Bahasa, Seni, dan Budaya

Jumat, 18 Desember 2009

Sadar Kembali

Kakekku punya kebun yang luas. Seluas mata memandang.Wou...., luas sekali ! Nah, kali ini kebunnya terlambat untuk dibersihkan. Padang ilalang tumbuh dengan leluasa, Duh, bagai hutan saja.
Selain ilalang, banyak juga binatang yang berhamburan mencari makan. Mereka menyelinap dan bersembunyi di balik semak.
“ Bersembunyi......?”
Jelas, kelak tak dimangsa binatang lain. Eh, teman-temanku yang cakep, salah satu binatang di kebun itu adalah...... Mau tahu kan ? Itu......tu......tu...., binatang cacing. Tahu kan...? Kalau tidak tahu, tanyakan saja pada papa dan mamamu di rumah. Ntar, pasti tahu sendiri.
Sudah tahu kan ....? Nah, Cacing yang satu ini pandai sekali. Ia pintar mencari rumah dan sembunyi sendirian di balik pohon nenas. Dia ada rada ogahnya juga. Malasnya juga minta ampun, jengkel kita dibuatnya.
Selain itu, kerja si Cacing hanya bernyanyi sepanjang waktu. Ya........kadang juga ia merenung seorang diri. Tak punya kerja, malas, bersiul-siul kecil, dan mengolok-olok saja tiada hentinya bagai kereta api yang berjalan.
Nah teman-teman, suatu hari hujan turun kecil-kecil. Wah, kalau sudah datang hujan, yang paling senang yah...... petani kita. Mereka pasti bahagia sebab tanaman pada akan tumbuh subur. Wou......, bukan petani saja, adikku juga. Ia akan mandi hujan dan bemain-main di luar. Ha......ha....., termasuk kamu tentunya, kan ? Begitu pula dengan cacing kita.
Saat itu dia bertemu dengan semut-semut kecil. Matanya melirik ke sana-sini. Dasar tinggi hati, melihat semut kerja barengan, e...... malah dia mencibirkan muka, sebentar kemudian e...... tersenyum.
“ Gila kali !”
“ Gila......??!”
“ Bukan, mana ada cacing yang gila, ya tidak ?”
Nah, Cacing mulai ngoceh, bicaranya mulai ngelantur.
“ Wah......,wah......, benda segede itu ( lalat mati ) kalian angkat, apa tak berat ? Lihat, ogut enak ongkang-ongkang, tak capek kerja, makanan datang sendiri. Kalian apa, he......? Dasar Semut tolol !” ejek Cacing.
Warga semut hanya membalasnya dengan senyum nan aduhai.
“ Du ila......, sudah dihina e......malah membalas dengan senyum nan aduhai.”
“ Hebatkan....!”
“ Ya, betul.”
“ Betul, Pak Ridha juga bilang begitu.”
“ Buktinya ?”
“ Mau tahu ? Wah, Bung Karim ngakak.”
“Mengapa ?”
Hujan semakin deras dan bumi semakin tenggelam bagai lautan tak bertepi. Segar tanaman masih bisa menghirup kenikmatan dunia dan nenekku eh.... nenek Sari pulang kerja senang hatinya sebab lelah kini melenyapkan diri.
Si Semut juga begitu. Mereka merayapi dinding rumah nenek Sari dengan badan kering tak basah karena hujan. Keceriaan itu terpancar jelas dari wajah semut imut-imut.
Kini, mereka balik mengolok-olok si Cacing yang lagi kedinginan dan rumahnya yang penuh dengan riakan air bagai kolam buatan si jampang pengirim lagu. Badan Cacing kuyub dan rumah lenyap diterjang badai.
“ Kasihan.....!”
“ Wah, baik juga rupanya si Semut. Percaya tidak, teman-teman ?”
“ Pasti........., pasti percaya !”
Nah, biarpun semut kecil-kecil, mereka punya rasa kemanusiaan juga. Coba simak saja. Si Semut Besar alias rajanya, tambah konco-konco kerenya tak pula ingin melihat Cacing menderita berkepanjangan, berjalan tertatih-tatih. Masyarakat kecil ingin melihat dia bahagia juga. Senangkan kalian digotong........ eh bukan, gotong royong ?
“ Senang !”
Si Cacing selamat. Dia terhindar dari mara bahaya yang mengancam dirinya. So, ia berterima kasih kepada keluarga Semut.
“ Apa sebab ?”
Si Cacing kini sembuh alias sehat di rumah keluarga Semut. Hidup enak dan makan nikmat.
Akhirnya si Cacing gembira. Di pondokan Semut, mereka berpesta bagaikan kita sedang berpantun. Asyik..........., makan pun mereka bagi rata. Tidak ada yang dianaktirikan. Kerja bareng membangun negeri damai sentosa.
Dalam pertemuan besar itu, si Cacing berpidato bahwa kini dia insyaf. Tidak ingin bermalas-malasan. Siapa yang malas tentunya dia akan tertinggal. Nah, semua kawan jadi saksi. Senang, berkaca-kaca, hati bernyanyi lihat Cacing tak malas lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar