kalau dilanjutkan, bisa-bisa runyam semua, berantakan, berserakan yang tak berujung pangkal. Otomatis, semua usaha yang telah ditempuhnya jadi sia-sia belaka. Wanita perkasa itu pun tak ingin hal buruk terjadi di depan matanya. Yang penting, aku tidak mengganggu kesenangan mereka. Aku hanya ingin melepaskan derita penduduk dusunku, pikirnya suatu kali.
Benar juga kata hatinya. Beberapa bulan setelah itu, langit berubah warna. Terang dan tidak gelap lagi kayak dulu. Angin pun melunakkan hatinya. Semilirnya membawa aroma penyejuk jiwa. Wanginya bukan main. Tiupannya seakan mengajak kita untuk berbagi duka, berbagi rasa, dan membangkitkan gairah hidup. Alamak...............!!!
“ Woi.................., woi..........., ada air........., ada air............., lihat sini !” teriak seorang wanita yang tengah melintasi jalan dusun.
“ Alhamdulillah, kita nggak akan kehausan lagi !”
“ Hai, kita akan bisa menanam lagi. Kita akan ........akan..........!”
“ Pokoknya, kita akan dapat mengolah tanah kita lagi. Tanah di sini tidak akan pernah kering dan retak-retak kayak dulu. Inilah berkat Yang Maha Kuasa !” puji orang tukang usil sejagad raya.
Tiba-tiba...........
“ Ya, memang berkat rahmat Tuhan. Tanpa kekuasaan, keizinan, dan kehendak-Nya mustahil ini semua bisa terjadi. Kita dapat bebas dari kesengsaraan, “ kata Topeng dari balik batu cadas di kaki bukit dekat saluran air yang baru dibuatnya.
Orang-orang yang berkerumun di situ pada malu. Mereka diam tanpa suara. Tak secuil kata pun yang keluar dari mulut warga dusun. Bai yang lelaki maupun wanitanya.
“ Lho, kok diam semua ?” kata Topeng
“ Ah, enggak gitu, Peng. Kami malu pada diri sendiri, kenapa kemarin itu kami mencela dan mengejekmu. Kalau tahu begini, kami mau kok, ya nggak Saudara-saudara ? Sekarang pun kami merelakannya !” sahut di antara mereka.
“ Dulu sudah kukatakan, kalau bukan kita yang mengubah nasib ini, siapa lagi. Betul kan ibu-ibu ? “ ucap Topeng mantap.
Seluruh warga mengangguk mengiakan pendapat Topeng. Mulailah pada hari itu mereka membantu menyelesaikan tugas Topeng. Tanpa diminta, tanpa diberi imbalan, masyarakat daerah terpelosok itu pun merelakan tanahnya untuk dibuat saluran air. Karena ramainya yang membantu, kerja itu cepat terselesaikan. Alhasil, semuanya hidup sejahtera, bahagia dengan tanaman yang menghijau alam.
Peristiwa itu tidaklah cukup sampai di situ. Seiring dengan pergantian waktu, Topeng buat kejutan lagi. Dia tidak ignin menyia-nyiakan hidupnya saat ini. Kemiskinan bukanlah menjadi penghalang baginya. Tidak sekolahnya dia waktu itu, tidaklah menghambat seseorang untuk maju, asalkan ada kemauan pasti jalan akan terbuka lebar. Lahannya yang sempit dan kecil dijadikannya areal pengembangbiakan ikan mujair dan lele dumbo. Ibarat sudah kepalang basah, ya sekalian mandi.
Ternyata usaha kecilnya itu berkembang pesat. Cara kerjanya menjadi perhatian orang. Ketekunannya pun dipuji selangit. Termasuk suaminya sendiri kini ikut mendukung usaha kecilnya.
Berita keberhasilan Topeng mengalir sampai ke berbagai dusun yang jauh. Bahkan pemimpin masyarakat pun ikut mengunjungi dusunnya. Mereka banyak membantu masyarakat kecil yang kekurangan. Orang-orang dusun banyak yang dibekali modal untuk mengembangkan usaha mereka. Akhirnya selamatlah dusun itu dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan.

Topeng Sang Dermawan

Hari ini gelap melebihi gelapnya kemarin. Cahaya rebulan tak tampak di mata. Cuma rengek jangkrik mengelus daun telinga. Yang lain ogah menguak. Cibir mengiringi diri ke mana suka. Seakan mata hati nggak bisa menatap lebih jauh. Biarlah derita ini terpendam dalam jiwaku. Jangan diungkit barang yang telah terendam lama. Biar aku saja yang menderita. Jangan yang lain turut merasa. Cukup satu contoh menyibak nada, yang lain nggak usahlah.
Itulah renungan, pekikan hati, jerit batin seperti mutiara terpendam dari bocak cilik seperti aku. Merana, merintih, menangis sendiri. Tidak ada yang menemani, sebab sesepuh telah beranjak jauh yang tidak mungkin kembali lagi.
Topeng tatapan matanya hampa. Sepertinya telah sirna entah berapa lama. Duka lara kian menari mengajaknya goyang ikut irama alami. Mungkin sudah suratan, nggak boleh kita menolaknya. Batu ujian semakin runcing nan tajam mengoyak, melumat riangnya masa kecil. Semuanya tidak dihiraukan lagi. Yang paling penting, aku harus berkarya meskipun badai dan topan siap menerkam jiwa. Begitu tekadnya yang terekam dalam benaknya ketika ia masih esde dulu.
Hingar bingarnya suasana kota, jerit-jerit kecil teman sebaya, seakan belum mampu mengobati lukanya yang amat dalam. Bayangkanlah, masih imut-imut dia harus sudah membanting tulang, mencari sesuap nasi dari pagi hingga petang menyingkap bumi. Lagi pula, saat sekarang ini mencari kerja dalam usia muda tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Biar telah di depan mata, masih bisa luput dari genggaman. Jangankan mendekat, menyapa saja kerja itu masih enggan.
Untunglah Topeng masih ingat pesan si bapak. Berdoa dan berusaha niscaya rezeki itu akan datang juga. Benarlah adanya. Nggak lama setelah itu, Topeng jadilah penjaja koran dan makanan kecil. Digelutinya kerja yang tak seberapa itu. Terik mentari dan kucuran hujan jadilah santapan sehariannya. Gosongnya kulit tidaklah melunturkan semangat juangnya bak pahlawan Nusantara di medan laga, telah siap segalanya.
Hebat.....! Koceknya kini kian menggembung, namun ia tetap bermurah hati. Kawan lain juga ketiban rezeki.Ibarat makan durian, makannya berbagi searoma harum menyibak langit biru. Kawan sepermainan bisa turut berpesta meskipun hanya dengan lauk yang sangat sederhana. Anak-anak kampung Rambung Binjai dikumpulkannya di kediamannya sendiri. Semuanya dikasih makan, uang, pakaian untuk menopang hidup mereka, yang benar-benar mereka butuhkan.
Hari ke hari kebaikan Topeng menyibak jagad melukis alam. Nggak ada sedikit pun terbesit di hatinya rasa rugi dalam membantu teman senasib sependeritaan. Orang-orang kecil seperti dia seakan hendak menari dalam sebuah festival. Mereka diajar, dididiknya membuat pisang goreng , gurih nan mengulas rasa.
Duh, nyata benar kebaikannya. Rasa pisang goreng buatan Topeng memang lain dari yang lain, lain dari semua masakan. Pokoknya siiiiiiip deh. Kita pun belum pernah mencicipinya sendiri. Tetapi, bagi orang-orang yang pernah membeli dan memakan masakannya, mereka semua mengatakan sungguh nikmat rasanya. Wou......, membuat liurku menetes tiada batas. Tes.......tes.........tes....., mengalir bagai air hujan mengguyur bumi.
“ Bang Topeng , setelah usaha kecil abang berhasil seperti ini, apalagi yang akan abang lakukan ?” tanya bocah tetangga.
“ Masih banyak yang harus abang kerjakan. Satu di antaranya meringankan tetangga kita dalam bekarya dan menciptakan lapangan kerja baru. Lagi pula, sejak abang menjual makanan kecil dulu, sudah tertanam di hati ini untuk menjadi orang tua asuh.”
“ Apa nggak sebaiknya abang belikan dulu sebidang tanah dan membangun rumah di atasnya ?” tanya anak kecil lainnya.
“ Wah, kalau hal itu yang kita pikirkan dulu, tentu saja janji abang akan lama terlunasi.”
“ Janji apa itu, Bang ?” tanya anak-anak serempak.
“ Kata orang tua abang, nazar itu harus dilunasi. Kalau tidak, kita akan sengsara sendiri. Bila sudah dilunasi, yang lain itu akan mudah datang.,” ujarnya mantap.
“ Ou........ou........!” Si adik bengong sekaligus takjup dan bangga menyaksikan Bang Topeng yang dermawan.
Selang beberapa tahun kemudian, bumi basah sebasah-basahnya. Kodok-kodok beriang sorak. Burung camar melayang-layang di udara begitu senangnya. Rerumputan tidak kering lagi. Dedaunan menghijau mengulas senyum. Ya, senyum mereka begitu manis menggoda hati. Pepadian penuh berisi dan tidak pernah menangis kayak dulu lagi. Semua gembira membalut jiwa berhias senyum bidadari.
Bang Topeng kini telah makmur hidupnya. Ia nggak miskin kayak dulu. Rumahnya gedung besar, namun tetap biasa saja. Pemuda itu tetap rendah hati dan tidak pernah menyombongkan diri kepada siapa pun. Bahkan saat ini anak asuhnya semakin banyak saja. Ada yang tua dan ada pula yang masih muda sekali. Pokoknya yang nggak sanggup membiayai hidup, tentu dibantunya, boleh jadi ada yang dikerjakannya di tempat usaha kecilnya itu. Namun begitu, masih ada saja orang yang iri hati kepadanya.Entah mengapa bisa jadi begitu.
Malam itu saat orang lagi lelap-lelapnya, rumahnya digasak maling. Mereka mengambil barang berharga seperti kereta, perhiasan, dan peralatan elektronik. Rumahnya jadi acak-acakan, namun ia tetap tenang saja.
“ Bang Topeng, mengapa abang diam saja barangnya diambil orang ?” tanya warga yang masih muda darinya.
“ Biarlah, mungkin saja itu rezeki dia.”
“ Rezeki sih rezeki, kalau ngambil begitu kan itu namanya pencuri. Pencuri itu harus dihukum, nggak boleh kita diamkan saja,” jawab yang lain geram.
“ Sudahlah, biarkan saja, nanti juga kembali barangnya,” bujuknya pada pada adik-adik di kampung itu.
“ Nggak mungkin kembali, Bang, kalau tidak kita cari,” sergah yang lain.
“ Sudah, sudah, nggak usah dipikirkan, itu harta kan bukan milik kita, tetapi milik Allah. Kita hanya dikasih pinjam.Nah, kalau yang punya ambil, ya terima saja dengan lapang dada. Itu bukan hak kita. Sudahlah, nggak perlu dibesar-besarkan. Mari kita urus pekerjaan kita saja, yang begituan nggak usah. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah Yang Punya Kuasa. Ayo.........!” nasehatnya bijak.
Warga lain dibuatnya terbengong-bengong namun tidak bagi Topeng. Ia tetap tenang dan bersahaja sambil mengumbar senyum kehangatan.
Nah benar saja. Nggak berapa lama semua hartanya yang hilang itu kembali sendiri diantar sama yang ambil. Wou.........., masyarakat telah numplek ingin menghakimi sendiri, ingin menggebuki, memukuli hingga babak belur, namun dicegah Topeng.
“ Kita jangan main hakim sendiri, itu nggak bisa menyelesaikan masalah.Biar, biarkan dia ngomong sendiri. Apa kesalahannya, mengapa dia mengambilnya. Ayo, anak muda, bicaralah yang jujur, katakan ada apa ?” tanya Topeng pasti.
“ Maafkan saya,Tuan !”
“ Jangan panggil saya tuan, cukup panggil saja abang, biar lebih akrab,” pintanya.
“ Maafkan saya, Bang ! Saya telah mengambil harta abang.”
“ Mengapa kamu mengambilnya ?” desaknya.
“ Saya terpaksa,Bang. Saya kepepet, habis biaya hidup nggak cukup. Anak yang sekolah perlu biaya,Bang. Lagi pula sekarang lagi krisis ekonomi, Bang !”
Topeng cuma geleng-geleng. “ Untuk biayai anak bukan begitu caranya. Kamu harus kerja yang benar. Kerjanya harus halal, apalagi untuk membiayai hidup mereka. Nggak mungkinlah kita kasih makan dengan bara api yang menyala-nyala dan membakar perutnya dan perutmu sendiri.”
“ Habis, nggak mungkin ada yang mau menerima saya bekerja,Bang.”
Warga pada teriak mengejeknya. Mau ditolong nggak sudi. Hu......!
“ Ada, ada yang mau. Kamu ikut kerja saja di sini dengan mereka. Saudaramu yang lain pun akan menerimanya dengan senang hati. Lihat mereka. Semuanya juga orang yang susah dan dulu nggak punya kerja. Benar,kan ?” tanya Topeng sambil menatap sekelilingnya.
“ Ya, asal kerjanya yang benar, jujur, setiakawan, “ teriak mereka serempak.
“ Benar,Bang ? Topeng mengangguk. Makasih,Bang !”
Bahagia Topeng menyambut saudaranya yang telah insyaf. Bahagia........bahagia berbalut hati sang dermawan.

Minggu, 01 November 2009

Beribadah

Ibadah itu wajib hukumnya
Pada Tuhan pemberi berkah
Allah berfirman dalam kitab-Nya
Manusia dicipta untuk ibadah

Sungguh banyak macam ibadah
Tak terhitung dengan jari
Silakan anda kerjakan ibadah
Asalkan ikhlas Allah senangi

Banyak manusia kuat ibadah
Ibadah sunat ibadah wajib
Sungguh sayang banyak ibadah
Tetapi tetap membuka aib

Ibadah perlu kita kerjakan
Sebab Allah perintahkan nabi
Ibadah ikhlas kita kerjakan
Bukanlah harap dipuji diri

Lhokseumawe, 14 Agust 2009
09.00

Berbakti

Pak Guru masuk kelasnya sepi
Kita belajar senangkan ibunda
Jadi anak harus berbakti
Agar hidup tiada noda

Belajar bahasa susah sekali
Benar semua juara Satu
Patuhi guru anak berbakti
Insyaallah disayang Allah Tuhanku

Surga itu jelas adanya
Bagi umat taqwa selalu
Jika ingin masuk surga
Berbaktilah pada ayah ibu

Indonesia itu negeri kami
Rakyatnya tenteram damai sentosa
Kalau cinta negeri ini
Berbaktilah anda pada Negara

Kasih sayang seorang ibunda
Tiada mampu kita balas
Bukti bakti kita padanya
Patuhi nasehat penuh ikhlas

Lhokseumawe, 11 Agust 2009
09.00

Senin, 24 Agustus 2009

Topeng dan Mainannya

By Ridha Nori Irianto

Setahun sudah Topeng menuntut ilmu agama dari kakeknya. Baginya itu belum seberapa. Ia belum merasa puas. Anak itu masih ingin menuntut ilmu lebih banyak lagi. Oleh sebab itu, lelaki itu ingin mengikuti hasrat hatinya. Dia mengembara entah kemana sembari menyumbangkan ilmu yang sudah dimilikinya. Dengan berbekal ilmu itu pula Topeng mulai melintasi daerah yang ada di tanah leluhurnya. Ia masih sendiri, tidak ada yang menemaninya kecuali sebuah kitab suci.
Di desa yang disinggahinya, di pedalaman jauh di balik gunung berlembah nan indah, lelaki itu menjadi guru agama. Pemuda-pemuda tanggung, anak, dan remaja, bahkan orang tua, serta tetua adat Peureulak pun ikut belajar bersamanya. Sekejap saja muridnya telah berjibun, banyak, berpinak-pinak, yang berguru kepadanya. Mereka menyenanginya karena Topeng berakhlak baik. Seluruh umur digunakannya untuk beramal. Sebab, baginya beramal itu sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Beramal itu ibarat kita menanam sebiji tanaman. Satu yang ditanam akan menghasilkan tujuh tunas baru, yang masing-masing tunas akan memiliki tujuh puluh cabang, setiap cabangnya akan menghasilkan seratus tunas-tunas baru, dan tiap tunas barunya itu akan mendatangkan seribu cabang berikutnya. Betapa banyaknya dan kita sendiri tak mungkin dapat menghitungnya.
Pada suatu hari, ia membeli sebuah cerek di kedai atau toko kampung itu. Benda yang dibelinya itu sudah sangat tua dan berkarat pula.Sepertinya telah tidak berharga lagi. Meskipun demikian, Topeng sangat senang pada benda tersebut. Karena mengumpulkan benda-benda bekas adalah salah satu kegemarannya sejak kecil. Orang tuanya sempat menjulukinya dengan si Mainan Ajaib.
Di rumah pondoknya, di rumah sementara, di rumah yang disinggahinya, benda itu dicuci, dibersihkan, dan depernisnya. Benda itu pun berubah, tidak buruk lagi. Wanginya menyibak ke mana-mana. Bersih dipandang dan menyegarkan. Cek ile..!! Tidak lama kemudian, dia memanggil ketiga murid pilihannya.“ Coba lihat benda apa ini ! “ katanya.Ketiga anak didiknya menatap heran dan tidak tahu benda yang di depannya itu.“Sekarang aku akan membuatkan kalian minuman yang lezat. Minuman bukan beralkohol, tetapi minuman yang menyehatkan, membangkitkan sendi gerakmu, dan.. pokoknya siiip !” ucapnya penuh bangga.
Cerek itu diletakkan di perapian. Tiba-tiba saja ada keanehan menjelma ke permukaan.Ia berekor dan memiliki empat kaki.“ Oh, panas.., aku terbakar...aku terbakar..!” teriaknya sembari melompat ke luar dari api dan terus lari. Cepat sekali larinya, kayaknya melebihi kecepatan sprinter dunia saja.Keheranan Topeng semakin bertambah karena cereknya sudah minggat dari perapian.
“ Cepat tangkap.., jangan sampai lolos !” teriaknya keras.
Seorang di antara siswanya memegang sapu ijok, yang lain memegang kayu bersulut api, sedangkan yang satunya lagi memegang bambu dan terus mengejar. Ketiganya tidak berhasil menangkap benda yang berbentuk seperti burung itu. Mereka kalah cepat dengan Topeng. Benda yang bersembunyi di balik semak berhasil ditangkapnya.
“Sekarang, aku ingin menjualmu ke pasar burung atau juga ke pasar loak!” katanya.
“Jangan, Tuan, aku takut. Mudah-mudahan aku nanti dapat menolong dirimu, kumohon Tuan, kumohon..!” kata benda itu lirh dan penuh harap kecemasan.
Topeng senang mendengarnya. Gembiranya menyeruak, menyebar-nyebar, berakar-akar, dan berserak-serak itada kira. Dipandanginya benda itu dengan seksama. Dikecupnya pelan-pelan, beulang-ulang, sampai menyentuh jiwanya, nalurinya, hatinya, dan perasaannya yang paling dalam. Dibelai-belainya, digendong-gendongnya, dan ditimang-timang seperti anak bayi yang baru dilahirkan ibunya beberapa hari.Sejak saat itu, sejak perhitungan detik dimulainya, sejak kedua tangannya menyentuh jiwa raga benda itu, sejak itu pula ia merawatnya dengan baik dan tulus ikhlas, tanpa basa-basi, tanpa dusta menyelimuti hati.
Setelah sekian lama, pada suatu malam yang gelap gulita, tidak tampak cahaya di luar rumah, tidak ada kunang-kunang yang menerangi, dan tidak pula bulan menyinari alam semesta ini, ketika Topeng selesai shalat tahajud, ia mendengar suara aneh dari cereknya yang amat disayangnya itu.
“Tuan,Tuan Muda, aku sangat berterima kasih padamu karena Tuan telah merawatku, menyayangiku, dan melindungiku. Sekarang aku ingin membalas kebaikan, budi baikmu itu. Izinkanlah aku untuk melakukannya !” “ Kamu...??!!” “ Ya, ya......kalau Tuan mau, Tuan bisa mencobanya, “ kata Cerek.“ Mau apa....?” tanya Topeng lagi.
“ Hanya dengan bismillah, Tuan dapat menjadi kaya, banyak harta dan berlimpah-limpah.”
“Bukan harta yang kucari. Harta yang banyak itu bukan milikku.”
“ Ya, ya, memang bukan milik Tuan, tetapi milik orang yang memang membutuhkannya, membutuhkan pertolongan tuan. Mau ya, Tuan ?”
“ Maksudmu ?” tanya Topeng agak ragu.
“Dari perutku akan keluar kepingan emas. Kuminta jangan sampai ada orang lain yang tahu selain Tuan. Kalau sampai tubuhku jatuh ke tangan orang lain, maka aku kembali seperti dulu, cerek yang berkarat, peyot-peyot, dan tak berarti. Lakukanlah bila purnama tiba !”
Beberapa hari lamanya kemudian, tibalah bulan purnama. Topeng mencobanya sendiri. Ternyata benar adanya. Topeng menjadi kaya raya. Ia banyak mendapatkan kepingan emas, berbatang-batang, berpetak-petak, dan berlempeng-lempeng. Kemudian dibagi-bagikannya kepada para tetangga sekitarnya yang kurang mampu. Itu berlangsung hingga berbulan lamanya.
Aneh, tetapi itulah yang terjadi. Ternyata masih ada makhluk yang merasa iri kepadanya. Rupa-rupanya di antara muridnya ada yang mengetahui rahasia itu. Ada yang mendengarkan pembicaraan rahasia antara cerek dan Topeng waktu di kediamannya.
Seorang muridnya ternyata busuk hatinya. Ia ingin mencobanya sendiri tanpa sepengetahuan Topeng. Waktu itu Topeng tidak ada di biliknya. Muridnya itu kiranya rindu, tergila-gila pada harta yang berlimpah seperti yang pernah dimiliki gurunya.
Mula-mula sekali, ketika mencobanya memang berhasil. Sekali, dua kali, bahkan hingga ketiga kalinya, muridnya itu menjadi kaya raya. Harta yang ditemukannya itu pun digunakannya sendiri.Ia berfoya-foya sepuasnya, berhappy-happy, bergembira ria. Kedua sahabatnya yang lain juga tidak dihiruaukan, tidak diberi tahu, tidak pula dibaginya, termasuk juga fakir miskin di sekitarnya.Keberhasilan murid yang tamak itu ya hanya sampai tiga kali saja. Ketika ia hendak mencoba untuk yang keempat kalinya, si cerek berubah wujudnya seperti sedia kala. Cerek berkarat seperti dulu lagi.
Hari-hari berkutnya hati si murid yang dengki itu semakin gundah, sedih, duka nggak terbilangkan. Ia takut dimarahi gurunya. Setiap bertemu Topeng, ia kerap menghindar. Anak itu malu sejadi-jadinya. Namun, sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, akhirnya akan tercium juga baunya.“ Anakku, kemarilah !” kata Topeng pada muridnya.Si murid yang loba itu terdiam. Dia nggak berkutik lagi. Mati kutu rasanya. Anak itu telah ketahuan belangnya.
“Sekarang jawab dengan jujur, kamu apakan cerek yang di tungku ? Mengapa dia bisa berkarat lagi ? Ayo, jawab! Jangan bohongi dirimu sendiri. Allah pasti tahu apa yang kamu sembunyikan selama ini !” kata Topeng penuh selidik.
“ Maafkan hamba Tuan Guru, memang hamba yang telah mengambilnya. Hamba yang telah membuatnya demikian, Tuan Guru !” akunya.
“ Baiklah kalau memang benar yang kamu katakan itu. Sekarang kamu harus menanggung akibatnya sendiri. Cukup, hanya sekali ini saja, esok jangan kamu ulangi lagi perbuatanmu yang jelek ini !” kata Topeng mantap.
Akhirnya murid yang serakah itu mendapat hukuman karena memiliki harta orang lain tanpa izin. Topeng menghukumnya dengan hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang lalu.

Mata Air

Mata air
Air mata kehidupan
Mata air perjalanan
Menoreh kenangan
Bukan air mata

Mata airku mata air bangsaku
Iringi jalan panjangmu
Menerangi penjuru dengan mata air kalbu
Membasahi raga mengantar doa
Bagi rekan di singgasana abadi

Mata air cerita matanya kawan kita
Berkata-kata jelmakan cinta
Berbisik lirih jelmakan kasih
Dalam rengkuh bayang informasi
Lahirkan kedamaian
Singkirkan kemurkaan
Buat kita di pelosok negeri

Mata air sahabat mata air kita
Mata air serambi
Matanya pembuka mata
Mata air dan air mata
Ada di sini tempo hari
Hingga kini
Mata air itu masih ada



Lhokseumawe, 21 Feb 06

Gara-gara Tanah Sejengkal

Dulu
tanah itu kubelai
tempatku beriang sukma
tanah sejengkal itu dulu kucium
kupeluk mesra
kubuka pakaiannya
dan kurasakan kenikmatannya
tetapi kini
semua jadi kelam
sirna di pelupuk mata
tak ada lagi kasih kudekap
semua lenyap
hilang cintaku
hilang cintanya padaku

Gara-gara tanah sejengkal
berjibun jiwa beterbangan
berjibun jiwa ditinggalkan
berjibun jerih lenyap tak berbekas
binasakan kasih
menghalalkan segala rupa
melukis jagad dengan cairan pilu
menenggelamkan cinta kalbu
menjelmakan durjana
melahirkan nista duka nestapa

Gara-gara tanah sejengkal
tanpa ingat asal muasalnya
laut menerjang
mencipta teluk-teluk tak bertepi
itukah lukisan yang kita damba ?

Gara-gara tanah sejengkal
akankah tanah itu hilang tanpa makna
tanpa jemari kita mengelusnya
tanpa dihiasi kasih sayang ?
itu semua ada pada kita

Lhokseumawe, 14 Nov 02

Gelap yang Menyinari Hati

Dalam kegelapan malam dan hembusan angin
yang menyelinap dalam dalam kalbu insani
adalah pemberi kabar pasti
untuk kita mengingat akan ada-Mu
pencipta dan pemilik urusan-urusan-Mu

Tuhan..............
detak jantung yang bergetar atas perintah-Mu
mencabik-cabik hati yang luka
menebas tebing bagai palu besar
yang siap menggerogoti kealpaanku
yang terlelap dalam mimpi syahdu
kesyahduhan hampa pengiring api panas
siap menerkam dada-dada ini

Tuhan.............
gelap yang Kau berikan kepada kami
adalah hari pengiring waktu
sebelum fajar menjemput kami
adanya pergantian hari
berzikir dalam-dalam
sebelum bayang –bayang mengerikan hati ini pupus
ditelah senja yang datang tiba-tiba
tanpa ada yang tahu selain diri-Mu

Tuhan...........
gelap juga yang menyinari hati ini
gelap juga pelindung ketakutan
dalam sujudku tengah malam
melindas musuh –musuh nyata
yang siap membonceng dalam duka kepanjangan

Gelap juga yang menyinari hati
mengajak pergi meninggalkan luka nyeri
sampai kini malam itu masih ada

Lhokseumawe, 11 Jan 90

Harapan Seorang Sahabat

Pagi ini aku terkapar
lesu tak bertenaga
lemas tiada bernafsu
itulah yang kalian saksikan atas diri kami
bersimbah kekeringan berkepanjangan
yang merentangkan tangan membuka pasrah menahan lapar

Kawan-kawanku.........!
lihatlah...........!
mereka yang kecil semakin merana
menggapaikan tangan butuh pertolongan
lihatlah kawan......!!!
mereka semakin menari-nari di atas tumpukan tanah berbau busuk

Kawanku...........!
kalian jangan tidur !
dengarlah jeritan hati mereka !
tataplah mereka dengan mata kita
jangan palingkan mukamu kawan
jangan........sesekali jangan........!
karena itu bukan yang kuharapkan

Kawanku di pelosok negeri
bantulah saudara kita
yang sedang menghadapi kemelut
penyambung hidup
hari ini dan hari-hari selanjutnya

Kawanku...........
mari kita membuka tangan
membantu mengangkat hempasan gelombang kehidupan mereka
melepaskan dahaga
dengan tangan kita yang masih bertenaga

Wahai kawan..........!
sambutlah uluran tanganku
sambutlah kedatangan mereka
sambutlah........sambutlah.............!
dengan kelembutan hati tulus beriman pada-Nya


Lhokseumawe, 6 Maret 90

Nafas Dalam Jiwa

Nafas kecil-kecil bergelora
menemani beta-beta
ke ats ke bawah
menyusuri jalan
dalam tubuh manusia dan siapa jua

Nafas dalam jiwa
mengajak doa sendiri
selalu...........dan selalu
tanpa kenal waktu
bagi mereka itu
yang tahu jati diri

Sekali waktu
nafas tersedu
lihat kita
malas melulu

Nafas-nafas berbahagia
di alam sana
jauh dari jangkauan manusia
yang tak lupa
sujud pada-Nya

Nafas-nafas jadi sengsara
dalam neraka
yang terbakar bagai sisa-sisa abu
berkat dosa menggunung seribu

Nafas dalam jiwa
tenteram dan damai
menghias, membalut, dan memeluk raga
bagai saudara kandung sendiri
yang tak sudi dipisahkan
sebab Rabbi mentakdirkan begitu rupa

Kata-Nya lagi
kata-Nya kemudian
nafas dalam jiwa perlu makan
jika enggan
perih pilu kan menggerogoti jiwa berjiwa
hingga palu berdentang
di depan mata kita sendiri
Lhokseumawe,250495

Sepi Berganti Tangis Berderai

Hari ini pagi ini
aku duduk sendiri menyepi
dalam sunyi sepi
menatap pohon tak bernyanyi lagi

Tiba-tiba hatiku gundah seribu rasa
melirik getar raksasa di layar kaca
menghempas insan-insan tak berdosa
bergelimang merah terpendam duka

Sepiku berganti tangisku berderai
luluh saudaraku ditelan badai
karena tuan memanggang satai
akibatnya tandus berganti bangkai

Duniaku yang semakin malang
tak sudi nasib bertandang riang
ulahnya tangan-tangan perang
yang haus darah segar matang

Oh, Tuhan………kapan pupus semua ini ?
kapan mereka bersatu lagi ?
apakah tak terpikir mereka tentang bumi ini ?
aku takut janji-Mu datang lebih dini

Tatkala Noda Menari Dalam Dada

Rabbi Alam Raya
salahku menumpuk secakrawala
berikrar berkata dalam lumpur dosa di dada
masihkah Kau ampuni nikmat hidup yang kuteguk
meski telunjuk bercerita dia salah
terbalik kata tiga untukku ...???!!
Oh Rabbi...!!
tiada dayaku mengikis lumpur melekat di badan
tiada dayaku menyingkirkan noda hitam
yang mengurat akar di relung kalbu
tiada terpikir tatkala jemariku menjamah nikmatnya dunia
menghengkangkan diri berlabuh di pulau
membentuk lingkaran merah menyala
maafkan aku ya Illahi Rabbi..! Maafkan......!!
Oh..., tiada tempat kuberlindung selain Engkau...!!!
Katakanlah kepadaku ya Rabbi......!!
saat ibu mendongengku membawa ke mari
katakanlah berapa banyak sudah khilafku
katakanlah ya Tuhan..!!
Rabbiku Pemelihara Alam
hatiku hancur berkeping
gundahku melolong mencari tempat bersembunyi
namun tak kuasa
serbuk sampah yang tergapai mengejarku terus
menari-nari berjanji-janji
mengejar naluriku menusuk-nusuk bagai jarum
membawa angan gelimpang dosa
Oh .....Tuhan......Rabbiku Penguasa Segala Rupa
ampunkanlah hamba-Mu yang dina ini
ampunkanlah ....sampai detak nadi bernyanyi lagi...oh Tuhan...!!!


Lhokseumawe, Sept 92

Jumat, 21 Agustus 2009

Aku Bangga Menjadi Guru

Dulu, sebelum menjadi guru, aku selalu membayangkan suatu yang aneh, guru itu apa sebenarnya. Apakah hanya sekedar mengajar di depan kelas saja ? Ternyata tidaklah demikian halnya. Rupa-rupanya menjadi guru itu amat menyenangkan dan membanggakan. Kebanggaan itu bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga bagi masyarakat sekeliiling kita. Kebanggaan yang didapat tidak hanya sebatas mata memandang, namun mampu menembus dinding teguh sekeras raga manusia sampai ke lubuk hatinya yang paling dalam. Bagi seorang guru seperti aku ini, bertatap muka dengan peserta didik merupakan suatu kehormatan yang tiada banding dan tidak bisa digantikan dengan uang seberapapun banyaknya, walau menumpuk bagai gunung sekalipun. Soalnya, yang dihadapi bukanlah boneka robot yang bisa diutak-atik dan langsung bisa selesai diperbaiki, melainkan insan yang pandai berfikir, berestetika, dan memiliki ajaran agama yang tinggi. Hal itu sudahlah pasti disadari betul oleh seorang guru yang memang benar-benar guru, yang hatinya telah terpaut pada tugas yang mulia ini.
Begitu perasaan orang, begitu pula yang kurasakan dan alami. Bagiku, menjadi guru merupakan suatu tantangan dan ujian sebagai bukti pengabdianku pada Rabbul Izzati. Pengabdian yang tiada henti walau telah sampai ke titik akhir kehidupan. Keberuntungan yang didapat pun tidaklah hanya sebatas kepuasan materi semata, melainkan kepuasan batin yang dapat menenangkan hidupku sampai ke akhirat kelak.
Sekali lagi, kalau dulu aku masih bertanya-tanya dalam hati, apakah benar menjadi guru itu membuat kita bahagia. Tetapi sekarang, setelah kulalui bahtera hidup ini dengan murid-muridku, barulah benar-benar kurasakan nikmatnya menjadi seorang guru. Guru yang tidak hanya digugu dan ditiru, tetapi guru yang memang benar-benar dicintai muridnya.
Kebanggaanku menjadi guru adalah puncak kehidupanku dan semakin mempertebal keyakinanku bahwa guru adalah orang nomor satu dalam hidup dan kehidupan anak manusia di mana pun berada. Seorang guru yang membuka jalan hidup seseorang untuk meraih kemenangan bukanlah cuma selogan, melainkan suatu tindakan nyata. Kalau tidak percaya, tanyakanlah hal itu pada diri kita masing-masing. Adakah orang yang sukses tanpa dibimbing seorang guru ?
Selain itu, dari hari ke hari, kebahagiaan dan kebanggaanku menjadi guru semakin menyelimuti kehidupanku. Bayangkan, betapa bahagianya aku manakala menemukan dan kuketahui ada muridku yang telah menjadi orang terkenal, berpenghasilan cukup lumayan, dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Walaupun mereka telah hidup mapan dan mandiri dengan cita-cita yang telah diraihnya, ternyata mereka, anak-anakku masih ingat kepadaku gurunya di sekolah dasar. Murid-muridku masih mau menjengukku di gubug reyot di pinggiran desa.
Dalam keseharianku kini, aku hanya bisa memohon pada Tuhan semoga anak-anakku yang lain pun demikian adanya. Betapa tidak demikian, karena merekalah aku bisa berdiri di depan kelas membagikan ilmu. Tanpa kehadiran anak-anakku di sekolah, mungkin sampai kapanpun aku tidaklah mungkin dipanggil dengan panggilan guru.
Begitu bahagianya aku menjadi guru sampai-sampai terlahirkan sebuah puisi untuk mereka.

Kepada Anak-anakku

Lihatlah......tataplah.........!
Wajah-wajah kami dalam hidupmu
Yang belum berarti apa-apa
Kiranya saksi bergema
Menyimpan rahasia dalam jiwa kecilmu
Membangkitkan jiwa mati
Tapi tak daya menghidupkan insani
Hanya itu
Pelambang kasih kami padamu

Oh....anakku......!
Harapan kasih dalam jiwa hati kami
Terimalah bakti ini
Dari orang-orang tak berpunya
Hanya sekelumit asa pinta beta
Ubahlah bumi ini
Tembuslah bukit-bukit gersang
Selamilah samudera
Telusurilah hidupmu
Dengan budi akal dan iman
Ingatlah pada pengasuhmu
Bagaikan matahari
Bukan seperti kacang tertimpa matahari

Aha, betapa bahagianya aku waktu itu. Ya, kebanggaanku menjadi guru yang tak mungkin bisa dilukiskan di atas kertas putih seluas bentangan bumi. Rasa bangga tersebut tidaklah dapat dituangkan dengan kata-kata semata. Yang jelas, kebanggaan itu bisa kurasakan betapa nikmatnya menjadi guru. Kebanggaan yang cuma bisa dirasakan antara aku dan anak-anakku di sekolah.

Ulangan Mendadak

“Anak-anak, keluarkan buku ulangan anda semua!”
Suasana hening semakin hening.
“Wah, gawat.............., belum apa-apa sudah ulangan.Jangan-jangan soalnya susah
Namun kuharap soalnya mudah, biar aku dapat menjawabnya, sebab kemarin beta tak belajar. Belum lagi tampang gurunya, duh.... menarik dan mengerikan. Bagaimana dengan kalian?”
“Mah, mampus aku, ulangan rupanya !!! Mengapa begitu mendadak Pak Guru ini bikin ulangan , apa tak ada hari lain ?!”
“Duilah, tak kusangka, biar tampang agak kece, tetapi bikin orang serba ketakutan. Hebat juga !!”
Nah adik-adik, sekejap saja si guru sudah selesai menulis soal di papan tulis. Lumayan soalnya. Mudah, tidak terlalu sukar. Sungguh, meskipun mudah, aku tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu.
“Bingung ya ?”
“ Sudah pasti aku bingung.”
“Lantas, apa usahamu ? “
“Entahlah, selain bingung, aku juga pusing.”
“Pusing ???!!!”
“Ya, pusing. Pusing sekali.”
“Mengapa kamu pusing ?”
“Apa yang hendak kujawab lagi, sudah tahu orang lagi pusing ditanya terus.Apa aku ini seperti mesin mobil yang tidak pernah kehabisan bensin ?? Ayo, mau tanya lagi?”
“Lha, gitu saja marah. Tenanglah , jangan risau. Aku bisa bantu menenangkan kepusinganmu itu.”
“Kau......, kau yang bertubuh kecil begini mau coba membantuku ??!”
“Benar, tetapi kalau kau setuju.Tetapi. sets....., ada pengawas datang. Siap-siap menjawab pertanyaan.”
Oh..., teman-teman, tiba-tiba saja mulutku terkatub mati seperti terkunci rapat. Kepalaku tidak bisa kudongakkan ke atas. Duh, habislah aku. Kalian mau tahu mengapa bisa begitu ? Kalau mau pintar, coba tebak dengan jitu.
“Pak Guru sudah berada di sampingmu,kan ? Ia memperhatikan perbincanganmu dengan temanmu tadi ?Ah, begitu saja takut. Jawab saja begini, aku pusing memikirkan Mike Giver,Pak. Habis perkara. “
“Masih ada lagi. Kalau aku bilang begini, aku sedang teringat Mission Imposible,Pak. Cocok, bukan ?”
“Apa kalian pikir aku ini tolol ???!!!”
“Tidak, engkau tidak tolol.” Suara itu pun menghilang jauh.
Sesaat kemudian guruku menepuk pundakku yang mungkin dikiranya besi. Mungkin, kalau benar ya, tetapi itu hanya emosiku saja yang mengatakan demikian. Aku terkejut, dadaku bergetar kencang melebihi kecepatan mobil patroli jalan raya.
“Mengapa belum dijawab soal yang nomor dua ? Sulitkah itu ?”
Aku bingung menjawabnya bercampur rasa takut yang mendalam. “Ti...tidak,Pak.”
“Lantas, mengapa belum juga kaum menjawabnya ?” desak guruku.
“Aku sedang memikirkan............”
“Memikirkan apa ?” kata guruku, suaranya agak meninggi.
“Mike Giver,Pak.”
Ger..........semua teman sekelas terbahak.
“Siapa namamu?”
“Wah, Bapak kita sudah pikun, masak nama anak didik sendiri lupa.”
“Diam !!!!”
“Namaku Kokot Belot,Pak.”
“Bagus, esok kamu jadi Mike Giver,ya ?” Ger........! Si Gendut nyeloteh lagi.
“Mike Giver ??!!! “ Guruku bertanya seperti main-main, namun ada benarnya juga sebab beliau pun punya parabola.
“Betul,Pak. Aku juga menyaksikannya malam tadi,Pak. Pokoknya seru.....”
“Apalagi yang kamu saksikan ?”
“Mission Imposible,Pak” teriak Gendut dari belakang. Ger......
“Anu, Pak........??!”
“Apa yang ingin kamu katakan ? Ayo, jawab saja !”
“Kaulah ..!”
“Aku....?!”
“Ya, kamu .” Telunjuk guruku mengarah padaku.Sepertinya ia tengah membidikkan senapannya, tepat sekali. Kali ini aku tidak bisa menghindar, mati kutu rasanya. Sebagai lelaki kucoba untuk menjawabnya. Kalau pun marah ya sudah, memang sudah takdir.
“Dunia dalam berita,Pak!”
“Bagus, tepat sekali jawabannya.”
Nah adik-adik, ternyata jawabanku direstui guruku. Beliau tidak marah, malah jawabanku membuatnya tersenyum. Manis sekali. Lesung pipitnya tampak dalam bagai ngarai nan indah. Sayang, sayang sekali aku tidak memilikinya. Selagi aku mernungkan tentang ngarai, bos kita yang akrab dengan kapur ngoceh, “Kumpulkan tugas kalian!”
“Oi mak, berapa nilai yang kudapat nanti? Apakah masih tetap berwarna –warni?”
“Kan bagus kalau berwarna-warni, indah lagi.”
“Amboi, indahnya sih boleh, tetapi tak enaknya tiba di rmah pasti kena palang pintu.”
“Masih lumayan kalau itu.Aku lain dari yang lain. Aku tak diberi uang jajan.”
“Jajan...???!!” kata Cekgu heran.
“Ya, Pak. Kokot tak diberi uang jajankalau nilai hari ini jelek.”
“Bagus, saya juga demikian.Kalau anak saya dapat nilai jelek, pasti tak saya beri,bahkan mungkin bisa lebih dari itu.”
“Misalnya,Pak?” tanya yang lain.
“Saya akan suruh dia ciptakan puisi.Puisi pengalaman pribadinya tentang kesalahan dan ketidaktahuannya.”
“Saya mau,Pak ! Aku juga,Pak ! Aku pun tak ingin ketinggalan,Pak! Aku juga.Aku juga!” teriak kawanku silih berganti.
“Lebih baik kita semua !” kata guruku mengakhiri pelajaran hari itu.

Akibat Melihat ke Atas

Udara pantai begitu bersahabat mendayu-dayu mengiringi musik alami. Pasir putih basah menyeringai mengulas senyum mengiringi ikan-ikan kecil menari dipermainkan musik samudera. Semilirnya angin meneguk kemanjaan insan-insan di seputarnya. Oh, indahnya tepian pemandian membalut luka seorang lelaki tengah baya yang sedang mengayuh sampan demi perut sejengkal.
Tangan kecilnya terus menari-nari tanpa menanti waktu yang menggulir mengikuti larinya masa. Senyumnya telah membuka lembaran baru keluarga. Betapa tidak, istri terkasih tengah membuka warung kecil guna menambah penghasilan. Anaknya giat meraih cita-cita. Tidak seorang pun terlena dengan mimpi-mimpi indah di siang bolong. Sedikit saja lalai, mereka akan berteriak keras mengusir lolongan anjing yang menakutkan.
Riak laut yang tadinya tenang, kini berubah jadi musuh bagai api yang siap menelan mangsanya. Lelapnya para nelayan di atas kapal sedikit mulai terusik dengan munculnya tamu baru di kampung tercinta. Bahkan para istri sedang sibuk menyiapkan lomba mengukir keindahan di leher masing-masing. Mereka terus bersaing mengejar kemilaunya bintang yang tak mungkin dapat tergapai oleh keringat para suami yang menentang maut di antara badai di tengah laut lepas.
Tak ingin dikatakan kuno dan ketinggalan zaman, anak-anak ingusan siap merentangkan sayap-sayapnya menyibak dunia menatap layar kaca di rumah tetangga berpunya.
“ Hei, teman-teman. Sini, main ke sini. Kalian boleh dengan bebas main di rumahku yang besar ini. Ayo, apalagi yang kalian tunggu. Cepat, sini rame-rame, kan enak !” ajaknya suatu kali saat baru beberapa hari menetap di situ.
Anak-anak kampung seusianya yang masih sekolah dasar itu pun berkumpul, bergabung, berteriak histeris, kegirangan, dan kayak kesetanan begitu mendapat kesempatan main. Wou....., asyiknya......! Boleh jadi seharian mereka main. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan bertahan lama.
Siang hari, tak pandang terik maupun hujan, mereka diburu mainan tamiya, gembot, spika, ps, dan lainnya. Anak-anak nelayan tak ambil pusing lagi pada kemampuan ayah-ayah yang bergelut mencari nafkah di tengah samudera. Yang penting, bisa main. Sebab, anak tetangga yang baru itu, mainannya melimpah ruah, berjibun, berserakan, menggerakkan air liur teman sebaya. Tak dinikmati mubazir menganga, diikuti seleranya sengsaralah pasti melekat melilit leher sendiri.
Begitu pula dengan istri warga kampung. Ibu-ibunya pada belomba-lomba menghiasi leher, tangan kanan dan kirinya. Mereka sampai begitu tergiur dan bernafsu memilikinya kerena yang punya gedongan itu pintar mengambil hati.
“ Ayo, ibu-ibu, belilah, nggak mahal kok! Kalau ibu-ibu nggak bisa kontan, ya nyicil juga bisa, langsung saja dengan saya. Tidak perlu pakai uang muka lho, Bu. Biar saya nanti yang kontanin duluan, ya Bu, ya ? Nggak usah takut, yang penting, kita semua bisa menikmatinya, biar nggak dibilang terlalu kere. Mau kan, Bu ?” katanya dengan lembut.
Wanita-wanita kampung yang umumnya berpendidikan rendah itu akhirnya lunak juga. Semuanya pingin memilikinya.
“ Ah, biar mahal, yang penting kita kan bisa nyicil !” kata seorang ibu dengan entengnya..
Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin pas diberikan kepada mereka yang tidak pernah merasa puas atas nikmat yang diberikan Tuhan.
“ Bu, belikan mainan kayak orang tetangga yang baru itu ya ?” tanya seorang anak pada mamaknya yang sedang menggoreng pisang untuk dijual.
“ Memangnya gaji bapak kita gajinya gede.......? Kalau gede seperti orang kaya itu, baru beli mainan, makan saja masih hitung-hitung, eh.........kamu malah mau beli tamiya segala. Tahu kamu berapa harganya.........?” kata seorang ibu yang tahu kerja suaminya dengan mata melotot.
“ Kan bisa nyicil, Bu ? Orang itu bisa beli, kok kita tidak........??!! “
“ Betul kata ibumu, Nu. Kita jangan sekali-kali lihat ke atas, tapi cobalah tengok ke bawah. Kalau menuruti nafsumu, bisa-bisa nasib keluarga kita terperangkap tengkulak. Hancur..........! Lihat tetangga kita yang jualan itu, mereka terus gaduh tak hentinya,” kata ayah yang bijak.
Benar, Pak Nelayan yang istrinya jualan itu bingung. Tiap saat para tentenir datang ke rumahnya menagih hutang. Kepalanya pusing tujuh keliling memikirkan istri dan anaknya yang kini sedang naik daun mengikuti irama kehidupan si kaya.
Setiap pulang dari melaut, si istri terus nyosor minta dibelikan gelang. Padahal, di lehernya telah melilit benda kuning hasil keringat sendiri. Mengapa masih kurang...........?
“ Entahlah.”
“ Ingin pamer......?”
“ Entahlah.”
Yang jelasnya, si istri mengumbar senyum manakala suami berangkat ke kota memenuhi maksudnya. Keceriaan rupa mengumbar kabar. Tetangga pada tahu bahwa sebentar lagi si empunya kedai akan kaya mendadak.
“ Betulkah ?” tanya para tetangga penasaran.
Kita lihat saja apa yang akan menjelma ke permukaan. Apa yang terjadi kemudian harus kuceritakan.
Hari itu suaminya pulang dengan wajah lain. Di tangannya melekat bungkusan tebal lagi berat.
“ E.........e...........e.........., Mak........., bapak pulang ! Bapak pulang........,Mak..! Bapak bawa bungkusan besar, Mak !” Si anak lari menyongsong ayahnya. Gembira benar hatinya. Ia melompat ke sana-sini persis kayak orang kesetanan.
Istrinya yang telah menanti lama bergegas tak ingin ketinggalan.
“ Untukku, Pak ?”katanya dengan hati berbunga-bunga.
Bapak hanya manggut. Kotak langsung dibuka. Si anak sudah nggak sabar, ia ingin cepat-cepat melihatnya, tetapi lapisan bungkusnya banyak sekali Selapis, selapis, dan terus begitu samapai kotaknya tinggal kecil persis kayak kotak rokok.
“ Apa isinya ya ? Ha......, sebuah rantai besi kecil dan secarik kertas berisi surat penyegelan tanah !” kata anaknya heran.
“ Untuk siapa, Pak ?” tanya si ibu pula.
“ Ya......, untuk kamu !”
“ Ooooooo......mati aku !” Senyumnya lenyap berganti rentenir bersorak.

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
4. Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin
8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Laba-laba Oi Laba-laba

Laba-laba oi laba-laba
macam rupamu aneka jenisnya
delapan buah kaki ragamu
salah satu ciptaan Tuhanku

Ou……..ou……..ou……
laba-laba oi laba-laba
tubuhmu terbagi dua
bagian depan pengindera makan
bagian belakang untuk pernafasan

Laba-laba oi laba-laba
warna tubuhmu indah menawan
merah hitam juga kecoklatan
rambutmu lebat sungguh menakjubkan
engkau berbisa dapat mematikan

Hei……hei………hei……
engkau kadang jadi pemalas
hanya menunggu mangsa kerjamu
begitu dapat mangsa tak berdaya
karena kauhisap cairan tubuhnya

Hei…..hei……hei……
laba-laba makhluk istimewa
salah satu keluarga serangga
berumah jaring indah mempesona
lanjut keturunan bertelur caranya

Hei…..hei………hei……
engkau menunggu
menunggu……..menunggu…..
sampai menetas anak-anakmu
begitu lama engkau menunggu
akhirnya matilah dirimu



Batuphat,230501

Lebah

Lebah….
dirimu suci
tiada yang menandingi
hatimu mulia
semulia kasih mama
kerjamu bercahaya
tiada meniggalkan titik noda

Oh lebahku sayang
dikau ukir persaudaraan sejati
membagi tugas hilangkan dengki
tidur nyaman berhias kedamaian
mengukir jagad madu kesucian

Lebah….
di antara berjibun ciptaan Tuhanku
terkisah dirimu geger dunia
dalam Quran kitab milik-Nya
menggiring jiwaku sungkem pada-Nya


Btp 260501

Karena Ulah Sendiri

Kampungku indah di luar kota
segar rasanya tinggal di sana
kakekku punya ayam betina
satu jantan yang berkuasa

Si jantan badannya besar
dadanya bidang lagi kekar
teman lain takut melanggar
sebab bisa mati tercakar

Ketika sedang makan daunan
ia dengar sebuah nyanyian
lagu merdu lagi menawan
darahnya naik terbawa angan

Pergi melangkah dapatkan cermin
cermin dipandang si jago main
dikira kawan mengejek main
darahnya naik marahnya main

Marahnya terus membakar jiwa
lama-lama hilang sabarnya
diterkamlah cermin wjah dirinya
merah darah wajah aslinya

Akhirnya ia pulang ke rumah
di pintu rumah majikan marah
disembelih jago pelampias marah
hingga menggelepar di atas tanah

Kabar mengalir ke pelosok desa
si sombong kini telah tiada
semua senang dan bahagia
hidup damai tak lagi tergoda


Feb 91

Elang

Elang......
yang dicipta Maha Kuasa
yang mengukir berita
soal waspada
bagi kita semua

Engkau punya Tuhanku
aku kagum padamu
engkau yang jitu
sekali tatap musuhmu
musuh terkunci di matamu

Elang..........
pemburu mangsa
binatang kecil aneka rupa
kau sikat semua
tanpa ampun di dada

Hari itu
kulihat dirimu
terbang melayang
intai musuh tuk diserang
jauh di langit
dengan mata tajam menggigit
berbekal kuku mengerikan
engkau cengkeram tanpa kasihan

Elang.........
terbang melayang
mengukir keindahan
di bali awan
memberi kabar tentang Tuhan
agar ingat kesalahan
sebelum maut menjemput badan


Lhokseumawe, 11 Sept 03
08.35

Gorila

Gorila.........
engkau makhluk Afrika
engkau keluarga kera
mirip manusia
tubuhmu besar
engkau kuat lagi kekar

Oh..... gorila
engkau berat sekali
tubuhmu tinggi
melebihi diriku sendiri

Sekali waktu
kulihat dirimu
di televisiku
engkau tersenyum padaku
engkau pura-pura malu

Oh .....gorila
aku sayang padamu
tapi kawanku
berpacu memburumu
menyantapmu
darahmu naik
kau marah mencabik-cabik
hingga nafas tak bisa balik


Lhokseumawe, 11 Sept 03
09.55

Duduk

Duduk
engkau binatang
hidup di tempat luas membentang
raringmu panjang
meremuk tulang belulang
tubuhmu belang-belang
wajahmu ngeri menantang
buat yang lain lintang pukang

Duduk
hidupmu di Australia
daging santapan istimewa
antilup dan zebra
engkau santap semua
tanpa sisa
lalu engkau tertawa
ha........ha........ha........
aku terkesima
aku heran melihatnya
sebab engkau di gurun sahara
jauh dari singgasana
tempatku di Indonesia


Lhokseumawe, 11 Sept 03
08.10

Angsaku Sayang

Angsa putih angsaku sayang
lehermu panjang
engkau pandai berenang
jalanmu bergoyang-goyang
keluargamu itik dan soang
makananmu tumbuhan dan binatang

Sekali waktu
engkau di darat
tubuhmu cukup berat
23 kilo saat kuangkat

Oh ……..angsaku
engkau punya saudara
di Australia
hitam warnanya
membuat tertawa
malam gelap tak tampak wajahnya

Oh….angsaku
engkau makhluk Tuhanku
engkau berikan telurmu
untuk keluargaku
lezat rasanya
hingga kami cerdas semua


Lhokseumawe, 10 Sept 03
12.45

Kutu dan Semut

Hari begitu cerah. Secerah badut membawakan gelak tawa.Burung-burung pun pada ikut ngakak. Mereka geli melihat teman-temannya banyak yang jingkrakan. Kucing-kucing pada berlarian berkejar-kejaran. Semut-semut juga tak ingin melewatkan suasana gembira, yang mungkin hanya sekali duakali seumur hidup. Kegilaan mereka pun kian menjadi manakala angin bertiup kencang. Dingin, ser....., menyegarkan. Lebih-lebih bagi keluarga yang baru saja mengguyur badan menjelmakan keharuman.
Keceriaan alam diikuti seekor kutu. Dia tengah berjalan-jalan menghirup udara segar. Waktu itu sih mainnya di semak-semak. Semak itu bukan hutan yang lebat, bukan pula tempat kumuh seperti comberan, melainkan semak di tubuh anjing yang lupa dibersihkan.
Dengan tubuhnya yang kecil mungil, Kutu bergerak leluasa, nggak ada yang menghalangi. Meskipun rajin mencari makan, makhluk berkaki kuat itu tidak akan pernah besar. Di tetap kecil, kecil, kecil kerdil, kecil selamanya. Padahal makannya congok minta ampun.Weleh........, weleh.............!!!!
Suatu hari saat Kutu asyik bermain, dia bertemu dengan Semut Merah. Matanya melotot. Mulutnya cengar-cengir, mencibir-cibir, mengejek-ngejek, dan memaki-maki. Anehnya, si Semut malah tersenyum-senyum saja. Tak dihiraukannya caci maki tetangganya yang usil itu.
“ Hai, Semut, mari kita adu sembunyi !” ajak Kutu memulai pembicaraannya untuk menarik simpati Semut.
“ Oke, mari kita mulai !” tantang Semut Merah tak gentar.
Pertandingan pun dimulai. Genderang ditabuh bertalu-talu. Suaranya menggema ke angkasa, sampai-sampai terdengar ke penjuru wilayah Lauser yang luas itu. Hingar bingar menderu. Sorak-sorai pun ikut nimbrung menyatu. Semuanya gembira, kegirangan, berpesta ria menyambut pertandingan keduanya.
Sang Kancil bertindak sebagai juri. Lagaknya nggak tanggung-tanggung. Persis seperti juri lari di tingkat olimpiade. Suaranya tegas dan tidak bisa dibantah kata-katanya. Benar saja. Jika dia telah berdiri jadi juri, maka yang lain tentulah tidak dapat berkutik. Semua pasrah dan........ pasrah.
Bendera start dikibarkan. Kutu lari kecang. Ia melompat-lompat. Lompatannya jauh betul melebihi lompatan juara dunia. Semut Merah keteteran, tertatih-tatih, dan kehaisan tenaga dibuatnya. Nafasnya ngos-ngosan. Makhluk yang kerap menyikat gula itu pun nggak sanggup lagi untuk lari.Dia terduduk lesu kehabisan tenaga seperti orang baru selesai kerja berat.
“ Ah...., daripada aku mati konyol, sia-sia, percuma, lebih baik aku istirahat saja,” pikirnya.
Karena kehabisan tenaga dan keletihan, akhirnya Semut Merah tertidur pulas di bawah rimbunan pohon. Di tempat terpisah Kutu beriang sorak sebab ia baru saja memenangkan pertandingan.
Dalam perjalanan kembali ke biliknya, Kutu berpapasan dengan Semut Betina. Ditegur, dan digodanya. Yang parahnya, hiasan Semut Betina yang telah usai dan segera dijuanlnya ke pasar, berantakan dan pecah berkeping-keping. Semut betina jadi marah bukan kepalang, mukanya memerah. Lebih-lebih setelah si Kutu mengejek tentang abang kandungnya, si Semut Merah.
“ Abangmu goblok, loyo, lelaki tak bertenaga, masak untuk lari bersembunyi begitu saja tidak sanggup !”
“ Awas kamu, kuberitahu abangku !” kata Semut Betina gemas.
“ Kasih tahu, cepat !” teriaknya sambil menyepak hiasan di depannya.
Semut betina lari pulang dengan menangis tersedu-sedu. Bajunya dibiarkan saja tergerai ditiup angin kencang. Rambutnya jadi awut-awutan persis kayak gembel nggak pernah menyentuh air beberapa hari.
“ Abang........!” rengeknya setiba di rumah.
“ Kenapa kamu ? Siapa yang telah mencederai kamu begini ? “ tanya Semut Merah heran.
“ Itu........Bang. Si Kutu telah merusakkan semuanya. Habis sudah karyaku,” katanya kesal.
“ Hu....uh..., di mana dia sekarang ?” tanyanya dengan emosi.
“ Di sana, di hutan perawan dekat tepi kali !”
“ Biar kuhajar dia. Kalau sudah martabat dan harga diri diinjak-injak, siapapun pasti marah. Demi kehormatan adikku dan keluargaku, akan kuhajar dia !”
Dengan emosi yang meluap-luap, Semut Merah ke belakang rumahnya. Dia mencari kayu panjang. Sebilah celurit turut dibawanya. Ia pun pergi mendatangi Kutu yang telah merusak segalanya itu.
Warga sekitar telah berkumpul di sepanjang jalan tikus di lereng hutan perawan pegunungan Lauser. Mereka terheran-heran, bertanya-tanya. Ada apa ? Ada apa ? Semut Merah terus melaju tanpa menoleh ke belakang.
“ Hei, Kutu. Di mana kau....? Ayo, tampakkan batang hidungmu ! Jangan hanya berani di belakang layar !” katanya marah sambil mengacungkan kayu dan celurit.
Dengan berlagak nekat kayak jagoan, Kutu keluar dari peristirahatannya. Tiba-tiba, “ Ha.........., gawat, bisa mampus aku....!” katanya ciut. Kutu lari.
“ Hei, jangan lari kau ! “ hardik Semut Merah. Ia terus mengejarnya. Ke mana pun Kutu bersembunyi akan dicari. Nggak peduli apakah itu harus manjat pohon ataukah tidak. Aku harus mendapatkannya, pikirnya.
“ Nah, bagus. Ternyata kamu sembunyi di sini. Aku nggak harus bersusah payah mencarimu lagi !” kata Semut Merah yang mengetahui jejak persembunyian Kutu di sela-sela kayu di sekitar lahannya sendiri.
Kutu sudah tekepung. Ia tidak berkutik lagi dan mengangkat tangannya ke atas. Ternyata di sekelilingnya telah berdiri keluarga semut.
“ Maaf, Bang Semut. Aku salah. Aku yang telah merusakkan semua hiasan adikmu. Maaf, jangan pukul aku !” akunya.
“ Bagus. Walaupun kamu telah meminta maaf, bukan berarti hukuman tidak diberlakukan terhadapmu. Hukuman itu tetap aku jalankan. Kamu harus menerimanya, karena itu kesalahanmu, mengusik ketenangan hidup warga lain.”
“ Ya, Bang Semut, aku terima apa saja hukuman yang kalian berikan,” jawab Kutu dengan tangan terborgol.
“ Ingat, Kutu. Hukuman yang aku berikan akan berlangsung seumur hidupmu. Kamu harus bekerja untuk keluargaku. Kamu tidak boleh membantah. Satu lagi, setiap selesai kerja dan mendapat hasil, kamu harus setor kepada kami !” jelas Semut Merah.
Kutu pun menerima hukuman akibat perbuatannya sendiri. Dia menjadi sapi perahan, peliharaan, sekaligus budak si Semut Merah.
Itulah mengapa Kutu harus menyerahkan sebagian hasil keringatnya berupa embun madu untuk keluarga semut. Tetesan embun madu yang dihasilkan Kutu pun tetap dimakan Semut hingga sekarang.

Selamatkan Jiwanya

Suatu hari bumi mulai sedikit basah. Aku melihat seekor burung menyanyi sendiri di dalam kurungan. Tidak sama dengan yang kulihat di rumah pamanku. Mereka terbang bebas di sangkar yang besar di belakang rumah. Yang ini tidaklah demikian. Sebentar kepalanya ditundukkan, lalu sayapnya dikepak berulang kali. Gundah hatinya terus menjadi-jadi. Ia ingin mencairkan jerit tangisnya namun tidak kuasa. Jangankan saudara-saudara sekandungnya, tenaganya saja tidaklah mampu menerjang benteng yang begitu kuat dan kokoh. Kokohnya benteng itu mungkin sekuat karang di tengah lautan. Seakan tidak bergeming walau dihantam badai sekalipun.
Adik-adikku manis, dia meronta-ronta seperti itu mungkin minta bantuanku agar bisa bebas hidup mandiri seperti saudaranya yang lain. Aku sedih sekali, teman-teman. Bagaimana perasaan kalian seandainya teman-teman dikungkung seperti itu ? Sedih, bukan ? Aku yakin kalian pasti merana juga. Air mata tentu membanjiri bumi kasih sayang-Nya.
Begitu pula dengan burung yang kulihat. Kesedihan kita juga dirasakannya. Hidup sunyi menyendiri ibarat hidup segan mati pun tak mau. Harapannya kelak bisa berteman banyak kini lenyap sudah. Hanya melamun saja kerja yang bisa dibuat. Terheran-heran melihat diri bersayap namun tak bisa terbang jauh. Pilu hati terus membubung menatap kertas beterbangan ditiup angin kencang.
Adik-adikku yang pemurah senyum. Keadaan hari itu seakan bertambah genting. Bumi terus diguncang dengan badai dan tiupan angin kencang diselingi cicit anak ayam yang ingin disuapi induknya. Rumput-rumput kayaknya ikut bergoyang. Pohon-pohon kayu besar sepertinya mau tumbang. Sebentar kemudian lolongan anjing menyibak lamunan melemparkan angan-angan yang mungkin tak tercapai. Sebab kurungan itu bukanlah milikku. Isinya itulah yang membangkitkan amarahku, namun tidak kuasa berlari untuk menggapainya, kemudian melepaskannya supaya sahabatku bisa bersenang ria. Karena aku orang yang tak punya.
Tentu adik-adik maklum pada keadaanku. Tiada yang ingin kukejar selain kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya untuk diriku seorang, melainkan juga untuk lingkunganku. Kebahagiaan yang hanya bisa diraih dengan kemauan dan usaha maksimal. Kebahagiaan yang tidak memandang dari segi materi, melainkan kebahagiaan yang dipandang dari segi nurani manusia. Manusia seperti kita-kita ini. Manusia yang sadar akan dirinya sebagai manusia. Dengan kesederhanaan itu pula aku ingin mencoba menolong temanku. Teman yang betul-betul mengharapkan keringanan langkah dan jiwaku untuk membebaskan dari belenggu yang berkepanjangan. Maukah adikk-adik membantuku ?
Di pembaringan yang amat sederhana, mataku tidak bisa dipejamkan. Meski sudah kuusahakan, namun tidak juga mau terkatupkan. Irama dan kepiluan hati temanku terus menyusuri lorong kecil tempat tinggal sahabatku.
Ketahuilah adik-adik, tangan-tangan kecilku seakan-akan diajaknya menari untuk memberinya makan. Pikiranku galau dan semakin kacau. Kacau sekacau-kacaunya. Melilit dan melintir-lintir. Ingin sekali aku meremas-remas kepalaku saat itu, merobek-robek dan memukul-mukul diriku manakala tak bisa........ Ah, aku kesal sekali. Mengapa dia kutinggalkan seorang diri ? Huuuuuu, kakiku kelihatan tidak sabar lagi guna mengajak jiwaku ke rumah saudaraku itu. Tak dinyana dan tak pula disangka-sangka bening-bening hangat mulai memecah di dermagaku yang agak tinggi.
Hatiku kian hancur berkeping-keping, perih, pedih sepedih-pedihnya. Lebih pedih lagi ketimbang diiris dengan sembilu. Duh, hancur sudah harapanku. Tetapi, ah......tidak boleh demikian. Kepingan dan jeritan hati terus menghujam tatkala kulihat sahabatku untuk kesekian kalinya di rumahnya sudah tidak tertinggal jejak. Ke manakah dia pergi ? Apakah dia sudah tidak mau lagi berteman denganku ??? Mungkinkah dia digondol maling ? Atau......??? Ah, entahlah. Sebab kedua mataku tak sampai menatap sedemikian jauhnya. Karena kesal, kuajak kedua tungkaiku berlari kecil kembali ke pondokku.
Hati kecilku semakin luruh dan terperanjat berjuntai seribu duka berkepanjangan. Betapa tidak, hujan bergelanjut terus menghempas dan menerpa bumi mengantar pikiran yang tak menentu. Menyelimet, membelit seribu belah, tidak terbatas dan tidak pula bertepi.
Di situ, dekat pasar ikan, nongkrong sahabat sejati. Ternyata dugaanku benar adanya. Dia sudah berpindah tangan. Di tangan kasar ia tertampung. Penjual-penjual yang lagi diserbu nasib untung besar. Tak memikirkan nasib orang yang lagi bingung.
Di tempat itu sahabatku dikerubuti orang. Silih berganti mereka menawar harga pas agar kelak tidak rugi melilit dahi. Untukku......? Ah, rasanya bumi ini mau pecah. Tahulah sendiri, di rumahku tidak lagi tertinggal nyawa sedikitpun. Sepertinya jantungku mau copot. Detaknya semakin kencang bagai dikejar-kejar anjing liar yang siap menerkam mangsa di depan mata.
Ke mana lagi aku harus mengadukan nasib, teman-teman ? Kepadamukah..atau kita sama-sama menanggungnya, bagaimana ?
“ Pulang saja !”
“ Pulang ?”
“ Ya, pulang. Untuk apalagi kau di situ, sedangkan........”
“ Kalau itu yang kalian inginkan, boleh juga. Kalian mau ikut menemani ?”
“ Jauh atau tidak ?”
“ Kalau jauh, mengapa rupanya ?”
“Aku tinggal di pasar. Kamu yang pulang sendiri. Hujan belum juga reda. Lihatlah, masih deras. Jangan-jangan kepalaku pusing nantinya.”
Kutinggalkan tempat itu. Kukayuh kencang langkahku sekencang larinya kijang. Kupercepat dan semakin kupercepat layak seorang pembalap yang ingin meraih gelar juara. Akibatnya nafasku tersenggal –senggal bagai musik yang sedang kejar-kejaran. Keringat mengucur deras ibarat air kali mengalir ke muara. Seketika itu pula, mataku sedikit memerah menahan duka. Rasa memiliki seakan sirna sudah. Ibarat punai di tangan terlepaskan meski telah di depan mata. Tetapi, untunglah Yang Maha Kuasa masih meninggalkan sisa-sisa celenganku di lemari. Tidak banyak memang, namun cukuplah kurasa. Kuraih dan kumasukkan ke saku tanpa kuhitung-hitung lagi.
Si pengguyur bumi sudah menghentikan aksinya. Ramahnya pun menguak ke permukaan. Karenanya aku bisa sedikit lega. Tidak pula harus pusing tujuh keliling hanya karena tidak memiliki payung mantranya hujan.
Nah teman-teman, nafasku naik turunnya telah rada teratur juga. Denyut nadiku pun telah stabil seperti sediakala. Kata dokter, kalau sudah begitu tentunya darah kita telah berjalan normal pula. Cuma keberuntungan belum mau singgah di dermagaku yang telah menanti penumpang. Penumpang-penumpang kaya semuanya telah memesan tempat sehingga aku yang papa ini tak kebagian. Semua terbang dibawa angin kencang. Burung-burung pada laku terjual. Tiada sisa sedikit pun untukku. Nggak kasihankah kawan-kawan padaku ?
Teman-teman, panas hari itu kian tinggi. Tawa canda para penjual burung terus membahana seakan dialah yang hebat. Musik ringan radio pedagang lain memberi suasana baru pula. Si penjual ada juga yang bersiul kecil –kecil mengiringi irama musik kegemaran. Sampai-sampai ada pembeli lain yang tak digubris. Bahkan aku tak ambil peduli pada mereka. Kucari dan terus kucari sahabatku. Ternyata, ia telah lepas dari genggaman tanganku. Aduh, kekecewaan itu tidak mau juga hengkang dari tempatku bermadah. Sahabat sejati telah beranjak jauh. Jauh sekali. Aku pun tak tahu ke mana perginya. Yang kutahu, ia pasti lenyap di tangan peminat burung yang lain.
Wahai sahabatku seiman dan seperjuangan.........! Kau boleh teguk kenikmatan yang kau inginkan tetapi hilangkanlah kekerasan jiwamu yang dapat merobek-robek makhluk yang ingin bebas. Kau boleh memilikinya namun selamatkanlah jiwanya. Jiwa yang tidak mungkin kita memilikinya. Jiwa yang hanya ada di alam bebas. Jiwa berjiwa yang berlagu manusia di pucuk-pucuk pinus yang siap merentangkan sayap kenikmatan tiada bertepi.
Oi...... sahabatku senusantara. Selamatkanlah dia yang hampir punah derita ditelan masa. Jangan kungkung dia bila tidak ingin balasan mampir di dada. Jangan, jangan sampai siksan-Nya menyelimuti diri ini datang lebih dini. Selamatkanlah..........selamatkan........selamatkan...........semoga ia bahagia.

Akhir Sebuah Penyesalan

Malam kian dingin menggigit-gigit, meremas, merobek kulit anak adam. Hujan dan guntur datang bergantian, mengiringi langkah gontai manusia serakkah kenikmatan. Langkah gontai semakin kencang bergerak merengkuh namun kaki tak kuasa menahan tonggak yang menancap. Hati menjerit melolong keras, namun tak ada yang dengar. Jiwa meronta dan memaki-maki diri sendiri.
Kenapa.....? Kenapa bisa begini......? Kenapa begini jadinya.........? Kenapa........? Oh...oh....! Aduh........., aduh........, panas........!!! Jangan........jangan........!
Mereka sibuk cari teduhan ke sana ke mari. Berlari-lari mengejar-ngejar, namun yang dikejar nggak mau berhenti maupun menoleh sedikitpun. Berlari dan terus berlari. Mereka berlari mencari titik embun penghilang dahaga. Kecuali sepasang lebah yang tengah memadu kasih.
Sepasang lebah tengah duduk bersantai ria. Keduanya bercanda tawa, mengelus-elus dada.
“ Untunglah kita tidak terbuai ya, Ma !”
“ Sejak kapan, Pa ?”
“ Ya, sejak dulu, waktu kita masih kecil dan sampai kita berkumpul di tempat yang megah ini. Kalau tidak, entah apalah jadinya diri ini. Belum lagi dosa yang kita pikul. Semuanya akan minta balas sama kita.”
“ Coba Papa lihat, mereka tengah minum apa, arakkah itu ?”
“ Betul, Ma. Yang di sana, lihatlah mereka sedang makan makanan yang dikerubungi lalat.”
“ Hi.........hi........., jijiknya......!”
“ Ngomong-ngomong tentang itu, aku jadi teringat kejadian masa lalu.”
“ Apa itu ?”
“ Pokoknya siiip......!!!”
Suatu ketika, sepasang lebah tengah dirundung malang. Hari-hari mereka selalu diliputi kesedihan dan kedukaan. Hari-hari mereka sendiri tiada yang menemani. Kasihan sekali. Sudah sekian lama menantikan buah hati, namun belum juga dikaruniai anak.
“ E...........e..........e..........eg, Ma, jangan ngomong, kita kan sudah diberkahi. Buktinya kita sehat, tidak melarat, makan seharipun rasanya cukup.”
“ Papa tahunya enak saja, tetapi aku yang merasakan ........ Masak sudah dua belas tahun berkeluarga belum juga punya momongan, eh keturunan. Orang lain, baru berkeluarga empat bulan sudah punya gendongan. Ayo dong, Pa........ cari anak, mungut anak kek, atau apa gitu !”
“ Emangnya mungut anak itu gampangan apa......?”
“ Hu......, Papa sih, nggak sayang sama aku lagi ya.....?”
“ Bukan aku nggak sayang sama kamu, cuma Tuhan belum mgnizinkan kita punya ....!”
“ Ala........., sudahlah, bosan aku, apa-apa mesti bilang kayak begitu. Hu......,lihat saja besok, aku mau ke gunung....!” tantangnya.
“ Emangnya gunung bisa ngasih apa....? Gunung saja diam membisu, e........malah kamu mau minta. Senget kali ye...!!”
Si istri diam. Dia nggak mau ngomong. Sebab kalau ngomong terus, bencana kan runyam, api akan semakin membara dan kian membesar.
Lama setelah itu, mereka mendapat anak. Banyak sekali, nggak tanggung-tanggung. Aku saja nggak bisa menghitungnya. Kalau kalian bisa, hitung saja sendiri. Saat itulah beban yang mereka pikul kian berat. Tak sanggup badan memikulnya. Namun ada anak yang tertua. Dialah yang mengatasi semuanya dan sukses tentunya.
“ Pesan Bapak, kalian jangan sekali-kali cari makan di tempat yang kotor, kalian hidup tidak sendiri.”
“ Siiip..........! Jika perlu, kami akan berkorban demi yang lain.
Suatu ketika, anak-anak lebah pergi merantau dipimpin raja dan ratu. Tujuannya hutan lebat dan banyak pohon buah-buahan. Mereka akan bergotong royong membantu yang lemah, meringankan beban orang tua. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Satu disakiti, maka yang lain pun merasakan. Itulah prinsip hidup mereka sebagai satu tali persaudaraan.
Setelah memperoleh informasi ada rakyat yang berpesta pora, ratu dan raja memerintahkan anak buahnya ke sana. Mereka berbondong-bondong ke atas bukit.
“ Wou, mereka tengah pesta. Lihat, anjing-anjing itu sedang teler, musang-musang pun ikut. Mereka berdansa, minum-minum arak yang memabukkan. Bergandeng tangan, berhappy-happy. Rasanya dunia ini milik mereka ya, Bang.........?”
Adik-adik, kalian jangan tergiur akan kenikmatan mereka itu. Yang mereka kerjakan semuanya kotor. Lihat, sudah ada minuman bersih, masih mau yang kotor, dan makanan yang telah tersedia di rumah, kok kiranya masih kurang. Rakyat itu nggak tahu bahwa sebenarnya mereka tengah menikmati siksaan. Teler dan berkawan setan. Mamak dan bapak bilang..........
“ Aduh........., aduh.........., maafkan aku........! Kalau tahu begini jadinya, begini siksaannya, aku tak mau berbuat kayak dulu. Oooooooh, menyesal aku........, menyesal sekali.......! “
“ Hei lebah-lebah, bagi-bagilah minuman ! Mengapa kalian bisa menikmati makanan dan minuman yang begitu lezat ha..........??! Bantu kami beri payung itu, ayo beri.....! Panas rasanya, tolong.........!!!!”
Mereka minum minuman panas lagi menyala-nyala. Mereka yang serakah hidupnya dulu, kini mengalami nasib sial. Sial sejadi-jadinya.
“ Hai Raja, mengapa tidak Engkau bilang dulu pada kami kalau tempat ini begitu ngeri........? Kami minta, kami minta antar kami balik ke sana, biar kami bisa berbuat seperti lebah itu...!”
“ Mengapa kamu tanyakan itu ?”
“ Kami menyesal sekarang. Kami menyesal, beri kami tempo, Raja........!!”
“ Maaf, sudah terlambat, nasi sudah membubur untuk apalagi dijadikan beras. Rasakan balasannya !”
E.........e...............e....................eheg...........! Mereka menangis namun tidak berguna lagi.

Pohon Ek dan Seekor Tupai

Dahulu, sudah lama sekali, dalam sebuah hutan hiduplah sebuah pohon. Pohon itu sering disebut pohon ek. Batangnya tinggi besar menjulang. Daunnya hijau melebar nan panjang.
Di situ pula tinggal juga seekor Tupai Tanah. Ia tengah berkeliling-keliling. Si Tupai Tanah mendengar suara tangis yang memelas jiwa. Rintihnya keras melengking tinggi. Ou...ou, kasihan sekali, pikirnya.
Tupai Tanah menghentikan langkahnya. Kedua telinganya dibuka lebar agar dapat menangkap jelas-jelas suara itu. Lebar sekali kayak lebarnya sebuah parabola bisa menangkap siaran mancanegara. Sesekali kupingnya digerak-gerakkan. Untuk memastikan suara itu, ia pun memanjat sebuah pohon yang cukup tingi.
Dari puncak pohon nan tinggi itu, ia melihat ke sekelilingnya. Matanya sedang mencari-cari. Tatapannya begitu tajam.” Wou.........,wou.........., di sana, di sana,” teriaknya kecil. Ternyata, biarpun jauh, dia bisa melihatnya dengan matanya yang sangat besar. Hebat sekali.
Setelah turun, Tupai Tanah menuju pohon yang dilihatnya tadi. Langkahnya begitu cepat. Ia melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Sekejap saja telah tiba di tujuan.
“ Hei mengapa engkau kurus sekali ?” tanya Tupai Tanah heran.
“ Ya beginilah nasibku. Aku begini karena ulah seorang yang tak bertanggung jawab,” jawab Pohon Ek.
“ Kasihan sekali kamu. Kalau boleh aku tahu, diapakan kamu rupanya ?”
“ Malam itu aku dikerjainya. Tubuhku dicongkel dan diberi garam. Karena keasinan, ya begini jadinya. Hidupku jadi merena, tolong aku sahabat !” pinta Pohon Ek penuh harap.
Tanpa pikir panjang lagi, si Tupai Tanah menolongnya. Ranting-ranting kayu yang kering dikumpulinya. Sekelilingnya digemburkan dan ditimbunnya dengan sampah-sampah kering yang berserak di situ. Nggak cuma itu, ia pun mengambil air di kali yang tidak jauh dari tempat Pohon Ek berdiri. Air itu dibawanya dan disiramkan ke tubuh sahabatnya yang sedang sakit.
“ Makasih sahabat, engkau baik sekali. Sudah berbilang hari ini aku tidak minum. Untung ada kamu, kalau tidak ada, apalah jadinya diriku ini. Begitu baiknya dirimu seindah warna hitam dan krem yang menghiasi matamu,” ucap Pohon Ek kepada Tupai Tanah.
“ Ah, biasa kok. Kita hidup kan harus saling menolong,” sambut Tupai merendah.
“ Sahabat, sebagai balasannya, engkau kuberi hadiah. Engkau boleh makan yang kumiliki. Petiklah buah yang ada di tubuhku, sesukamu !” ucap Pohon Ek yakin.
Betapa bahagianya Tupai Tanah mendapat rezeki yang demikian banyak. Biarpun sahabatnya kekeringan, namun buahnya tetap saja ada. Dipetiknyalah buah ek, dimakan, dan sebagian lagi dibawanya pulang.
“ Terima kasih, aku sudah diberi hadiah,” kata Tupai Tanah sembari memasukkan buah ek ke mulutnya sehingga pipinya tampak gemuk dan ia pun berlari kencang ke biliknya.
Malam harinya terjadi suatu keanehan. Tupai Tanah terkejut setengah mati. Ia didatangi bidadari yang sungguh cantik. Dalam tidurnya itu, bidadari mengharapkan bantuan si Tupai Tanah agar tidak membuang ranting alias tubuh Pohon Ek.
“ Wahai Tupai yang baik. Jangan kau sia-siakan ranting itu. Ranting itu bermanfaat sekali bagimu. Ambil dan bawalah pulang. Engkau harus menumbuknya, lalu masaklah !” kata bidadari kemudian menghilang.
Pagi harinya Tupai Tanah tersadar. Tanpa mandi atau cuci muka, ia pergi ke tempat sahabatnya. Ranting kayu yang tadi dikumpulinya dibawa pulang. Setibanya di rumah, ia melaksanakan apa yang ditemuinya dalam tidur. Ranting kayu itu ditumbuknya dan dimasak. Wou, betapa terkejutnya ia. Bubuk kayu berubah jadi bubur. Enak..., katanya waktu mencicipi bubur masakannya. Bubur itu kemudian diolahnya menjadi roti yang sangat lezat rasanya.
“ Kalau begini kejadiannya, aku akan panggil saudaraku yang lain, biar mereka semua turut menikmatinya,” ucap Tupai Tanah bangga.
Beberapa lama kemudian.
“ Hai Tupai Tanah, kemarilah. Aku ingin kabarkan sesuatu kepadamu !” teriak Pohon Ek memangil-menggil Tupai Tanah yang sedang berkelana.
“ Ada apa ?” tanya Tupai Tanah heran.
“ Terima kasih untuk yang kedua kalinya. Lihat, di sepanjang jalan yang engkau lalui, telah banyak tumbuh keturunanku. Itu berkat kebaikanmu, ” pujinya.
“ Mengapa denganku ?” tanya Tupai tanah lagi.
“ Karena, sewaktu engkau makan sambil pulang kemarin, sisa yang kau buang itu telah berubah menjadi tunas-tunas baru. Aku bersyukur karena Tuhan telah memperbanyak keturunanku dengan bantuanmu !” puji Pohon Ek sekali lagi.
“ Bagus, bagus. Kalau begitu, aku akan melakukannya sepanjang hidupku, biar keluargamu semakin banyak,” janji Tupai Tanah.
Sesudah kejadian itu, Tupai Tanah merenung diri. Renungannya amat dalam dan penuh makna. Otaknya diputar-putar. Kepalanya terus memikirkan sesuatu. Akal cemerlangnya pun datang.
“ Hai sahabatku Pohon Ek. Mengapa tubuhmu bisa begini keras dan kuat ? Boleh aku tahu rahasianya ? Ceritakan dong kepadaku, mungkin nanti aku bisa membantumu lagi,” kata Tupai Tanah.
“ Baiklah, aku akan katakan kepadamu tentang diriku, semuanya. Tubuhku ini kuat dan keras karena aku banyak makan. Sari makanan yang kau timbun ke diriku tempo hari, itulah yang kusantap. Nah, sebagai gantinya, sekarang kau boleh mengambil batangku. Tetapi ingat, jangan kau habiskan, sisakan sedikitlah, biar dapat bertunas lagi.”
“ Untuk apa semua itu ?” tanya Tupai Tanah penasaran.
“ Malam nanti juga engkau akan tahu,” jawab Pohon Ek tenang.
Malam harinya Tupai Tanah nggak bisa memejamkan mata. Hatinya gundah, apa benar yang dikatakan Pohon Ek itu nanti. Tetapi, setahan-tahannya ia bergadang, akhirnya tertidur juga.
Untuk kedua kalinya Tupai Tanah bermimpi. Mimpinya kali ini lain. Yang datang bukanlah bidadari, tetapi makhluk aneh. Tubuhnya tinggi lagi kuat. Si Tupai Tanah dicengkeramnya. Ia mengaduh kesakitan, makhluk itu bilang, “ Kamu jangan takut. Apa yang dikatakan sahabatmu itu benar. Tubuhnya bisa kamu pakai untuk dinding rumahmu, bisa juga untuk lantai rumahmu.”
“ O......ya !” sahut Tupai Tanah. Matanya terbuka, namun si makhluk aneh itu sudah tidak ada di depannya lagi. Keherananlah yang ditemui si Tupai Tanah, “ Aku nggak mungkin membangun rumah dengan kayu ek, tidak. Rumahku kan di antara batu-batu, di dalam lubang lagi. Lucu ya........? Tetapi , enggak apalah, biar bukan untukku, kan yang lain bisa membutuhkannya. Nah, lebih baik aku jual saja di pasar !”
Sejak saat itu jadilah Tupai Tanah pedagang mebel antik dan malam harinya menjadi penjual roti dari kayu ek. Wou........, jadilah ia Tupai Tanah yang kaya mendadak, namun tidak pernah menyombongkan diri, sebab ia juga kerap menyebarkan benih pohon ek di tempat yang sering dilaluinya.
“ Terima kasih, Tupai Tanah. Engkau memang sahabat sejatiku !” kata Pohon Ek sambil melambaikan tangannya yang besar ditiup angin kencang.
“ Terima kasih juga. Engkau juga baik kepadaku. Karena engkau, aku bisa bangun rumah dan membuat mebel sampai sekarang,” ujar Tupai Tanah bangga.
Keduanya berpisah sembari meninggalkan nama yang baik untuk semua penghuni bumi ini.