Bahasa, Seni, dan Budaya

Senin, 09 November 2009

Topeng Penyelamat Dusun

Awan di atas sana tampak begitu gelap. Semua tak tampak. Cuma bayang-bayang samar mengusik mata. Kalaupun ada cahaya, ya itu cuma kedipnya kunang-kunang. Bunyi jangkrik semakin mendirikan bulu kuduk. Seram dan sungguh menakutkan. Desisnya ular dan nyalaknya srigala di puncak bukit kian menggetarkan jiwa agar tak ke luar bilik. Semua berdiam diri, mananti dan menanti, sampai fajar kembali membuka mata.
Topeng terenyuh menyaksikan keadaan sekelilingnya. Dia bingung sekaligus gundah melihat kampungnya dari hari ke hari semakin terpuruk dalam kekeringan yang amat panjang. Kayaknya orang-orang di kampung itu sudah tak peduli lagi. Mereka asyik dengan diri sendiri, tak lagi memikirkan daerahnya yang kian tandus dan gersang. Nggak ada lagi yang mau memikirkan tanah yang mulai retak berbelah-belah. Nggak lagi mau memikirkan orang kecil bisa makan atau tidak. Nggak ada yang terbuka matanya untuk menyelamatkan dusun dari kekeringan yang amat panjang. Sungguh mengerikan dusun itu. Jangankan dilalui, dijalani saja kayaknya sudah tidak memungkinkan lagi, hal itu yang tengah dipikirkannya
Suatu hari si Topeng berusaha mencari akal. Dia putar otaknya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ibarat pepatah kaki naik kepala turun. Harus bekerja keras dan tidak tanggung-tanggung jika ingin dusunnya terselamatkan dari bahaya yang lagi mengancam. Orang-orang akan mati kelaparan, piaraan di kandang akan mati kehausan tiada banding, dan tidak bisa hidup layak seperti saudaranya yang lain di lain dusun.
Akal baiknya pun muncul. Dia langkahkan kedua tungkainya menyusuri dusun sepi. Tujuannya juga belum pasti benar. Hanya hasrat yang membuatnya begitu. Si Topeng tetap mengayunkan langkah meskipun peluh telah membanjiri sekujur tubuhnya yang mulai kering. Dengus nafasnya yang kian kencang tidak dihiraukannya lagi. Jauh benar jalan yang ditempuhnya. Sudah tidak terhitung banyaknya langkah yang telah dijejakkan ke bumi. Yang pasti dia harus bermalam-malam di jalan dusunnya, sampai-sampai si suami yang ditinggalkannya mencari-cari. Tiga hari kemudian barulah ia kembali lagi ke bilik kecilnya.
“ Eh, Emak, dari mana saja, kok sudah tiga hari tak di rumah ?” tanya suaminya sedikit jengkel.
“ Aku tengah mencari sesuatu yang dapat menyelamatkan dusun ini dari bahaya yang berkepanjangan,” jawab Topeng enteng.
“ Mak, mengapa pula kau yang sibuk, ha....! Orang di sini saja tidak ada yang ambil peduli, e........malah dirimu cari penyakit. Tugas istri itu ngurus rumah, bukan malah meninggalkan kerjaan pada suami, “ nasehat si suami pula.
“ Emak tahu tugas. Nggak perlu dikasih tahu.”
“ E..., Mak, nggak usah mikir yang lain lha, ntar nanti sakit, mau ke mana kita cari obat, sementara uang kita nggak ada ?”
“ Lebih baik aku yang sakit ketimbang orang lain yang menderita,” ujar Topeng mantap seraya meninggalkan suaminya.
Pagi itu masih subuh benar. Sinar mentari baru sembunyi-sembunyi menampakkan dirinya. Belum terang-terangan seperti kita yang berbicara hari ini. Cahayanya masih samar-samar menembus cakrawala, cuma kokok ayam jantan yang terdengar bersahutan. Pagi seperti itulah si Topeng bergerak melangkah menggapai cita-citanya sembari menenteng sebuah pacul kecil miliknya sendiri.
Topeng terus berupaya menenangkan hatinya. Tekadnya telah bulat benar. Ia nggak peduli dengan cemoohan orang. Meskipun badai besar siap menghadang perjuangannya, wanita miskin itu tetap bersikeras menyelamatkan dusunnya tempat bernaung. Langkahnya pasti dan penuh perhitungan. Kini pun tujuan perjalanannya itu telah jelas. Lihatlah, dia tapaki lereng bukit perawan yang tinggi lagi terjal itu. Sendirian dan tiada yang menemaninya kecuali doa yang kerap diucapkannya setiap dia melangkah.
Berminggu-minggu ia menapaki jalan di susunnya, akhirnya Topeng menemukan sesuatu yang menjadi tujuan dan impian lamanya. Di atas bukit cadas dan keras itu dirinya menemukan setitik harapan masa depan. Matanya berkaca-kaca, jiwanya beriang sukma, dan nafasnya rada teratur kini. Seakan ia tidak percaya pada apa yang ditemukannya.
“Alhamdulillah ya Allah, Engkau beri secercah harapan. Mudah-mudahan mata air yang kutemukan ini dapat mengobati luka saudaraku yang lain. Aku bersyukur kepada-Mu Tuhan atas semua nikmat ini !” ucap Topeng penuh haru.
Hari itu mulailah dia memahat batu cadas untuk mengalirkan air dari mata air yang ditemukannya. Kerja keras yang banyak mengeluarkan tenaga itu dipautnya siang dan malam. Topeng tidak memikirkan peluh yang telah membanjiri sekujur tubuhnya. Sehari, dua hari, bahkan seminggu telah dilaluinya, tampaklah otot-otot mulai menghiasi dirinya sendiri. Ototnya besar-besar melebihi besarnya otot seorang lelaki tulen. Bangga dan dia semakin bangga dengan keadaan dirinya menebas cadas keras selebar 50 cm dan ke dalaman semeter itu. Kerja yang ditekuninya memakan waktu yang cukup lama. Untuk membuat lubang sedalam semeter saja, ia menghabiskan waktu dua minggu.
Kejadian hari-hari pertama dia menggali batu cadas diceritakanlah kepada suami tercinta. Topeng senang sekali menceritakannya semua, namun suami tercinta tidaklah menyahutinya, bahkan seakan mencemoohkan, mencibirkan, mengejek-ejek, mengatakan yang bukan-bukan.
“ Mak, apakah kamu sudah gila ? Masak batu cadas begitu keras dipahat ? Apa nggak ada kerja lain ? Kalau aku, mah........ tak uuk lah, lebih baik aku cari kerja yang lain saja daripada mencelakakan diri sendiri. Sudahlah, Mak, tinggalkan saja. Nggak mungkin kamu bisa mengerjakannya seorang diri !”ujar suaminya panjang lebar.
“ Ya sudah, kalau Bapak tak mau membantu, biar aku saja sendiri, “ balas Topeng enteng dan tidak menghiraukan kata-kata suaminya.
“ Itu kerja orang gila.”
“ Biarlah aku gila !” kata Topeng sambil berlalu meninggalkan keluarganya.
“ Ee........, Emak mau ke mana ?” tanya sang suami ingin tahu.
Topeng terus berjalan sendiri. Teman-temannya yang lain enggan ikut membantu. Mereka takut karena tidaklah mungkin seorang wanita desa sanggup menebas batu cadas, terlebih ingin mengalirkannya sejauh jalan yang ditempuh. Dia tetap tegar menjalaninya hanya demi kelangsungan hidup saudaranya. Begitulah hari-hari yang dilaluinya. Dia belum mau berhenti sebelum niatnya itu terwujudkan. Sampai akhirnya galian seperti parit kecil itu telah terbentuk sepanjang lima belas meter, namun airnya belumlah dialirkannya, masih tetap dibiarkannya di puncak bukit. Biar penuh dulu, pikirnya.
Hari-hari berikutnya, ia coba membujuk wanita-wanita yang ada di dusunnya. Topeng menginginkan sesuatu dari mereka. Wanita nan perkasa ini berharap warga di dusunnya itu merelakan semeter dari tanah yang dimiliki dapat digunakan untuk jalan air.
“ Tidak, aku tidak rela. Lagi pula, ngapain kamu buat seperti itu, itu mustahil bisa terlaksana !” kata seorang ibu.
“ Benar, kami tidak menginginkannya. Jangankan kamu, pemerintah daerah saja masih enggan ngurusin yang demikian. E.... malah kamu mau cari muka, dibayar berapa kamu dari kerja gilamu itu ?” ledek seorang tetangganya yang suka usil.
“ Kalaupun kami mau, berapa sanggup kamu membayarnya ?” ledek yang lain seakan merendahkan diri si Topeng.
“ Yang kubeli cuma satu meter selebar dan sepanjang tanah ibu-ibu yang di depan pinggir jalan ini,”
“ Sepanjang jalan desa ini ?! “ kata yang lain nggak percaya.
“ Ya, aku akan bayar dengan uang hasil menjual tanah yang kumiliki itu. Semuanya akan kujual untuk menutupinya. Bila perlu atau kalau juga kurang nantinya, rumahku pun akan kulego !” jawab Topeng mantap.
“ Nggak usah percaya omongannya. Mana mungkin orang miskin kayak dia bisa melunasinya. Kalau pun mungkin, ya kayak rezeki yang tiba-tiba turun dari langit. Rezeki nomplok yang mungkin tidak semua orang bisa mendapatkannya. Enak saja !” sindir yang suka usil dan kerap bikin keributan.
Si Topeng nggak banyak ngomong. Dia berlalu begitu saja tanpa ingin melanjutkan perdebatan. Kalau dilanjutkan, bisa-bisa runyam semua, berantakan, berserakan yang tak berujung pangkal. Otomatis, semua usaha yang telah ditempuhnya jadi sia-sia belaka. Wanita perkasa itu pun tak ingin hal buruk terjadi di depan matanya. Yang penting, aku tidak mengganggu kesenangan mereka. Aku hanya ingin melepaskan derita penduduk dusunku, pikirnya suatu kali.
Benar juga kata hatinya. Beberapa bulan setelah itu, langit berubah warna. Terang dan tidak gelap lagi kayak dulu. Angin pun melunakkan hatinya. Semilirnya membawa aroma penyejuk jiwa. Wanginya bukan main. Tiupannya seakan mengajak kita untuk berbagi duka, berbagi rasa, dan membangkitkan gairah hidup. Alamak...............!!!
“ Woi.................., woi..........., ada air........., ada air............., lihat sini !” teriak seorang wanita yang tengah melintasi jalan dusun.
“ Alhamdulillah, kita nggak akan kehausan lagi !”
“ Hai, kita akan bisa menanam lagi. Kita akan ........akan..........!”
“ Pokoknya, kita akan dapat mengolah tanah kita lagi. Tanah di sini tidak akan pernah kering dan retak-retak kayak dulu. Inilah berkat Yang Maha Kuasa !” puji orang tukang usil sejagad raya.
Tiba-tiba...........
“ Ya, memang berkat rahmat Tuhan. Tanpa kekuasaan, keizinan, dan kehendak-Nya mustahil ini semua bisa terjadi. Kita dapat bebas dari kesengsaraan, “ kata Topeng dari balik batu cadas di kaki bukit dekat saluran air yang baru dibuatnya.
Orang-orang yang berkerumun di situ pada malu. Mereka diam tanpa suara. Tak secuil kata pun yang keluar dari mulut warga dusun. Bai yang lelaki maupun wanitanya.
“ Lho, kok diam semua ?” kata Topeng
“ Ah, enggak gitu, Peng. Kami malu pada diri sendiri, kenapa kemarin itu kami mencela dan mengejekmu. Kalau tahu begini, kami mau kok, ya nggak Saudara-saudara ? Sekarang pun kami merelakannya !” sahut di antara mereka.
“ Dulu sudah kukatakan, kalau bukan kita yang mengubah nasib ini, siapa lagi. Betul kan ibu-ibu ? “ ucap Topeng mantap.
Seluruh warga mengangguk mengiakan pendapat Topeng. Mulailah pada hari itu mereka membantu menyelesaikan tugas Topeng. Tanpa diminta, tanpa diberi imbalan, masyarakat daerah terpelosok itu pun merelakan tanahnya untuk dibuat saluran air. Karena ramainya yang membantu, kerja itu cepat terselesaikan. Alhasil, semuanya hidup sejahtera, bahagia dengan tanaman yang menghijau alam.
Peristiwa itu tidaklah cukup sampai di situ. Seiring dengan pergantian waktu, Topeng buat kejutan lagi. Dia tidak ignin menyia-nyiakan hidupnya saat ini. Kemiskinan bukanlah menjadi penghalang baginya. Tidak sekolahnya dia waktu itu, tidaklah menghambat seseorang untuk maju, asalkan ada kemauan pasti jalan akan terbuka lebar. Lahannya yang sempit dan kecil dijadikannya areal pengembangbiakan ikan mujair dan lele dumbo. Ibarat sudah kepalang basah, ya sekalian mandi.
Ternyata usaha kecilnya itu berkembang pesat. Cara kerjanya menjadi perhatian orang. Ketekunannya pun dipuji selangit. Termasuk suaminya sendiri kini ikut mendukung usaha kecilnya.
Berita keberhasilan Topeng mengalir sampai ke berbagai dusun yang jauh. Bahkan pemimpin masyarakat pun ikut mengunjungi dusunnya. Mereka banyak membantu masyarakat kecil yang kekurangan. Orang-orang dusun banyak yang dibekali modal untuk mengembangkan usaha mereka. Akhirnya selamatlah dusun itu dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar