Bahasa, Seni, dan Budaya

Selasa, 18 Agustus 2009

Kenalkan



Aku lelaki dari keluarga guru lho. Bapakku, Pak Ngadino, seorang guru yang menguasai enam bahasa di antaranya bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Arab, Mandarin, dan Belanda. Dulunya orang tuaku itu mengajar di SMA 1 di kota kelahiranku, Kota Rambutan sekitar tahun 1950 - 1971. Ibuku Bu Marie juga guru. Beliau guru TK. Dulunya mengajar di TK Perkebunan Sei Semayang, Kecamatan Sunggal Medan, Taman Indria Tamansiswa Binjai, dan pernah juga mengajar di Taman Indria Tamansiswa Batuphat sampai pensiun.

Saat dilahirkan di Binjai, kedua orang tuaku memberi nama yang cukup bagus. Namaku Ridha Nori Irianto. Panggilan akrabku Papa Nori (nama beken he..he..). Katanya sih nama pemberian bapak dan ibuku itu memiliki arti ikhlas. Mereka mengharapkan aku kelak setelah dewasa menjadi anak yang tanpa pamrih. He……….he……….

Waktu kecil dulu, setiap bapakku mau pergi mengajar atau memberi les privat, aku kerap kali naik ke pundaknya lalu dibawa berkeliling dengan sepeda tuanya. Asyik…….., ingin rasanya hal itu terulang lagi, tetapi aku rasa nggak mungkin deh. Terkadang aku juga mandi bersama dengan bapakku di Sungai Mencirim. Ketika itu sambil mandi aku pun diajarinya bermain gendang di permukaan air. Berkat didikannya, hingga kini pun aku masih dapat memainkannya. Tidak hanya itu, aku bisa berenang juga karena diajari bapakku.

Aku pemeluk Islam. Di kediamanku, di Rambung Dalam Binjai, Sumut, setiap selesai shalat Magrib, aku mengikuti pengajian Al Quran yang dibimbing oleh bapakku sendiri. Beliau mengajariku dengan penuh kesabaran. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan siraman rohani berupa mutiara kajian diri, bagaimana kita hidup, beretika, dan bergaul. Semuanya itu berlandaskan ajaran Al Quran. Karenanya aku jadi senang dan kini telah mampu membacanya, memahami sekaligus insyaallah mengamalkannya.



Masa kecil hingga remaja kuhabiskan waktuku di Kota Binjai, Sumatera Utara. Sepeninggal bapakku Mei 1971, aku tinggal bersama nenekku Satinem atau yang lebih dikenal dengan panggilan Nek Gandel. Aku tidak ikut pindah bersama ibu dan saudara-saudaraku ke Perkebunan Sei Semayang Sunggal Medan karena aku lebih memilih hidup bersama nenekku, emak bapakku. Selain dekat sekolah, aku ingin menghibur nenekku, yang kata nenekku, aku ini mirip sekali dengan bapakku. Intinya, aku ingin menghilangkan duka nenek.

Sebagai wujud kasih sayangku pada nenek, siang sepulang sekolah, aku dengan setia memberi makan piaraan nenekku, ayam dan bebek yang begitu banyak. Jumlahnya mencapai ratusan. Tidak hanya itu, ketika tengah bulan atau pada akhir bulan, aku menemani nenekku ke Perkebunan Timbanglangkat Binjai menagih angsuran kain. Kubonceng nenekku dengan senangnya hingga ia terbahak-bahak.

Di kota itu pula aku bersekolah di SD Negeri 11 Binjai dan tamat 1974. Ketika kelas 1 sampai 3 aku berhasil menduduki peringkat pertama dan sering diberi hadiah oleh kepala sekolahku Pak Darsono.

Pendidikan menengah pertama kuselesaikan di SMP Negeri 2 Binjai tahun 1977. Di SMP ini prestasiku anjlok. Kelas satu aja nilai merahku banyak sekali. Dari tiga belas pelajaran, cuma dua yang tidak merah, yaitu pelajaran agama dan bahasa Indonesia. Namun aku berusaha terus. Nilai merah itu kuanggap cambuk bagiku. Akhirnya aku pun berhasil menguranginya sedikit demi sedikit hingga kelas tiga yang merah hanya sejarah. Menjelang ujian akhir, Pak Saragih guru sejarah memanggil dan menasehatiku kalau tidak dapat nilai delapan, aku nggak lulus. Aku tidak putus asa. Kucoba berbagai cara belajar agar nilaiku bagus. Aku pun bermohon pada Allah supaya Dia membukakan pikiranku. Ternyata Allah mendengar doaku. Usaha kerasku membuahkan hasil, aku lulus dengan nilai 9 pada pelajaran sejarah.

Sebenarnya sih selesai SMP dulu, aku pinginnya melanjutkan ke SMEA, ingin menjadi ahli keuangan. Soalnya guru pelajaran berhitungku waktu SMP, Pak Syamsuardi, sering memujiku katanya sih aku bisa berhitung cepat, tetapi niat itu nggak kesampaian karena ibuku belumlah tebal sakunya. Lagian ibuku menyarankan agar aku meneruskan cita-cita bapak. Nah, demi memenuhi harapan orang tua, aku pun melanjutkan ke SPG.

Apa yang diharapkan ibuku, kutunjukkan kepadanya bahwa aku benar-benar akan meneruskan cita-cita bapakku. Aku mendapatkan beasiswa selama tiga tahun di SPG Negeri Binjai. Betapa bangganya ibu dan nenekku waktu itu. Mereka tidak lagi perlu mengeluarkan uang buat membayar biaya sekolah.

Setamat dari sekolah keguruan, aku tidak langsung menjadi guru, melainkan bekerja di bengkel sepeda Bang Ameng di seputaran Binjai dekat jembatan Sei Mencirim. Di situ aku mencoba memperbaiki dan menambal ban sepeda yang rusak. Hitung-hitung ada untungnya juga. Aku berfikir, ntar kalau sudah punya anak, aku pun nantinya bisa memperbaiki sepeda anakku sendiri jika rusak.

Setelah merasa cukup bekerja di bengkel sepeda, mulailah aku mencoba mendarmabaktikan ilmuku dengan menjadi guru. Awalnya aku mengajar di Muhammadiyah berkat kebaikan guru agamaku di SPG, Pak Darius. Waktu itu Minggu pagi. Aku lagi asyik lari pagi mengitari lapangan merdeka Binjai. Saat itulah aku bertemu dengan Pak Darius. Kami berbincang. Salah satunya beliau menawarkan kebaikannya mengajakku agar mengajar di Muhammadiyah tempat beliau mengajar selain di SPG Negeri. Wou, aku sambut kebaikannya itu. Aku pun mengajar di SD Muhammadiyah pada pagi hari.

Beberapa bulan kemudian aku bertemu dengan teman sekolahku, Yani. Cerita punya cerita aku diajak pula mengajar di Kecamatan Sunggal, tepatnya di KM 12. Karena aku ingin mendapatkan pengalaman baru, aku pun mengiakan. Alhasil, siang hari aku mengajar di SD Budhi Setia.

Banyak kenangan manis yang kudapatkan di kedua sekolah tersebut. Mulai dari sikap rekan sesama guru, muridku yang lucu dan baik, dan canda mereka yang membuatku makin percaya diri untuk tampil di depan kelas.

Mulai September 1982, aku pindah tugas lagi. Kini tempat yang kutuju sangat jauh dari kampungku sendiri, bahkan keluar provinsi. Tempatnya masih sangat asing bagiku. Selain sekolah baru, tempatnya juga masih sepi dan belum seramai sekarang ini. Kanan kirinya masih hutan perawan. Rumah-rumah penduduk belum begitu banyak. Untuk sampai di tempat yang baru itu, aku membutuhkan waktu sehari semalam dari kota Binjai ke Lhokseumawe. Soalnya jalannya masih belum diaspal. Jika di dalam kendaraan seakan kita diajak berjoget terus, bagai bumi yang tengah dilanda gempa. Di tempat yang baru itu aku menjadi guru SD. Tepatnya di Tamansiswa Cabang Batuphat, Lhokseumawe, Provinsi Aceh.

Setelah dua tahun aku mengabdi dan menjadi pegawai tetap di Tamansiswa, aku mempersunting gadis turunan Mandailing dan Karo menjadi istriku. Buah perkawinanku dengan Arlinawaty menghasilkan tiga anak yang manis-manis, Swastiekadhy Puspita Sari, Isyadhy Satya Nugraha, dan An Nahl Muharram Tresnandhy.

Di tempat yang masih sepi dan nyaman itu Allah memberi petunjuk . Ditemani tiga buah hatiku yang ketika itu masih kecil-kecil, aku pun mengembangkan dan mengasah kemampuan menulisku membuat berbagai macam cerita dan puisi. Hasilnya luar biasa. Semua tulisan di blogku ini merupakan karyaku waktu itu. Selain aktif menulis cerita di Bulletin Arun, setiap Minggu pagi aku mengasuh acara Cerita Anak Minggu Pagi di Radio Istiqamah Arun (Rista) periode 1990-1994. Senang rasanya bisa berbagi cerita dengan adik-adikku yang masih SD. Selain menanamkan nilai pendidikan pada anak lewat cerita, aku juga bisa menghibur mereka, bicara langsung melalui telepon pilihan pendengar, dan setiap Sabtu aku menjadi pembina pramuka siaga.

Hari-hari selanjutnya aku berusaha mengembangkan pengetahuanku dengan melanjutkan pendidikan kuliah D II PGSD UPBJ Banda Aceh. Kulakukan itu karena aku ingin memberikan keteladanan yang baik buat ketiga buah hatiku. Biar bapak sudah bekerja, toh masih mau belajar dan belajar meraih masa depan yang lebih baik. Kuliahnya pun hanya dua kali seminggu, yaitu setiap Sabtu dan Minggu. Alhamdulillah, bisa kuselesaikan tahun 1996. Kemudian aku melanjutkan lagi kuliah di Universitas Abulyatama Banda Aceh jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia hingga tuntas di tahun 2000.

Seminggu setelah aku dinyatakan lulus dari sidang kesarjanaan, bayang hitam mulai menghadang kehidupan keluargaku. Pasalnya, setelah duapuluh delapan tahun aku bekerja, kontrak kerjaku dengan Tamansiswa Batuphat berakhir. Aku dan teman-temanku semua terkena PHK karena sekolahnya akan berubah status menjadi sebuah yayasan baru bernama Yayasan Pendidikan Arun (Yapena). Terpaksalah kami menganggur selama tiga bulan lamanya.

Di saat genting, aku menanti dengan harap-harap cemas, soalnya ijazah S1-ku belum keluar, padahal batas akhir penerimaan tes menjadi guru Yapena dengan syarat S1 tinggal seminggu lagi. Istri dan anak-anakku gelisah takut akut nggak dapat pekerjaan lagi. Spontan aku yakinkan mereka, insyaallah Tuhan masih mendengarkan doa kita. Kutunjukkan pada mereka bahwa lamaran pekerjaanku telah selesai kubuat. Seketika itu, tepatnya sehari menjelang penutupan penerimaan guru Yapena, ijazah S1 kudapatkan. Langsung aja kukirim dan alhamdulillah aku diterima dan mengajar sampai sekarang.

Dalam tahun 90-an, banyak waktu senggang kuisi dengan kegiatan menulis. Salah satunya karyaku itu masuk Nominasi Karya Tulis Pertamina Sumbagut 1990, Juara III NAD dalam Penulisan Naskah Fiksi Bagi Guru yang diadakan Pusat Perbukuan Jakarta 1994 dengan judul cerita Mutiara Nurani, dan peserta Penulisan Naskah Fiksi dengan judul “Jangan Salahkan Aku” yang diselenggarakan Dikdas Jakarta 1998.

Tahun 1996 hingga 2004 aku mendapatkan tugas tambahan membimbing teman sejawat dalam kegiatan KKG Kota Lhokseumawe yang meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Dua, Banda Sakti, dan Blang Mangat khusus bidang studi Bahasa Indonesia bagi guru sekolah dasar.

Sudah jadi tradisi bagiku untuk selalu berpindah mengajar dari satu sekolah ke tempat lain. Bulan ………tahun 2005 aku dipindahtugas lagi dari SD 2 ke SD 1 Yapena. Di tempat yang baru ini, kepala sekolahnya sejawatku sendiri, Pak Mulyo. Betapa senangnya aku dapat bersatu lagi dengannya. Setelah seminggu aku bersamanya, beliau memanggilku. Aku diminta untuk mengikuti seleksi menjadi guru berprestasi mewakili sekolah. Meski beliau memberi tempo tiga hari untuk menyiapkan segala keperluan lomba, aku bilang siap. Insyaallah aku akan memegang amanah yang dipercayakannya kepadaku.

Pagi hari Senin 16 Mei 2005 dengan berboncengan sepeda motor aku dan kepala sekolah menuju ke Kecamatan Muara Dua untuk mengikuti seleksi tingkat kecamatan. Dalam lomba itu aku meyakinkan para juri insyaallah jika aku mampu menjuarai di tingkat kecamatan, kan kuukir prestasi di tingkat kota nantinya. Ternyata aku berhasil dan mewakili kecamatan ke tingkat Kota Lhokseumawe yang dilaksanakan dari tanggal 22 dan 23 Juni 2005.

Di tingkat kota, persaingan lebih keras. Masing-masing peserta menunjukkan kemahiran dan kebolehan yang dimiliki. Setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan, kiranya Allah masih memberikan kepadaku predikat terbaik dan berhak mewakili kota ke tingkat provinsi. Sore itu juga kutelepon kepala sekolahku, Pak Mulyo, kukabari beliau atas keberhasilanku. Betapa senangnya beliau, hal itu ditunjukkannya padaku dengan mentraktir aku makan di warung kari kambing Batuphat.

Bulan Juli 2005 merupakan bulan yang penuh rintangan dan cobaan bagiku. Betapa tidak, bulan itu awal perjuangan anak gadisku tuk bisa duduk di bangku perguruan tinggi. Aku hanya bisa berharap dan berdoa insyaallah Sari bisa kuliah meskipun uang di tanganku saat itu belumlah cukup.

Dengan berbekal ingin membahagiakan anak dan kotaku, berangkatlah aku ke tingkat provinsi. Mula-mula aku menerima Pembekalan di Kota Jantho, Aceh Besar 21-24 Juli 2005. Di sini peserta menerima arahan bagaimana caranya menjadi orang yang profesional dalam tugas dan kesehariannya. Setelah itu barulah dilaksanakan perlombaan tingkat provinsi 25-30 Juli di Hotel Sultan Banda Aceh. Alhamdulillah aku pun berhasil menuai kemenangan dan berhak mewakili Aceh ke tingkat nasional tahun 2005.



Atas prestasiku itu pihak pemerintah daerah Kota Lhokseumawe menghadiahiku menunaikan ibadah haji dan pihak Yayasan tempatku bekerja mempromosikanku mengajar di SMP Yapena Jln. Cilacap Batuphat Lhokseumawe Aceh sejak Juli 2006.

Dan dua prestasiku yang baru saja kuraih adalah menjadi yang terbaik dalam Work Shop Guru Berprestasi Tingkat Nasional 2006 di kota Bandung dan berhasil membina siswaku Cut Amelia Saffiera meraih juara pertama cabang Cipta Cerpen Tingkat Nasional dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional di Kota Bandung tahun 2008 yang lalu.

Dalam keseharianku aku memiliki semangat hidup yaitu Sekali Melangkah Surut Kita Berpantang. Bagiku bila sesuatu itu kucoba, aku tak akan pernah menundanya, tak akan berhenti walau ada hal yang mengganjal sekalipun sebelum berhasil menggapainya.

Kini aku amat berbahagia bisa berkumpul dengan keluargaku di sebuah komplek yang terletak di Jalan Bontang No. 39 Batuphat, Lhokseumawe, telp. 0645 65 3666 dan sebuah Hp. 081360798962 yang selalu dapat dihubungi kapanpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar