Bahasa, Seni, dan Budaya

Rabu, 25 November 2009

Sendiri

Hari ini
aku sendiri
dalam sunyi sepi
tiada menemani
kecuali kita suci

Dalam kesendirian
pikiran tak karuan
menerawang jauh ke pedalaman
teringat bapak di samping Tuhan

Di sini
jelas lagi pasti
kisah kecil dulu mengukir diri
bahagia selimuti hari-hari
jadikan jiwa senangkan diri

Itulah hari-hariku
sendiri tanpa bapakku
kumau
cita bapakku menjelma dalam hariku

Lhokseumawe, 19 Agustus 2009
11.00

Hari Bahagiaku

Hari ini ....
hujan enggan mengguyur hidupku
berbunga kalbuku
tanpa malu-malu

Seketika....
langkahku bersorak
harapan menjelma
menatap insan-insan bermakna
buatku
bahagia tiada bilang rasa

Kusemai cita dan cintaku
anak-anakku beriang sukma
menggali ilmu penuh tawa
bersamaku meniti jalan
jalan hidupku sejak dulu

Duh...
polosnya kumbang melati
jiwaku dipuji
jiwaku dinanti
tiap hari
sejak pagi sampai sore hari

Bahagianya aku
girangnya aku
bisa berbagi ilmu
di tempat kerjaku
bersama generasi bangsaku

Betapa girang hatiku
betapa senang perasaanku
ketika kutahu
semua kataku
semua langkahku
digugu dan ditiru
demi menghias relung hidup mereka
tanpa takut
tanpa cela
melukis alam penuh makna
demi cita-cita
mereka diterima
mereka bahagia
bersamaku dlam bahtera ilmu

Lhokseumawe, 20 Agustus 2009
10.00

Hujan

Menggelegar gemuruh mengiring kehadiranmu
gelap menggumpal awan hitam
pecah berkeping dirimu
jatuh....jatuh....membumi

Tik tik tes tes ber....ber...
basah....basah... kuyub sekuyub-kuyubnya
gembira raga melonjak ria
kodok terbahak ngakak
cacing-cacing menari
rerumputan dansa
pepohonan berseri
menyambut kedatanganmu

Hujan...
kaulah sahabatku, kaulah teman sejatiku
kaulah saudaraku sesetia hari-hariku
tanpamu
hidup ini tak berarti

Lhokseumawe, 20 Agustus 2009
12.00

Senin, 09 November 2009

Topeng Penyelamat Dusun

Awan di atas sana tampak begitu gelap. Semua tak tampak. Cuma bayang-bayang samar mengusik mata. Kalaupun ada cahaya, ya itu cuma kedipnya kunang-kunang. Bunyi jangkrik semakin mendirikan bulu kuduk. Seram dan sungguh menakutkan. Desisnya ular dan nyalaknya srigala di puncak bukit kian menggetarkan jiwa agar tak ke luar bilik. Semua berdiam diri, mananti dan menanti, sampai fajar kembali membuka mata.
Topeng terenyuh menyaksikan keadaan sekelilingnya. Dia bingung sekaligus gundah melihat kampungnya dari hari ke hari semakin terpuruk dalam kekeringan yang amat panjang. Kayaknya orang-orang di kampung itu sudah tak peduli lagi. Mereka asyik dengan diri sendiri, tak lagi memikirkan daerahnya yang kian tandus dan gersang. Nggak ada lagi yang mau memikirkan tanah yang mulai retak berbelah-belah. Nggak lagi mau memikirkan orang kecil bisa makan atau tidak. Nggak ada yang terbuka matanya untuk menyelamatkan dusun dari kekeringan yang amat panjang. Sungguh mengerikan dusun itu. Jangankan dilalui, dijalani saja kayaknya sudah tidak memungkinkan lagi, hal itu yang tengah dipikirkannya
Suatu hari si Topeng berusaha mencari akal. Dia putar otaknya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ibarat pepatah kaki naik kepala turun. Harus bekerja keras dan tidak tanggung-tanggung jika ingin dusunnya terselamatkan dari bahaya yang lagi mengancam. Orang-orang akan mati kelaparan, piaraan di kandang akan mati kehausan tiada banding, dan tidak bisa hidup layak seperti saudaranya yang lain di lain dusun.
Akal baiknya pun muncul. Dia langkahkan kedua tungkainya menyusuri dusun sepi. Tujuannya juga belum pasti benar. Hanya hasrat yang membuatnya begitu. Si Topeng tetap mengayunkan langkah meskipun peluh telah membanjiri sekujur tubuhnya yang mulai kering. Dengus nafasnya yang kian kencang tidak dihiraukannya lagi. Jauh benar jalan yang ditempuhnya. Sudah tidak terhitung banyaknya langkah yang telah dijejakkan ke bumi. Yang pasti dia harus bermalam-malam di jalan dusunnya, sampai-sampai si suami yang ditinggalkannya mencari-cari. Tiga hari kemudian barulah ia kembali lagi ke bilik kecilnya.
“ Eh, Emak, dari mana saja, kok sudah tiga hari tak di rumah ?” tanya suaminya sedikit jengkel.
“ Aku tengah mencari sesuatu yang dapat menyelamatkan dusun ini dari bahaya yang berkepanjangan,” jawab Topeng enteng.
“ Mak, mengapa pula kau yang sibuk, ha....! Orang di sini saja tidak ada yang ambil peduli, e........malah dirimu cari penyakit. Tugas istri itu ngurus rumah, bukan malah meninggalkan kerjaan pada suami, “ nasehat si suami pula.
“ Emak tahu tugas. Nggak perlu dikasih tahu.”
“ E..., Mak, nggak usah mikir yang lain lha, ntar nanti sakit, mau ke mana kita cari obat, sementara uang kita nggak ada ?”
“ Lebih baik aku yang sakit ketimbang orang lain yang menderita,” ujar Topeng mantap seraya meninggalkan suaminya.
Pagi itu masih subuh benar. Sinar mentari baru sembunyi-sembunyi menampakkan dirinya. Belum terang-terangan seperti kita yang berbicara hari ini. Cahayanya masih samar-samar menembus cakrawala, cuma kokok ayam jantan yang terdengar bersahutan. Pagi seperti itulah si Topeng bergerak melangkah menggapai cita-citanya sembari menenteng sebuah pacul kecil miliknya sendiri.
Topeng terus berupaya menenangkan hatinya. Tekadnya telah bulat benar. Ia nggak peduli dengan cemoohan orang. Meskipun badai besar siap menghadang perjuangannya, wanita miskin itu tetap bersikeras menyelamatkan dusunnya tempat bernaung. Langkahnya pasti dan penuh perhitungan. Kini pun tujuan perjalanannya itu telah jelas. Lihatlah, dia tapaki lereng bukit perawan yang tinggi lagi terjal itu. Sendirian dan tiada yang menemaninya kecuali doa yang kerap diucapkannya setiap dia melangkah.
Berminggu-minggu ia menapaki jalan di susunnya, akhirnya Topeng menemukan sesuatu yang menjadi tujuan dan impian lamanya. Di atas bukit cadas dan keras itu dirinya menemukan setitik harapan masa depan. Matanya berkaca-kaca, jiwanya beriang sukma, dan nafasnya rada teratur kini. Seakan ia tidak percaya pada apa yang ditemukannya.
“Alhamdulillah ya Allah, Engkau beri secercah harapan. Mudah-mudahan mata air yang kutemukan ini dapat mengobati luka saudaraku yang lain. Aku bersyukur kepada-Mu Tuhan atas semua nikmat ini !” ucap Topeng penuh haru.
Hari itu mulailah dia memahat batu cadas untuk mengalirkan air dari mata air yang ditemukannya. Kerja keras yang banyak mengeluarkan tenaga itu dipautnya siang dan malam. Topeng tidak memikirkan peluh yang telah membanjiri sekujur tubuhnya. Sehari, dua hari, bahkan seminggu telah dilaluinya, tampaklah otot-otot mulai menghiasi dirinya sendiri. Ototnya besar-besar melebihi besarnya otot seorang lelaki tulen. Bangga dan dia semakin bangga dengan keadaan dirinya menebas cadas keras selebar 50 cm dan ke dalaman semeter itu. Kerja yang ditekuninya memakan waktu yang cukup lama. Untuk membuat lubang sedalam semeter saja, ia menghabiskan waktu dua minggu.
Kejadian hari-hari pertama dia menggali batu cadas diceritakanlah kepada suami tercinta. Topeng senang sekali menceritakannya semua, namun suami tercinta tidaklah menyahutinya, bahkan seakan mencemoohkan, mencibirkan, mengejek-ejek, mengatakan yang bukan-bukan.
“ Mak, apakah kamu sudah gila ? Masak batu cadas begitu keras dipahat ? Apa nggak ada kerja lain ? Kalau aku, mah........ tak uuk lah, lebih baik aku cari kerja yang lain saja daripada mencelakakan diri sendiri. Sudahlah, Mak, tinggalkan saja. Nggak mungkin kamu bisa mengerjakannya seorang diri !”ujar suaminya panjang lebar.
“ Ya sudah, kalau Bapak tak mau membantu, biar aku saja sendiri, “ balas Topeng enteng dan tidak menghiraukan kata-kata suaminya.
“ Itu kerja orang gila.”
“ Biarlah aku gila !” kata Topeng sambil berlalu meninggalkan keluarganya.
“ Ee........, Emak mau ke mana ?” tanya sang suami ingin tahu.
Topeng terus berjalan sendiri. Teman-temannya yang lain enggan ikut membantu. Mereka takut karena tidaklah mungkin seorang wanita desa sanggup menebas batu cadas, terlebih ingin mengalirkannya sejauh jalan yang ditempuh. Dia tetap tegar menjalaninya hanya demi kelangsungan hidup saudaranya. Begitulah hari-hari yang dilaluinya. Dia belum mau berhenti sebelum niatnya itu terwujudkan. Sampai akhirnya galian seperti parit kecil itu telah terbentuk sepanjang lima belas meter, namun airnya belumlah dialirkannya, masih tetap dibiarkannya di puncak bukit. Biar penuh dulu, pikirnya.
Hari-hari berikutnya, ia coba membujuk wanita-wanita yang ada di dusunnya. Topeng menginginkan sesuatu dari mereka. Wanita nan perkasa ini berharap warga di dusunnya itu merelakan semeter dari tanah yang dimiliki dapat digunakan untuk jalan air.
“ Tidak, aku tidak rela. Lagi pula, ngapain kamu buat seperti itu, itu mustahil bisa terlaksana !” kata seorang ibu.
“ Benar, kami tidak menginginkannya. Jangankan kamu, pemerintah daerah saja masih enggan ngurusin yang demikian. E.... malah kamu mau cari muka, dibayar berapa kamu dari kerja gilamu itu ?” ledek seorang tetangganya yang suka usil.
“ Kalaupun kami mau, berapa sanggup kamu membayarnya ?” ledek yang lain seakan merendahkan diri si Topeng.
“ Yang kubeli cuma satu meter selebar dan sepanjang tanah ibu-ibu yang di depan pinggir jalan ini,”
“ Sepanjang jalan desa ini ?! “ kata yang lain nggak percaya.
“ Ya, aku akan bayar dengan uang hasil menjual tanah yang kumiliki itu. Semuanya akan kujual untuk menutupinya. Bila perlu atau kalau juga kurang nantinya, rumahku pun akan kulego !” jawab Topeng mantap.
“ Nggak usah percaya omongannya. Mana mungkin orang miskin kayak dia bisa melunasinya. Kalau pun mungkin, ya kayak rezeki yang tiba-tiba turun dari langit. Rezeki nomplok yang mungkin tidak semua orang bisa mendapatkannya. Enak saja !” sindir yang suka usil dan kerap bikin keributan.
Si Topeng nggak banyak ngomong. Dia berlalu begitu saja tanpa ingin melanjutkan perdebatan. Kalau dilanjutkan, bisa-bisa runyam semua, berantakan, berserakan yang tak berujung pangkal. Otomatis, semua usaha yang telah ditempuhnya jadi sia-sia belaka. Wanita perkasa itu pun tak ingin hal buruk terjadi di depan matanya. Yang penting, aku tidak mengganggu kesenangan mereka. Aku hanya ingin melepaskan derita penduduk dusunku, pikirnya suatu kali.
Benar juga kata hatinya. Beberapa bulan setelah itu, langit berubah warna. Terang dan tidak gelap lagi kayak dulu. Angin pun melunakkan hatinya. Semilirnya membawa aroma penyejuk jiwa. Wanginya bukan main. Tiupannya seakan mengajak kita untuk berbagi duka, berbagi rasa, dan membangkitkan gairah hidup. Alamak...............!!!
“ Woi.................., woi..........., ada air........., ada air............., lihat sini !” teriak seorang wanita yang tengah melintasi jalan dusun.
“ Alhamdulillah, kita nggak akan kehausan lagi !”
“ Hai, kita akan bisa menanam lagi. Kita akan ........akan..........!”
“ Pokoknya, kita akan dapat mengolah tanah kita lagi. Tanah di sini tidak akan pernah kering dan retak-retak kayak dulu. Inilah berkat Yang Maha Kuasa !” puji orang tukang usil sejagad raya.
Tiba-tiba...........
“ Ya, memang berkat rahmat Tuhan. Tanpa kekuasaan, keizinan, dan kehendak-Nya mustahil ini semua bisa terjadi. Kita dapat bebas dari kesengsaraan, “ kata Topeng dari balik batu cadas di kaki bukit dekat saluran air yang baru dibuatnya.
Orang-orang yang berkerumun di situ pada malu. Mereka diam tanpa suara. Tak secuil kata pun yang keluar dari mulut warga dusun. Bai yang lelaki maupun wanitanya.
“ Lho, kok diam semua ?” kata Topeng
“ Ah, enggak gitu, Peng. Kami malu pada diri sendiri, kenapa kemarin itu kami mencela dan mengejekmu. Kalau tahu begini, kami mau kok, ya nggak Saudara-saudara ? Sekarang pun kami merelakannya !” sahut di antara mereka.
“ Dulu sudah kukatakan, kalau bukan kita yang mengubah nasib ini, siapa lagi. Betul kan ibu-ibu ? “ ucap Topeng mantap.
Seluruh warga mengangguk mengiakan pendapat Topeng. Mulailah pada hari itu mereka membantu menyelesaikan tugas Topeng. Tanpa diminta, tanpa diberi imbalan, masyarakat daerah terpelosok itu pun merelakan tanahnya untuk dibuat saluran air. Karena ramainya yang membantu, kerja itu cepat terselesaikan. Alhasil, semuanya hidup sejahtera, bahagia dengan tanaman yang menghijau alam.
Peristiwa itu tidaklah cukup sampai di situ. Seiring dengan pergantian waktu, Topeng buat kejutan lagi. Dia tidak ignin menyia-nyiakan hidupnya saat ini. Kemiskinan bukanlah menjadi penghalang baginya. Tidak sekolahnya dia waktu itu, tidaklah menghambat seseorang untuk maju, asalkan ada kemauan pasti jalan akan terbuka lebar. Lahannya yang sempit dan kecil dijadikannya areal pengembangbiakan ikan mujair dan lele dumbo. Ibarat sudah kepalang basah, ya sekalian mandi.
Ternyata usaha kecilnya itu berkembang pesat. Cara kerjanya menjadi perhatian orang. Ketekunannya pun dipuji selangit. Termasuk suaminya sendiri kini ikut mendukung usaha kecilnya.
Berita keberhasilan Topeng mengalir sampai ke berbagai dusun yang jauh. Bahkan pemimpin masyarakat pun ikut mengunjungi dusunnya. Mereka banyak membantu masyarakat kecil yang kekurangan. Orang-orang dusun banyak yang dibekali modal untuk mengembangkan usaha mereka. Akhirnya selamatlah dusun itu dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan.

Topeng Sang Dermawan

Hari ini gelap melebihi gelapnya kemarin. Cahaya rebulan tak tampak di mata. Cuma rengek jangkrik mengelus daun telinga. Yang lain ogah menguak. Cibir mengiringi diri ke mana suka. Seakan mata hati nggak bisa menatap lebih jauh. Biarlah derita ini terpendam dalam jiwaku. Jangan diungkit barang yang telah terendam lama. Biar aku saja yang menderita. Jangan yang lain turut merasa. Cukup satu contoh menyibak nada, yang lain nggak usahlah.
Itulah renungan, pekikan hati, jerit batin seperti mutiara terpendam dari bocak cilik seperti aku. Merana, merintih, menangis sendiri. Tidak ada yang menemani, sebab sesepuh telah beranjak jauh yang tidak mungkin kembali lagi.
Topeng tatapan matanya hampa. Sepertinya telah sirna entah berapa lama. Duka lara kian menari mengajaknya goyang ikut irama alami. Mungkin sudah suratan, nggak boleh kita menolaknya. Batu ujian semakin runcing nan tajam mengoyak, melumat riangnya masa kecil. Semuanya tidak dihiraukan lagi. Yang paling penting, aku harus berkarya meskipun badai dan topan siap menerkam jiwa. Begitu tekadnya yang terekam dalam benaknya ketika ia masih esde dulu.
Hingar bingarnya suasana kota, jerit-jerit kecil teman sebaya, seakan belum mampu mengobati lukanya yang amat dalam. Bayangkanlah, masih imut-imut dia harus sudah membanting tulang, mencari sesuap nasi dari pagi hingga petang menyingkap bumi. Lagi pula, saat sekarang ini mencari kerja dalam usia muda tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Biar telah di depan mata, masih bisa luput dari genggaman. Jangankan mendekat, menyapa saja kerja itu masih enggan.
Untunglah Topeng masih ingat pesan si bapak. Berdoa dan berusaha niscaya rezeki itu akan datang juga. Benarlah adanya. Nggak lama setelah itu, Topeng jadilah penjaja koran dan makanan kecil. Digelutinya kerja yang tak seberapa itu. Terik mentari dan kucuran hujan jadilah santapan sehariannya. Gosongnya kulit tidaklah melunturkan semangat juangnya bak pahlawan Nusantara di medan laga, telah siap segalanya.
Hebat.....! Koceknya kini kian menggembung, namun ia tetap bermurah hati. Kawan lain juga ketiban rezeki.Ibarat makan durian, makannya berbagi searoma harum menyibak langit biru. Kawan sepermainan bisa turut berpesta meskipun hanya dengan lauk yang sangat sederhana. Anak-anak kampung Rambung Binjai dikumpulkannya di kediamannya sendiri. Semuanya dikasih makan, uang, pakaian untuk menopang hidup mereka, yang benar-benar mereka butuhkan.
Hari ke hari kebaikan Topeng menyibak jagad melukis alam. Nggak ada sedikit pun terbesit di hatinya rasa rugi dalam membantu teman senasib sependeritaan. Orang-orang kecil seperti dia seakan hendak menari dalam sebuah festival. Mereka diajar, dididiknya membuat pisang goreng , gurih nan mengulas rasa.
Duh, nyata benar kebaikannya. Rasa pisang goreng buatan Topeng memang lain dari yang lain, lain dari semua masakan. Pokoknya siiiiiiip deh. Kita pun belum pernah mencicipinya sendiri. Tetapi, bagi orang-orang yang pernah membeli dan memakan masakannya, mereka semua mengatakan sungguh nikmat rasanya. Wou......, membuat liurku menetes tiada batas. Tes.......tes.........tes....., mengalir bagai air hujan mengguyur bumi.
“ Bang Topeng , setelah usaha kecil abang berhasil seperti ini, apalagi yang akan abang lakukan ?” tanya bocah tetangga.
“ Masih banyak yang harus abang kerjakan. Satu di antaranya meringankan tetangga kita dalam bekarya dan menciptakan lapangan kerja baru. Lagi pula, sejak abang menjual makanan kecil dulu, sudah tertanam di hati ini untuk menjadi orang tua asuh.”
“ Apa nggak sebaiknya abang belikan dulu sebidang tanah dan membangun rumah di atasnya ?” tanya anak kecil lainnya.
“ Wah, kalau hal itu yang kita pikirkan dulu, tentu saja janji abang akan lama terlunasi.”
“ Janji apa itu, Bang ?” tanya anak-anak serempak.
“ Kata orang tua abang, nazar itu harus dilunasi. Kalau tidak, kita akan sengsara sendiri. Bila sudah dilunasi, yang lain itu akan mudah datang.,” ujarnya mantap.
“ Ou........ou........!” Si adik bengong sekaligus takjup dan bangga menyaksikan Bang Topeng yang dermawan.
Selang beberapa tahun kemudian, bumi basah sebasah-basahnya. Kodok-kodok beriang sorak. Burung camar melayang-layang di udara begitu senangnya. Rerumputan tidak kering lagi. Dedaunan menghijau mengulas senyum. Ya, senyum mereka begitu manis menggoda hati. Pepadian penuh berisi dan tidak pernah menangis kayak dulu lagi. Semua gembira membalut jiwa berhias senyum bidadari.
Bang Topeng kini telah makmur hidupnya. Ia nggak miskin kayak dulu. Rumahnya gedung besar, namun tetap biasa saja. Pemuda itu tetap rendah hati dan tidak pernah menyombongkan diri kepada siapa pun. Bahkan saat ini anak asuhnya semakin banyak saja. Ada yang tua dan ada pula yang masih muda sekali. Pokoknya yang nggak sanggup membiayai hidup, tentu dibantunya, boleh jadi ada yang dikerjakannya di tempat usaha kecilnya itu. Namun begitu, masih ada saja orang yang iri hati kepadanya.Entah mengapa bisa jadi begitu.
Malam itu saat orang lagi lelap-lelapnya, rumahnya digasak maling. Mereka mengambil barang berharga seperti kereta, perhiasan, dan peralatan elektronik. Rumahnya jadi acak-acakan, namun ia tetap tenang saja.
“ Bang Topeng, mengapa abang diam saja barangnya diambil orang ?” tanya warga yang masih muda darinya.
“ Biarlah, mungkin saja itu rezeki dia.”
“ Rezeki sih rezeki, kalau ngambil begitu kan itu namanya pencuri. Pencuri itu harus dihukum, nggak boleh kita diamkan saja,” jawab yang lain geram.
“ Sudahlah, biarkan saja, nanti juga kembali barangnya,” bujuknya pada pada adik-adik di kampung itu.
“ Nggak mungkin kembali, Bang, kalau tidak kita cari,” sergah yang lain.
“ Sudah, sudah, nggak usah dipikirkan, itu harta kan bukan milik kita, tetapi milik Allah. Kita hanya dikasih pinjam.Nah, kalau yang punya ambil, ya terima saja dengan lapang dada. Itu bukan hak kita. Sudahlah, nggak perlu dibesar-besarkan. Mari kita urus pekerjaan kita saja, yang begituan nggak usah. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah Yang Punya Kuasa. Ayo.........!” nasehatnya bijak.
Warga lain dibuatnya terbengong-bengong namun tidak bagi Topeng. Ia tetap tenang dan bersahaja sambil mengumbar senyum kehangatan.
Nah benar saja. Nggak berapa lama semua hartanya yang hilang itu kembali sendiri diantar sama yang ambil. Wou.........., masyarakat telah numplek ingin menghakimi sendiri, ingin menggebuki, memukuli hingga babak belur, namun dicegah Topeng.
“ Kita jangan main hakim sendiri, itu nggak bisa menyelesaikan masalah.Biar, biarkan dia ngomong sendiri. Apa kesalahannya, mengapa dia mengambilnya. Ayo, anak muda, bicaralah yang jujur, katakan ada apa ?” tanya Topeng pasti.
“ Maafkan saya,Tuan !”
“ Jangan panggil saya tuan, cukup panggil saja abang, biar lebih akrab,” pintanya.
“ Maafkan saya, Bang ! Saya telah mengambil harta abang.”
“ Mengapa kamu mengambilnya ?” desaknya.
“ Saya terpaksa,Bang. Saya kepepet, habis biaya hidup nggak cukup. Anak yang sekolah perlu biaya,Bang. Lagi pula sekarang lagi krisis ekonomi, Bang !”
Topeng cuma geleng-geleng. “ Untuk biayai anak bukan begitu caranya. Kamu harus kerja yang benar. Kerjanya harus halal, apalagi untuk membiayai hidup mereka. Nggak mungkinlah kita kasih makan dengan bara api yang menyala-nyala dan membakar perutnya dan perutmu sendiri.”
“ Habis, nggak mungkin ada yang mau menerima saya bekerja,Bang.”
Warga pada teriak mengejeknya. Mau ditolong nggak sudi. Hu......!
“ Ada, ada yang mau. Kamu ikut kerja saja di sini dengan mereka. Saudaramu yang lain pun akan menerimanya dengan senang hati. Lihat mereka. Semuanya juga orang yang susah dan dulu nggak punya kerja. Benar,kan ?” tanya Topeng sambil menatap sekelilingnya.
“ Ya, asal kerjanya yang benar, jujur, setiakawan, “ teriak mereka serempak.
“ Benar,Bang ? Topeng mengangguk. Makasih,Bang !”
Bahagia Topeng menyambut saudaranya yang telah insyaf. Bahagia........bahagia berbalut hati sang dermawan.

Minggu, 01 November 2009

Beribadah

Ibadah itu wajib hukumnya
Pada Tuhan pemberi berkah
Allah berfirman dalam kitab-Nya
Manusia dicipta untuk ibadah

Sungguh banyak macam ibadah
Tak terhitung dengan jari
Silakan anda kerjakan ibadah
Asalkan ikhlas Allah senangi

Banyak manusia kuat ibadah
Ibadah sunat ibadah wajib
Sungguh sayang banyak ibadah
Tetapi tetap membuka aib

Ibadah perlu kita kerjakan
Sebab Allah perintahkan nabi
Ibadah ikhlas kita kerjakan
Bukanlah harap dipuji diri

Lhokseumawe, 14 Agust 2009
09.00

Berbakti

Pak Guru masuk kelasnya sepi
Kita belajar senangkan ibunda
Jadi anak harus berbakti
Agar hidup tiada noda

Belajar bahasa susah sekali
Benar semua juara Satu
Patuhi guru anak berbakti
Insyaallah disayang Allah Tuhanku

Surga itu jelas adanya
Bagi umat taqwa selalu
Jika ingin masuk surga
Berbaktilah pada ayah ibu

Indonesia itu negeri kami
Rakyatnya tenteram damai sentosa
Kalau cinta negeri ini
Berbaktilah anda pada Negara

Kasih sayang seorang ibunda
Tiada mampu kita balas
Bukti bakti kita padanya
Patuhi nasehat penuh ikhlas

Lhokseumawe, 11 Agust 2009
09.00