Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 21 Agustus 2009

Sahabat Setia

Aku punya dua sahabat setia. Ke mana pun aku pegi, keduanya selalu ikut serta. Tak heran, banyak temanku yang jadi iri melihat kemesraan yang melekat di hati kami. Padahal kedua temanku itu nggak memiliki apa-apa. Mereka hanyalah binatang yang juga membutuhkan kasih sayangku. Namanya si Beruk dan Jalak.
Setiap hari aku selalu memberinya makan. Karenanyalah tubuh mereka tampak sehat, gemuk, bernyanyi-nyanyi, dan menari-nari keriangan bagai orang-orang yang melihatnya saat bertandang ke rumahku. Kebahagiaanku pun kian hari kian bertambah. Perasaanku berbunga menjulang langit melihat keduanya bersih dari noda. Soalnya, aku selalu memandikan keduanya saat masih kecil.
Bila malam tiba, sahabatku tidur berdua. Berdekatan bagai saudara kandung saja. Tirai biliknya pun sederhana. Cuma rumah kecil yang kuletakkan di belakang rumahku. Mereka begitu riang dan tidak pernah bertengkar.
O ya, adik-adik. Sahabat setiaku punya sifat yang berbeda. Si Beruk lebih suka makan kelapa dan jagung rebus. Dia paling nggak suka diusik tetangga yang bertandang saat dirinya sedang istirahat. Bila ada yang berani, sudah tentu sahabatku yang tak berekor itu akan marah besar.
Lain Beruk, lain pula si Jalak. Jalakku lebih suka makan jewawut dan mandi-mandi. Terkadang usil juga, namun nggak sempat membuat saudaranya marah. Kesetiakawannya pun tinggi. Entah dari mana dia dapat, aku nggak tahu. Tahu-tahu, jagung itu telah dimamah si Beruk.
Suatu ketika saat aku pulang dari sekolah, kulihat berukku termenung sendiri. Aku juga heran, nggak biasanya dia seperti itu. Padahal kalau kutemui, ia kerap kali tersenyum, menari-nari, melonjak tiada terkira. Jangan-jangan sahabatku sakit, atau mungkin aku lupa memberinya makan. Ah........., tidak juga. Lantas, mengapa dia termenung ya.........?
“ Adik-adik, tahu nggak ke mana si Jalak pergi ? Bantu aku dong, mau kan ?”
“ Baik, baiklah. Ayo, kita cari bersama-sama !”
“ Terima kasih, kalian baik sekali. Itu baru teman. Dengan begitu, kepiluan hati bisa sedikit terobati. Soalnya, aku sedang dilanda gundah, bingung, nggak tahu mau bilang apa.”
O...............ou........, hari telah mendekat senja. Mentari kayaknya telah mau tidur dan kerjanya akan digantikan temannya yang lain, si Bulan penjaga malam. Namun si Jalak belum kembali.
Kudatangi si Beruk. Kuelus tubuhnya, dia masih diam. Salah apalah aku padanya. Ruk, mengapa engkau diam saja ? Kuambil dia lalu kugendong. O..........o......o.....o........., baru ada perubahan. Sahabatku mulai jingkrak kecil mengitari diriku. Ditarik-tariknya tanganku. Kencang sekali pegangannya sampai-sampai aku hampir terjatuh dibuatnya. Sepertinya binatang kesayanganku itu hendak memberikan kabar baru kepadaku.
Apa yang kuduga ternyata benar, Dik. Aku dibawanya ke sekitar rumahku. Agak jauh memang, dekat kali Mencirim, di sela-sela semak di bawah pohon rambung.” Ouk...,” si Beruk berteriak memberi tahu.
Betapa terperanjatnya aku ketika itu. Jalakku tergeletak tiada daya seperti orang lumpuh nggak bisa berjalan. Gelisahku meronta, sedihku menguak menyibak sukma. Rasa ibaku berbicara seakan membisikkan telingaku untuk menolongnya. Sayap kecilnya teluka. Paha mulusnya memar. Matanya sedikit berair.
“ Mengapa engkau jadi begini sayang ? Siapa yang telah menembakmu ? Aku harus mengobatimu, Lak. Kasihan dirimu merana karena si Jahil yang tak punya rasa kasih. Kalau engkau begini terus, bagaimana makannya nanti. Aduh.........., teganya orang itu !” pikirku dalam.
Setibanya di rumah, dia kuobati dengan sangat hati-hati. Pelan-pelan sekali karena aku takut si Jalak merintih menahan sakit yang tak terbilangkan. Tanpa sengaja, si Beruk menggelendot di pundakku. Butir salju pun menghiasi kelopak matanya.
“ Maafkan aku sahabat, maafkan aku, aku tak bisa menolongmu !” ucapnya lirih.
Sehari, seminggu, dan sebulan berlalu. Jalakku belum sembuh dari sakitnya. Hatiku semakin sedih, Berukku pun ikut pilu. Melihat sahabatnya terkapar begitu lama, nafsu makannya pun mulai berkurang. Dia lebih senang menunggui sahabatnya yang terbaring lemas. Berkali-kali telah kucoba memberinya makan, namun ia masih enggan. Minum pun hanya sekali-sekali saja, nggak congok seperti biasanya. Akhirnya si Beruk kurus dan kian kurus tidak gemuk kayak dulu.
Dua hari kemudian jalakku mati. Si Beruk semakin menggila, meronta-ronta, menarik-narik rambutku. Mendung pun terus menutupi mentari. Bumi gelap nggak bercahaya kayak muka berukku yang tak manis lagi. Sorot matanya kelihatan redup seperti lentera kehabisan minyak, kecil, dan semakin kecil, lalu buram dan nggak nampak. Tiba-tiba derai tangisnya bertambah keras begitu sahabatnya ditimbun dengan tanah. Mata melongo, mulut terkatup diam, hanya jemarinya menggoda keningku, seakan dia lagi berdoa demi keselamatan sahabatnya.
Adik-adikku manis. Sejak itu berukku semakin murung dan terus murung. Dia nggak menghiraukan dirinya semakin kering. Cinta pada sahabatnya yang membuatnya begitu. Main pun sekarang telah menjauh. Lihatlah, Dik. Kerjanya hanya memandangi gundukan tanah di belakang rumah. Diusap-usapnya tanah itu lalu disapukannya di kepala. Sedih sekali memang. Untung kalian tidak melihatnya. Kalau sempat lihat apalah jadinya.
Untuk menghilangkan kesedihannya, kuajak dia jalan-jalan sore mengitari kota. Mulanya sih tak bersemangat, lama-lama ceria pun tampak di wajahnya. Matanya tertuju pada sebuah sangkar di pusat pasar. Ditarik-tariknya bajuku. Ayo, ambil dia, ambil dia ! Cepatlah !!!!! Dia sudah nggak sabaran.
Betapa senangnya si Beruk begitu tahu aku menghadirkan teman baru di rumahnya. Anehnya, murungnya pun lenyap tak tertinggal jejak lagi. Makannya lahap bukan main. Bersoraklah ia tiada tara.
Benarlah apa yang dikatakan nenek kita bahwa binatang pun perlu teman untuk bertukan pikiran. Buktinya,Dik. Si Beruk menunggu Jalak baru dengan setianya. Dia nggak mikir berapa lama harus menantikan sahabatnya untuk bisa bermain bersamanya seperti sahabatnya yang dulu.
“ Yang penting, aku sudah punya sahabat sekarang, semoga setia seperti sahabatku yang dulu,” katanya pasti.

1 komentar: