Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 18 Desember 2009

HONDA SAHABATKU HONDA CINTAKU

“ Pa……, Pa….., beli honda ya, Ai mo ikut ma Papa !”
Itulah kalimat yang muncul dari bibir mungil anakku Swastie saat ia lihat tetangga sebelahku pulang dengan hondanya. Aku spontan berdecak, jiwaku bicara. Anak sekecil dia sudah dapat mengerti dan menilai sepeda motor yang namanya honda. Weleh……….weleh………..!
Jika kukenang masa awalku beli honda, ada rasa lucu, nekat, dan bahagia berbaur menyatu mewarnai kehidupan keluargaku. Aku dan istriku Arlinawaty memang benar-benar nekat. Betapa tidak begitu, coba bayangkan, aku seorang guru sekolah dasar yang bergaji hanya seratus sepuluh ribu per bulan kok nekat beli Honda Astrea yang waktu itu masih dua jutaan harganya. Simpananku juga nggak ada. Makan saja masih ngirit. Namun, karena hatiku lebih kuat bicara dan ingin membahagiakan keluarga, aku pun berupaya keras bagaimana bisa beli dan naik honda. Seketika itu aku anjurkan istriku ikut arisan keluarga di lingkungan Rancong tempat tinggalku.
Bener lho………, ini nggak bohong. Hari itu istriku tersayang pulang dengan membawa uang tiga ratus ribu rupiah. Spontan saja kubilang, “ Ma, ayo kita beli kereta (sebutan untuk sepeda motor di tempatku) sekarang !” Tak dinyana dan tidak pula disangka-sangka, istriku setuju, sebab memang telah lama menginginkannya.
Hari Minggu sore itu kami ke Lhokseumawe. Tujuannya hanya satu, ke PT Capela dealer Honda satu-satunya di kotaku. Istriku girang bukan main, raut mukanya berkaca-kaca, senang membubung langit tiada terbilang.
“Mudah-mudahan dealernya mau ngasih kita kredit ya, Pa !” ucapnya padaku selama dalam perjalanan .
“Semoga aja, yang penting, niat kita baik !” kataku tanpa ragu sedikit pun.
Setibanya di dealer Lhokseumawe, kami langsung menyampaikan niat pada seorang pegawai yang ada di situ. Ternyata, sambutannya luar biasa. Ramah dan menyenangkan. Kami kemudian diminta melihat dan memilih kereta mana yang kami senangi.
Wou……….., istriku berdecak kagum, bingung, sekaligus gembira menghias alam. Soalnya, di PT Capela dealer Lhokseumawe tersebut dipajang beraneka corak warna honda. Semuanya bagus, baru, dan memikat hati, yang bikin ngiler cepat-cepat membeli.
“Pa, Mama masih bingung, mau beli yang mana, barangnya bagus-bagus sih. Harganya juga terjangkau ya, Pa !” bisik istriku saat itu.
“Murah dan mutunya baik. Begitulah daya pikat honda !” kataku meyakinkan istriku.
Kenyataan memang, itulah salah satu cara Honda menarik minat pembeli, pelanggan, dan pencintanya. Honda memasang tarifnya tidaklah terlalu tinggi, sehingga orang-orang berekonomi lemah seperti aku, bisa juga menikmati perjalanan dengan Honda.
Dalam hal urusan pembelian, janganlah pernah ragu. Hondalah nomor satu. Cepat urusannya, puas hasilnya. Itu yang kurasakan waktu itu. Beli Honda dengan biaya sendiri, nyicil lagi, dan tidak pula memberatkan. Alhasil, aku dan istriku pulang ke rumah dengan gembira, berboncengan dengan Honda baru, dan plat baru.
Sejak itu pula, resmilah aku punya Honda sendiri. Walau nyicil dua tahun dengan bayaran tujuh puluh delapan ribu per bulan, aku merasa sangat bahagia dengan kendaraanku, Honda Supra keluaran tahun 1985.
Kini, setelah dua puluh dua tahun aku berkenalan dengan Honda, tahulah aku kalau Honda memang jempolan, sahabat setia yang nggak pernah meminta belas kasihan, tetap bersikap jantan meskipun dihadang musuh pendakian yang terjal lagi mengerikan. Karena itulah aku katakan bahwa Honda bagiku adalah saudaraku, sahabatku yang tak mungkin menjauh dari kehidupanku.
Ke mana pun aku dan keluargaku pergi, kami tetap dengan Honda. Ibarat pepatah, kerja adalah nafasku, Honda itu jantungku. Honda dan diriku telah menyatu kalbu yang tidak mungkin terpisahkan walau termakan waktu. Siapapun tidak kurelakan mengotori sahabatku. Siapapun tidak kuizinkan mempreteli, melepas, menggerogoti tubuhnya. Aku tidak ingin hondaku jadi jelek, kering, dan tidak bernyawa. Karena aku sudah amat mencintainya sedalam jiwaku dan menyayanginya sebagai bagian tubuhku sendiri.
Saking cintanya aku pada Honda sahabatku, aku tetap menjaga dan merawatnya sendiri. Seminggu dua kali aku memandikannya dengan ditemani anakku Swastie. Kuberi dia wewangian sehingga harum menyibak permukaan alam. Kuelus-elus tubuhnya dengan lembut bagaikan kasih seorang ibu kepada anaknya sendiri kerena aku tidak ingin dia tersakiti. Semua kulakukan dengan penuh keikhlasanku. Ya……… seperti yang dianjurkan petugas dealer Honda waktu pertama kubeli dulu. “Jika Bapak ingin hondanya awet, tahan lama, dan tidak merengek-rengek, maka rawatlah dengan baik, servicelah yang teratur di tempat khusus Service Resmi Honda.”
Cintaku pada Honda sahabatku tidaklah akan pernah pudar. Tidak ada yang dapat menandingi rasa cintaku padanya. Buktinya, setiap aku akan membawa dia jalan-jalan jauh bersama keluargaku, sebelum berangkat, aku cek dulu sahabatku, apakah dia sakit atau tidak. Aku pun tetap memberinya makanan oli baru buat dirinya lebih dahulu. Aku nggak ingin dia nggak sampai di tujuan. Kuperhatikan segala lekuk tubuhnya, jika ada yang tidak beres dengannya, kuganti dia dengan onderdil yang baru sehingga jalannya tidak akan pincang.
Begitu pun ketika aku berangkat ke tempat kerjaku. Sahabatku tetap ikut. Bagiku pergi dengan Honda sahabatku sungguh nyaman. Selain berteknologi tinggi, sahabatku juga mudah dikendalikan. Karena begitu mudahnya, aku nggak pernah telat sampai di kantor. Aku juga nggak pernah mengecewakannya. Dia pun tidak pernah mengecewakanku. Sekali lagi kukatakan bahwa aku tidak pernah disakiti sahabatku Honda. Dialah sahabatku yang ramah lingkungan. Sahabatku yang mementingkan keselamatan dan kenyamanan.
Bagiku Honda merupakan bagian dari hidupku, penunjang sukses keberhasilan kerjaku, teman dalam suka dan duka bersama keluarga. Honda, engkau jantung hatiku, yang menyemangati aku dalam setiap tarikan nafasku sehingga aku tetap mencintaimu. Honda sahabatku, Honda cintaku dalam seumur hidupku. Terima kasih Honda, engkau telah sudi menemani hari-hari hidupku dan keluargaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar