Bahasa, Seni, dan Budaya

Senin, 09 November 2009

Topeng Sang Dermawan

Hari ini gelap melebihi gelapnya kemarin. Cahaya rebulan tak tampak di mata. Cuma rengek jangkrik mengelus daun telinga. Yang lain ogah menguak. Cibir mengiringi diri ke mana suka. Seakan mata hati nggak bisa menatap lebih jauh. Biarlah derita ini terpendam dalam jiwaku. Jangan diungkit barang yang telah terendam lama. Biar aku saja yang menderita. Jangan yang lain turut merasa. Cukup satu contoh menyibak nada, yang lain nggak usahlah.
Itulah renungan, pekikan hati, jerit batin seperti mutiara terpendam dari bocak cilik seperti aku. Merana, merintih, menangis sendiri. Tidak ada yang menemani, sebab sesepuh telah beranjak jauh yang tidak mungkin kembali lagi.
Topeng tatapan matanya hampa. Sepertinya telah sirna entah berapa lama. Duka lara kian menari mengajaknya goyang ikut irama alami. Mungkin sudah suratan, nggak boleh kita menolaknya. Batu ujian semakin runcing nan tajam mengoyak, melumat riangnya masa kecil. Semuanya tidak dihiraukan lagi. Yang paling penting, aku harus berkarya meskipun badai dan topan siap menerkam jiwa. Begitu tekadnya yang terekam dalam benaknya ketika ia masih esde dulu.
Hingar bingarnya suasana kota, jerit-jerit kecil teman sebaya, seakan belum mampu mengobati lukanya yang amat dalam. Bayangkanlah, masih imut-imut dia harus sudah membanting tulang, mencari sesuap nasi dari pagi hingga petang menyingkap bumi. Lagi pula, saat sekarang ini mencari kerja dalam usia muda tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Biar telah di depan mata, masih bisa luput dari genggaman. Jangankan mendekat, menyapa saja kerja itu masih enggan.
Untunglah Topeng masih ingat pesan si bapak. Berdoa dan berusaha niscaya rezeki itu akan datang juga. Benarlah adanya. Nggak lama setelah itu, Topeng jadilah penjaja koran dan makanan kecil. Digelutinya kerja yang tak seberapa itu. Terik mentari dan kucuran hujan jadilah santapan sehariannya. Gosongnya kulit tidaklah melunturkan semangat juangnya bak pahlawan Nusantara di medan laga, telah siap segalanya.
Hebat.....! Koceknya kini kian menggembung, namun ia tetap bermurah hati. Kawan lain juga ketiban rezeki.Ibarat makan durian, makannya berbagi searoma harum menyibak langit biru. Kawan sepermainan bisa turut berpesta meskipun hanya dengan lauk yang sangat sederhana. Anak-anak kampung Rambung Binjai dikumpulkannya di kediamannya sendiri. Semuanya dikasih makan, uang, pakaian untuk menopang hidup mereka, yang benar-benar mereka butuhkan.
Hari ke hari kebaikan Topeng menyibak jagad melukis alam. Nggak ada sedikit pun terbesit di hatinya rasa rugi dalam membantu teman senasib sependeritaan. Orang-orang kecil seperti dia seakan hendak menari dalam sebuah festival. Mereka diajar, dididiknya membuat pisang goreng , gurih nan mengulas rasa.
Duh, nyata benar kebaikannya. Rasa pisang goreng buatan Topeng memang lain dari yang lain, lain dari semua masakan. Pokoknya siiiiiiip deh. Kita pun belum pernah mencicipinya sendiri. Tetapi, bagi orang-orang yang pernah membeli dan memakan masakannya, mereka semua mengatakan sungguh nikmat rasanya. Wou......, membuat liurku menetes tiada batas. Tes.......tes.........tes....., mengalir bagai air hujan mengguyur bumi.
“ Bang Topeng , setelah usaha kecil abang berhasil seperti ini, apalagi yang akan abang lakukan ?” tanya bocah tetangga.
“ Masih banyak yang harus abang kerjakan. Satu di antaranya meringankan tetangga kita dalam bekarya dan menciptakan lapangan kerja baru. Lagi pula, sejak abang menjual makanan kecil dulu, sudah tertanam di hati ini untuk menjadi orang tua asuh.”
“ Apa nggak sebaiknya abang belikan dulu sebidang tanah dan membangun rumah di atasnya ?” tanya anak kecil lainnya.
“ Wah, kalau hal itu yang kita pikirkan dulu, tentu saja janji abang akan lama terlunasi.”
“ Janji apa itu, Bang ?” tanya anak-anak serempak.
“ Kata orang tua abang, nazar itu harus dilunasi. Kalau tidak, kita akan sengsara sendiri. Bila sudah dilunasi, yang lain itu akan mudah datang.,” ujarnya mantap.
“ Ou........ou........!” Si adik bengong sekaligus takjup dan bangga menyaksikan Bang Topeng yang dermawan.
Selang beberapa tahun kemudian, bumi basah sebasah-basahnya. Kodok-kodok beriang sorak. Burung camar melayang-layang di udara begitu senangnya. Rerumputan tidak kering lagi. Dedaunan menghijau mengulas senyum. Ya, senyum mereka begitu manis menggoda hati. Pepadian penuh berisi dan tidak pernah menangis kayak dulu lagi. Semua gembira membalut jiwa berhias senyum bidadari.
Bang Topeng kini telah makmur hidupnya. Ia nggak miskin kayak dulu. Rumahnya gedung besar, namun tetap biasa saja. Pemuda itu tetap rendah hati dan tidak pernah menyombongkan diri kepada siapa pun. Bahkan saat ini anak asuhnya semakin banyak saja. Ada yang tua dan ada pula yang masih muda sekali. Pokoknya yang nggak sanggup membiayai hidup, tentu dibantunya, boleh jadi ada yang dikerjakannya di tempat usaha kecilnya itu. Namun begitu, masih ada saja orang yang iri hati kepadanya.Entah mengapa bisa jadi begitu.
Malam itu saat orang lagi lelap-lelapnya, rumahnya digasak maling. Mereka mengambil barang berharga seperti kereta, perhiasan, dan peralatan elektronik. Rumahnya jadi acak-acakan, namun ia tetap tenang saja.
“ Bang Topeng, mengapa abang diam saja barangnya diambil orang ?” tanya warga yang masih muda darinya.
“ Biarlah, mungkin saja itu rezeki dia.”
“ Rezeki sih rezeki, kalau ngambil begitu kan itu namanya pencuri. Pencuri itu harus dihukum, nggak boleh kita diamkan saja,” jawab yang lain geram.
“ Sudahlah, biarkan saja, nanti juga kembali barangnya,” bujuknya pada pada adik-adik di kampung itu.
“ Nggak mungkin kembali, Bang, kalau tidak kita cari,” sergah yang lain.
“ Sudah, sudah, nggak usah dipikirkan, itu harta kan bukan milik kita, tetapi milik Allah. Kita hanya dikasih pinjam.Nah, kalau yang punya ambil, ya terima saja dengan lapang dada. Itu bukan hak kita. Sudahlah, nggak perlu dibesar-besarkan. Mari kita urus pekerjaan kita saja, yang begituan nggak usah. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah Yang Punya Kuasa. Ayo.........!” nasehatnya bijak.
Warga lain dibuatnya terbengong-bengong namun tidak bagi Topeng. Ia tetap tenang dan bersahaja sambil mengumbar senyum kehangatan.
Nah benar saja. Nggak berapa lama semua hartanya yang hilang itu kembali sendiri diantar sama yang ambil. Wou.........., masyarakat telah numplek ingin menghakimi sendiri, ingin menggebuki, memukuli hingga babak belur, namun dicegah Topeng.
“ Kita jangan main hakim sendiri, itu nggak bisa menyelesaikan masalah.Biar, biarkan dia ngomong sendiri. Apa kesalahannya, mengapa dia mengambilnya. Ayo, anak muda, bicaralah yang jujur, katakan ada apa ?” tanya Topeng pasti.
“ Maafkan saya,Tuan !”
“ Jangan panggil saya tuan, cukup panggil saja abang, biar lebih akrab,” pintanya.
“ Maafkan saya, Bang ! Saya telah mengambil harta abang.”
“ Mengapa kamu mengambilnya ?” desaknya.
“ Saya terpaksa,Bang. Saya kepepet, habis biaya hidup nggak cukup. Anak yang sekolah perlu biaya,Bang. Lagi pula sekarang lagi krisis ekonomi, Bang !”
Topeng cuma geleng-geleng. “ Untuk biayai anak bukan begitu caranya. Kamu harus kerja yang benar. Kerjanya harus halal, apalagi untuk membiayai hidup mereka. Nggak mungkinlah kita kasih makan dengan bara api yang menyala-nyala dan membakar perutnya dan perutmu sendiri.”
“ Habis, nggak mungkin ada yang mau menerima saya bekerja,Bang.”
Warga pada teriak mengejeknya. Mau ditolong nggak sudi. Hu......!
“ Ada, ada yang mau. Kamu ikut kerja saja di sini dengan mereka. Saudaramu yang lain pun akan menerimanya dengan senang hati. Lihat mereka. Semuanya juga orang yang susah dan dulu nggak punya kerja. Benar,kan ?” tanya Topeng sambil menatap sekelilingnya.
“ Ya, asal kerjanya yang benar, jujur, setiakawan, “ teriak mereka serempak.
“ Benar,Bang ? Topeng mengangguk. Makasih,Bang !”
Bahagia Topeng menyambut saudaranya yang telah insyaf. Bahagia........bahagia berbalut hati sang dermawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar