Bahasa, Seni, dan Budaya

Senin, 24 Agustus 2009

Topeng dan Mainannya

By Ridha Nori Irianto

Setahun sudah Topeng menuntut ilmu agama dari kakeknya. Baginya itu belum seberapa. Ia belum merasa puas. Anak itu masih ingin menuntut ilmu lebih banyak lagi. Oleh sebab itu, lelaki itu ingin mengikuti hasrat hatinya. Dia mengembara entah kemana sembari menyumbangkan ilmu yang sudah dimilikinya. Dengan berbekal ilmu itu pula Topeng mulai melintasi daerah yang ada di tanah leluhurnya. Ia masih sendiri, tidak ada yang menemaninya kecuali sebuah kitab suci.
Di desa yang disinggahinya, di pedalaman jauh di balik gunung berlembah nan indah, lelaki itu menjadi guru agama. Pemuda-pemuda tanggung, anak, dan remaja, bahkan orang tua, serta tetua adat Peureulak pun ikut belajar bersamanya. Sekejap saja muridnya telah berjibun, banyak, berpinak-pinak, yang berguru kepadanya. Mereka menyenanginya karena Topeng berakhlak baik. Seluruh umur digunakannya untuk beramal. Sebab, baginya beramal itu sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Beramal itu ibarat kita menanam sebiji tanaman. Satu yang ditanam akan menghasilkan tujuh tunas baru, yang masing-masing tunas akan memiliki tujuh puluh cabang, setiap cabangnya akan menghasilkan seratus tunas-tunas baru, dan tiap tunas barunya itu akan mendatangkan seribu cabang berikutnya. Betapa banyaknya dan kita sendiri tak mungkin dapat menghitungnya.
Pada suatu hari, ia membeli sebuah cerek di kedai atau toko kampung itu. Benda yang dibelinya itu sudah sangat tua dan berkarat pula.Sepertinya telah tidak berharga lagi. Meskipun demikian, Topeng sangat senang pada benda tersebut. Karena mengumpulkan benda-benda bekas adalah salah satu kegemarannya sejak kecil. Orang tuanya sempat menjulukinya dengan si Mainan Ajaib.
Di rumah pondoknya, di rumah sementara, di rumah yang disinggahinya, benda itu dicuci, dibersihkan, dan depernisnya. Benda itu pun berubah, tidak buruk lagi. Wanginya menyibak ke mana-mana. Bersih dipandang dan menyegarkan. Cek ile..!! Tidak lama kemudian, dia memanggil ketiga murid pilihannya.“ Coba lihat benda apa ini ! “ katanya.Ketiga anak didiknya menatap heran dan tidak tahu benda yang di depannya itu.“Sekarang aku akan membuatkan kalian minuman yang lezat. Minuman bukan beralkohol, tetapi minuman yang menyehatkan, membangkitkan sendi gerakmu, dan.. pokoknya siiip !” ucapnya penuh bangga.
Cerek itu diletakkan di perapian. Tiba-tiba saja ada keanehan menjelma ke permukaan.Ia berekor dan memiliki empat kaki.“ Oh, panas.., aku terbakar...aku terbakar..!” teriaknya sembari melompat ke luar dari api dan terus lari. Cepat sekali larinya, kayaknya melebihi kecepatan sprinter dunia saja.Keheranan Topeng semakin bertambah karena cereknya sudah minggat dari perapian.
“ Cepat tangkap.., jangan sampai lolos !” teriaknya keras.
Seorang di antara siswanya memegang sapu ijok, yang lain memegang kayu bersulut api, sedangkan yang satunya lagi memegang bambu dan terus mengejar. Ketiganya tidak berhasil menangkap benda yang berbentuk seperti burung itu. Mereka kalah cepat dengan Topeng. Benda yang bersembunyi di balik semak berhasil ditangkapnya.
“Sekarang, aku ingin menjualmu ke pasar burung atau juga ke pasar loak!” katanya.
“Jangan, Tuan, aku takut. Mudah-mudahan aku nanti dapat menolong dirimu, kumohon Tuan, kumohon..!” kata benda itu lirh dan penuh harap kecemasan.
Topeng senang mendengarnya. Gembiranya menyeruak, menyebar-nyebar, berakar-akar, dan berserak-serak itada kira. Dipandanginya benda itu dengan seksama. Dikecupnya pelan-pelan, beulang-ulang, sampai menyentuh jiwanya, nalurinya, hatinya, dan perasaannya yang paling dalam. Dibelai-belainya, digendong-gendongnya, dan ditimang-timang seperti anak bayi yang baru dilahirkan ibunya beberapa hari.Sejak saat itu, sejak perhitungan detik dimulainya, sejak kedua tangannya menyentuh jiwa raga benda itu, sejak itu pula ia merawatnya dengan baik dan tulus ikhlas, tanpa basa-basi, tanpa dusta menyelimuti hati.
Setelah sekian lama, pada suatu malam yang gelap gulita, tidak tampak cahaya di luar rumah, tidak ada kunang-kunang yang menerangi, dan tidak pula bulan menyinari alam semesta ini, ketika Topeng selesai shalat tahajud, ia mendengar suara aneh dari cereknya yang amat disayangnya itu.
“Tuan,Tuan Muda, aku sangat berterima kasih padamu karena Tuan telah merawatku, menyayangiku, dan melindungiku. Sekarang aku ingin membalas kebaikan, budi baikmu itu. Izinkanlah aku untuk melakukannya !” “ Kamu...??!!” “ Ya, ya......kalau Tuan mau, Tuan bisa mencobanya, “ kata Cerek.“ Mau apa....?” tanya Topeng lagi.
“ Hanya dengan bismillah, Tuan dapat menjadi kaya, banyak harta dan berlimpah-limpah.”
“Bukan harta yang kucari. Harta yang banyak itu bukan milikku.”
“ Ya, ya, memang bukan milik Tuan, tetapi milik orang yang memang membutuhkannya, membutuhkan pertolongan tuan. Mau ya, Tuan ?”
“ Maksudmu ?” tanya Topeng agak ragu.
“Dari perutku akan keluar kepingan emas. Kuminta jangan sampai ada orang lain yang tahu selain Tuan. Kalau sampai tubuhku jatuh ke tangan orang lain, maka aku kembali seperti dulu, cerek yang berkarat, peyot-peyot, dan tak berarti. Lakukanlah bila purnama tiba !”
Beberapa hari lamanya kemudian, tibalah bulan purnama. Topeng mencobanya sendiri. Ternyata benar adanya. Topeng menjadi kaya raya. Ia banyak mendapatkan kepingan emas, berbatang-batang, berpetak-petak, dan berlempeng-lempeng. Kemudian dibagi-bagikannya kepada para tetangga sekitarnya yang kurang mampu. Itu berlangsung hingga berbulan lamanya.
Aneh, tetapi itulah yang terjadi. Ternyata masih ada makhluk yang merasa iri kepadanya. Rupa-rupanya di antara muridnya ada yang mengetahui rahasia itu. Ada yang mendengarkan pembicaraan rahasia antara cerek dan Topeng waktu di kediamannya.
Seorang muridnya ternyata busuk hatinya. Ia ingin mencobanya sendiri tanpa sepengetahuan Topeng. Waktu itu Topeng tidak ada di biliknya. Muridnya itu kiranya rindu, tergila-gila pada harta yang berlimpah seperti yang pernah dimiliki gurunya.
Mula-mula sekali, ketika mencobanya memang berhasil. Sekali, dua kali, bahkan hingga ketiga kalinya, muridnya itu menjadi kaya raya. Harta yang ditemukannya itu pun digunakannya sendiri.Ia berfoya-foya sepuasnya, berhappy-happy, bergembira ria. Kedua sahabatnya yang lain juga tidak dihiruaukan, tidak diberi tahu, tidak pula dibaginya, termasuk juga fakir miskin di sekitarnya.Keberhasilan murid yang tamak itu ya hanya sampai tiga kali saja. Ketika ia hendak mencoba untuk yang keempat kalinya, si cerek berubah wujudnya seperti sedia kala. Cerek berkarat seperti dulu lagi.
Hari-hari berkutnya hati si murid yang dengki itu semakin gundah, sedih, duka nggak terbilangkan. Ia takut dimarahi gurunya. Setiap bertemu Topeng, ia kerap menghindar. Anak itu malu sejadi-jadinya. Namun, sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, akhirnya akan tercium juga baunya.“ Anakku, kemarilah !” kata Topeng pada muridnya.Si murid yang loba itu terdiam. Dia nggak berkutik lagi. Mati kutu rasanya. Anak itu telah ketahuan belangnya.
“Sekarang jawab dengan jujur, kamu apakan cerek yang di tungku ? Mengapa dia bisa berkarat lagi ? Ayo, jawab! Jangan bohongi dirimu sendiri. Allah pasti tahu apa yang kamu sembunyikan selama ini !” kata Topeng penuh selidik.
“ Maafkan hamba Tuan Guru, memang hamba yang telah mengambilnya. Hamba yang telah membuatnya demikian, Tuan Guru !” akunya.
“ Baiklah kalau memang benar yang kamu katakan itu. Sekarang kamu harus menanggung akibatnya sendiri. Cukup, hanya sekali ini saja, esok jangan kamu ulangi lagi perbuatanmu yang jelek ini !” kata Topeng mantap.
Akhirnya murid yang serakah itu mendapat hukuman karena memiliki harta orang lain tanpa izin. Topeng menghukumnya dengan hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang lalu.

Mata Air

Mata air
Air mata kehidupan
Mata air perjalanan
Menoreh kenangan
Bukan air mata

Mata airku mata air bangsaku
Iringi jalan panjangmu
Menerangi penjuru dengan mata air kalbu
Membasahi raga mengantar doa
Bagi rekan di singgasana abadi

Mata air cerita matanya kawan kita
Berkata-kata jelmakan cinta
Berbisik lirih jelmakan kasih
Dalam rengkuh bayang informasi
Lahirkan kedamaian
Singkirkan kemurkaan
Buat kita di pelosok negeri

Mata air sahabat mata air kita
Mata air serambi
Matanya pembuka mata
Mata air dan air mata
Ada di sini tempo hari
Hingga kini
Mata air itu masih ada



Lhokseumawe, 21 Feb 06

Gara-gara Tanah Sejengkal

Dulu
tanah itu kubelai
tempatku beriang sukma
tanah sejengkal itu dulu kucium
kupeluk mesra
kubuka pakaiannya
dan kurasakan kenikmatannya
tetapi kini
semua jadi kelam
sirna di pelupuk mata
tak ada lagi kasih kudekap
semua lenyap
hilang cintaku
hilang cintanya padaku

Gara-gara tanah sejengkal
berjibun jiwa beterbangan
berjibun jiwa ditinggalkan
berjibun jerih lenyap tak berbekas
binasakan kasih
menghalalkan segala rupa
melukis jagad dengan cairan pilu
menenggelamkan cinta kalbu
menjelmakan durjana
melahirkan nista duka nestapa

Gara-gara tanah sejengkal
tanpa ingat asal muasalnya
laut menerjang
mencipta teluk-teluk tak bertepi
itukah lukisan yang kita damba ?

Gara-gara tanah sejengkal
akankah tanah itu hilang tanpa makna
tanpa jemari kita mengelusnya
tanpa dihiasi kasih sayang ?
itu semua ada pada kita

Lhokseumawe, 14 Nov 02

Gelap yang Menyinari Hati

Dalam kegelapan malam dan hembusan angin
yang menyelinap dalam dalam kalbu insani
adalah pemberi kabar pasti
untuk kita mengingat akan ada-Mu
pencipta dan pemilik urusan-urusan-Mu

Tuhan..............
detak jantung yang bergetar atas perintah-Mu
mencabik-cabik hati yang luka
menebas tebing bagai palu besar
yang siap menggerogoti kealpaanku
yang terlelap dalam mimpi syahdu
kesyahduhan hampa pengiring api panas
siap menerkam dada-dada ini

Tuhan.............
gelap yang Kau berikan kepada kami
adalah hari pengiring waktu
sebelum fajar menjemput kami
adanya pergantian hari
berzikir dalam-dalam
sebelum bayang –bayang mengerikan hati ini pupus
ditelah senja yang datang tiba-tiba
tanpa ada yang tahu selain diri-Mu

Tuhan...........
gelap juga yang menyinari hati ini
gelap juga pelindung ketakutan
dalam sujudku tengah malam
melindas musuh –musuh nyata
yang siap membonceng dalam duka kepanjangan

Gelap juga yang menyinari hati
mengajak pergi meninggalkan luka nyeri
sampai kini malam itu masih ada

Lhokseumawe, 11 Jan 90

Harapan Seorang Sahabat

Pagi ini aku terkapar
lesu tak bertenaga
lemas tiada bernafsu
itulah yang kalian saksikan atas diri kami
bersimbah kekeringan berkepanjangan
yang merentangkan tangan membuka pasrah menahan lapar

Kawan-kawanku.........!
lihatlah...........!
mereka yang kecil semakin merana
menggapaikan tangan butuh pertolongan
lihatlah kawan......!!!
mereka semakin menari-nari di atas tumpukan tanah berbau busuk

Kawanku...........!
kalian jangan tidur !
dengarlah jeritan hati mereka !
tataplah mereka dengan mata kita
jangan palingkan mukamu kawan
jangan........sesekali jangan........!
karena itu bukan yang kuharapkan

Kawanku di pelosok negeri
bantulah saudara kita
yang sedang menghadapi kemelut
penyambung hidup
hari ini dan hari-hari selanjutnya

Kawanku...........
mari kita membuka tangan
membantu mengangkat hempasan gelombang kehidupan mereka
melepaskan dahaga
dengan tangan kita yang masih bertenaga

Wahai kawan..........!
sambutlah uluran tanganku
sambutlah kedatangan mereka
sambutlah........sambutlah.............!
dengan kelembutan hati tulus beriman pada-Nya


Lhokseumawe, 6 Maret 90

Nafas Dalam Jiwa

Nafas kecil-kecil bergelora
menemani beta-beta
ke ats ke bawah
menyusuri jalan
dalam tubuh manusia dan siapa jua

Nafas dalam jiwa
mengajak doa sendiri
selalu...........dan selalu
tanpa kenal waktu
bagi mereka itu
yang tahu jati diri

Sekali waktu
nafas tersedu
lihat kita
malas melulu

Nafas-nafas berbahagia
di alam sana
jauh dari jangkauan manusia
yang tak lupa
sujud pada-Nya

Nafas-nafas jadi sengsara
dalam neraka
yang terbakar bagai sisa-sisa abu
berkat dosa menggunung seribu

Nafas dalam jiwa
tenteram dan damai
menghias, membalut, dan memeluk raga
bagai saudara kandung sendiri
yang tak sudi dipisahkan
sebab Rabbi mentakdirkan begitu rupa

Kata-Nya lagi
kata-Nya kemudian
nafas dalam jiwa perlu makan
jika enggan
perih pilu kan menggerogoti jiwa berjiwa
hingga palu berdentang
di depan mata kita sendiri
Lhokseumawe,250495

Sepi Berganti Tangis Berderai

Hari ini pagi ini
aku duduk sendiri menyepi
dalam sunyi sepi
menatap pohon tak bernyanyi lagi

Tiba-tiba hatiku gundah seribu rasa
melirik getar raksasa di layar kaca
menghempas insan-insan tak berdosa
bergelimang merah terpendam duka

Sepiku berganti tangisku berderai
luluh saudaraku ditelan badai
karena tuan memanggang satai
akibatnya tandus berganti bangkai

Duniaku yang semakin malang
tak sudi nasib bertandang riang
ulahnya tangan-tangan perang
yang haus darah segar matang

Oh, Tuhan………kapan pupus semua ini ?
kapan mereka bersatu lagi ?
apakah tak terpikir mereka tentang bumi ini ?
aku takut janji-Mu datang lebih dini

Tatkala Noda Menari Dalam Dada

Rabbi Alam Raya
salahku menumpuk secakrawala
berikrar berkata dalam lumpur dosa di dada
masihkah Kau ampuni nikmat hidup yang kuteguk
meski telunjuk bercerita dia salah
terbalik kata tiga untukku ...???!!
Oh Rabbi...!!
tiada dayaku mengikis lumpur melekat di badan
tiada dayaku menyingkirkan noda hitam
yang mengurat akar di relung kalbu
tiada terpikir tatkala jemariku menjamah nikmatnya dunia
menghengkangkan diri berlabuh di pulau
membentuk lingkaran merah menyala
maafkan aku ya Illahi Rabbi..! Maafkan......!!
Oh..., tiada tempat kuberlindung selain Engkau...!!!
Katakanlah kepadaku ya Rabbi......!!
saat ibu mendongengku membawa ke mari
katakanlah berapa banyak sudah khilafku
katakanlah ya Tuhan..!!
Rabbiku Pemelihara Alam
hatiku hancur berkeping
gundahku melolong mencari tempat bersembunyi
namun tak kuasa
serbuk sampah yang tergapai mengejarku terus
menari-nari berjanji-janji
mengejar naluriku menusuk-nusuk bagai jarum
membawa angan gelimpang dosa
Oh .....Tuhan......Rabbiku Penguasa Segala Rupa
ampunkanlah hamba-Mu yang dina ini
ampunkanlah ....sampai detak nadi bernyanyi lagi...oh Tuhan...!!!


Lhokseumawe, Sept 92

Jumat, 21 Agustus 2009

Aku Bangga Menjadi Guru

Dulu, sebelum menjadi guru, aku selalu membayangkan suatu yang aneh, guru itu apa sebenarnya. Apakah hanya sekedar mengajar di depan kelas saja ? Ternyata tidaklah demikian halnya. Rupa-rupanya menjadi guru itu amat menyenangkan dan membanggakan. Kebanggaan itu bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga bagi masyarakat sekeliiling kita. Kebanggaan yang didapat tidak hanya sebatas mata memandang, namun mampu menembus dinding teguh sekeras raga manusia sampai ke lubuk hatinya yang paling dalam. Bagi seorang guru seperti aku ini, bertatap muka dengan peserta didik merupakan suatu kehormatan yang tiada banding dan tidak bisa digantikan dengan uang seberapapun banyaknya, walau menumpuk bagai gunung sekalipun. Soalnya, yang dihadapi bukanlah boneka robot yang bisa diutak-atik dan langsung bisa selesai diperbaiki, melainkan insan yang pandai berfikir, berestetika, dan memiliki ajaran agama yang tinggi. Hal itu sudahlah pasti disadari betul oleh seorang guru yang memang benar-benar guru, yang hatinya telah terpaut pada tugas yang mulia ini.
Begitu perasaan orang, begitu pula yang kurasakan dan alami. Bagiku, menjadi guru merupakan suatu tantangan dan ujian sebagai bukti pengabdianku pada Rabbul Izzati. Pengabdian yang tiada henti walau telah sampai ke titik akhir kehidupan. Keberuntungan yang didapat pun tidaklah hanya sebatas kepuasan materi semata, melainkan kepuasan batin yang dapat menenangkan hidupku sampai ke akhirat kelak.
Sekali lagi, kalau dulu aku masih bertanya-tanya dalam hati, apakah benar menjadi guru itu membuat kita bahagia. Tetapi sekarang, setelah kulalui bahtera hidup ini dengan murid-muridku, barulah benar-benar kurasakan nikmatnya menjadi seorang guru. Guru yang tidak hanya digugu dan ditiru, tetapi guru yang memang benar-benar dicintai muridnya.
Kebanggaanku menjadi guru adalah puncak kehidupanku dan semakin mempertebal keyakinanku bahwa guru adalah orang nomor satu dalam hidup dan kehidupan anak manusia di mana pun berada. Seorang guru yang membuka jalan hidup seseorang untuk meraih kemenangan bukanlah cuma selogan, melainkan suatu tindakan nyata. Kalau tidak percaya, tanyakanlah hal itu pada diri kita masing-masing. Adakah orang yang sukses tanpa dibimbing seorang guru ?
Selain itu, dari hari ke hari, kebahagiaan dan kebanggaanku menjadi guru semakin menyelimuti kehidupanku. Bayangkan, betapa bahagianya aku manakala menemukan dan kuketahui ada muridku yang telah menjadi orang terkenal, berpenghasilan cukup lumayan, dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Walaupun mereka telah hidup mapan dan mandiri dengan cita-cita yang telah diraihnya, ternyata mereka, anak-anakku masih ingat kepadaku gurunya di sekolah dasar. Murid-muridku masih mau menjengukku di gubug reyot di pinggiran desa.
Dalam keseharianku kini, aku hanya bisa memohon pada Tuhan semoga anak-anakku yang lain pun demikian adanya. Betapa tidak demikian, karena merekalah aku bisa berdiri di depan kelas membagikan ilmu. Tanpa kehadiran anak-anakku di sekolah, mungkin sampai kapanpun aku tidaklah mungkin dipanggil dengan panggilan guru.
Begitu bahagianya aku menjadi guru sampai-sampai terlahirkan sebuah puisi untuk mereka.

Kepada Anak-anakku

Lihatlah......tataplah.........!
Wajah-wajah kami dalam hidupmu
Yang belum berarti apa-apa
Kiranya saksi bergema
Menyimpan rahasia dalam jiwa kecilmu
Membangkitkan jiwa mati
Tapi tak daya menghidupkan insani
Hanya itu
Pelambang kasih kami padamu

Oh....anakku......!
Harapan kasih dalam jiwa hati kami
Terimalah bakti ini
Dari orang-orang tak berpunya
Hanya sekelumit asa pinta beta
Ubahlah bumi ini
Tembuslah bukit-bukit gersang
Selamilah samudera
Telusurilah hidupmu
Dengan budi akal dan iman
Ingatlah pada pengasuhmu
Bagaikan matahari
Bukan seperti kacang tertimpa matahari

Aha, betapa bahagianya aku waktu itu. Ya, kebanggaanku menjadi guru yang tak mungkin bisa dilukiskan di atas kertas putih seluas bentangan bumi. Rasa bangga tersebut tidaklah dapat dituangkan dengan kata-kata semata. Yang jelas, kebanggaan itu bisa kurasakan betapa nikmatnya menjadi guru. Kebanggaan yang cuma bisa dirasakan antara aku dan anak-anakku di sekolah.

Ulangan Mendadak

“Anak-anak, keluarkan buku ulangan anda semua!”
Suasana hening semakin hening.
“Wah, gawat.............., belum apa-apa sudah ulangan.Jangan-jangan soalnya susah
Namun kuharap soalnya mudah, biar aku dapat menjawabnya, sebab kemarin beta tak belajar. Belum lagi tampang gurunya, duh.... menarik dan mengerikan. Bagaimana dengan kalian?”
“Mah, mampus aku, ulangan rupanya !!! Mengapa begitu mendadak Pak Guru ini bikin ulangan , apa tak ada hari lain ?!”
“Duilah, tak kusangka, biar tampang agak kece, tetapi bikin orang serba ketakutan. Hebat juga !!”
Nah adik-adik, sekejap saja si guru sudah selesai menulis soal di papan tulis. Lumayan soalnya. Mudah, tidak terlalu sukar. Sungguh, meskipun mudah, aku tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu.
“Bingung ya ?”
“ Sudah pasti aku bingung.”
“Lantas, apa usahamu ? “
“Entahlah, selain bingung, aku juga pusing.”
“Pusing ???!!!”
“Ya, pusing. Pusing sekali.”
“Mengapa kamu pusing ?”
“Apa yang hendak kujawab lagi, sudah tahu orang lagi pusing ditanya terus.Apa aku ini seperti mesin mobil yang tidak pernah kehabisan bensin ?? Ayo, mau tanya lagi?”
“Lha, gitu saja marah. Tenanglah , jangan risau. Aku bisa bantu menenangkan kepusinganmu itu.”
“Kau......, kau yang bertubuh kecil begini mau coba membantuku ??!”
“Benar, tetapi kalau kau setuju.Tetapi. sets....., ada pengawas datang. Siap-siap menjawab pertanyaan.”
Oh..., teman-teman, tiba-tiba saja mulutku terkatub mati seperti terkunci rapat. Kepalaku tidak bisa kudongakkan ke atas. Duh, habislah aku. Kalian mau tahu mengapa bisa begitu ? Kalau mau pintar, coba tebak dengan jitu.
“Pak Guru sudah berada di sampingmu,kan ? Ia memperhatikan perbincanganmu dengan temanmu tadi ?Ah, begitu saja takut. Jawab saja begini, aku pusing memikirkan Mike Giver,Pak. Habis perkara. “
“Masih ada lagi. Kalau aku bilang begini, aku sedang teringat Mission Imposible,Pak. Cocok, bukan ?”
“Apa kalian pikir aku ini tolol ???!!!”
“Tidak, engkau tidak tolol.” Suara itu pun menghilang jauh.
Sesaat kemudian guruku menepuk pundakku yang mungkin dikiranya besi. Mungkin, kalau benar ya, tetapi itu hanya emosiku saja yang mengatakan demikian. Aku terkejut, dadaku bergetar kencang melebihi kecepatan mobil patroli jalan raya.
“Mengapa belum dijawab soal yang nomor dua ? Sulitkah itu ?”
Aku bingung menjawabnya bercampur rasa takut yang mendalam. “Ti...tidak,Pak.”
“Lantas, mengapa belum juga kaum menjawabnya ?” desak guruku.
“Aku sedang memikirkan............”
“Memikirkan apa ?” kata guruku, suaranya agak meninggi.
“Mike Giver,Pak.”
Ger..........semua teman sekelas terbahak.
“Siapa namamu?”
“Wah, Bapak kita sudah pikun, masak nama anak didik sendiri lupa.”
“Diam !!!!”
“Namaku Kokot Belot,Pak.”
“Bagus, esok kamu jadi Mike Giver,ya ?” Ger........! Si Gendut nyeloteh lagi.
“Mike Giver ??!!! “ Guruku bertanya seperti main-main, namun ada benarnya juga sebab beliau pun punya parabola.
“Betul,Pak. Aku juga menyaksikannya malam tadi,Pak. Pokoknya seru.....”
“Apalagi yang kamu saksikan ?”
“Mission Imposible,Pak” teriak Gendut dari belakang. Ger......
“Anu, Pak........??!”
“Apa yang ingin kamu katakan ? Ayo, jawab saja !”
“Kaulah ..!”
“Aku....?!”
“Ya, kamu .” Telunjuk guruku mengarah padaku.Sepertinya ia tengah membidikkan senapannya, tepat sekali. Kali ini aku tidak bisa menghindar, mati kutu rasanya. Sebagai lelaki kucoba untuk menjawabnya. Kalau pun marah ya sudah, memang sudah takdir.
“Dunia dalam berita,Pak!”
“Bagus, tepat sekali jawabannya.”
Nah adik-adik, ternyata jawabanku direstui guruku. Beliau tidak marah, malah jawabanku membuatnya tersenyum. Manis sekali. Lesung pipitnya tampak dalam bagai ngarai nan indah. Sayang, sayang sekali aku tidak memilikinya. Selagi aku mernungkan tentang ngarai, bos kita yang akrab dengan kapur ngoceh, “Kumpulkan tugas kalian!”
“Oi mak, berapa nilai yang kudapat nanti? Apakah masih tetap berwarna –warni?”
“Kan bagus kalau berwarna-warni, indah lagi.”
“Amboi, indahnya sih boleh, tetapi tak enaknya tiba di rmah pasti kena palang pintu.”
“Masih lumayan kalau itu.Aku lain dari yang lain. Aku tak diberi uang jajan.”
“Jajan...???!!” kata Cekgu heran.
“Ya, Pak. Kokot tak diberi uang jajankalau nilai hari ini jelek.”
“Bagus, saya juga demikian.Kalau anak saya dapat nilai jelek, pasti tak saya beri,bahkan mungkin bisa lebih dari itu.”
“Misalnya,Pak?” tanya yang lain.
“Saya akan suruh dia ciptakan puisi.Puisi pengalaman pribadinya tentang kesalahan dan ketidaktahuannya.”
“Saya mau,Pak ! Aku juga,Pak ! Aku pun tak ingin ketinggalan,Pak! Aku juga.Aku juga!” teriak kawanku silih berganti.
“Lebih baik kita semua !” kata guruku mengakhiri pelajaran hari itu.

Akibat Melihat ke Atas

Udara pantai begitu bersahabat mendayu-dayu mengiringi musik alami. Pasir putih basah menyeringai mengulas senyum mengiringi ikan-ikan kecil menari dipermainkan musik samudera. Semilirnya angin meneguk kemanjaan insan-insan di seputarnya. Oh, indahnya tepian pemandian membalut luka seorang lelaki tengah baya yang sedang mengayuh sampan demi perut sejengkal.
Tangan kecilnya terus menari-nari tanpa menanti waktu yang menggulir mengikuti larinya masa. Senyumnya telah membuka lembaran baru keluarga. Betapa tidak, istri terkasih tengah membuka warung kecil guna menambah penghasilan. Anaknya giat meraih cita-cita. Tidak seorang pun terlena dengan mimpi-mimpi indah di siang bolong. Sedikit saja lalai, mereka akan berteriak keras mengusir lolongan anjing yang menakutkan.
Riak laut yang tadinya tenang, kini berubah jadi musuh bagai api yang siap menelan mangsanya. Lelapnya para nelayan di atas kapal sedikit mulai terusik dengan munculnya tamu baru di kampung tercinta. Bahkan para istri sedang sibuk menyiapkan lomba mengukir keindahan di leher masing-masing. Mereka terus bersaing mengejar kemilaunya bintang yang tak mungkin dapat tergapai oleh keringat para suami yang menentang maut di antara badai di tengah laut lepas.
Tak ingin dikatakan kuno dan ketinggalan zaman, anak-anak ingusan siap merentangkan sayap-sayapnya menyibak dunia menatap layar kaca di rumah tetangga berpunya.
“ Hei, teman-teman. Sini, main ke sini. Kalian boleh dengan bebas main di rumahku yang besar ini. Ayo, apalagi yang kalian tunggu. Cepat, sini rame-rame, kan enak !” ajaknya suatu kali saat baru beberapa hari menetap di situ.
Anak-anak kampung seusianya yang masih sekolah dasar itu pun berkumpul, bergabung, berteriak histeris, kegirangan, dan kayak kesetanan begitu mendapat kesempatan main. Wou....., asyiknya......! Boleh jadi seharian mereka main. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan bertahan lama.
Siang hari, tak pandang terik maupun hujan, mereka diburu mainan tamiya, gembot, spika, ps, dan lainnya. Anak-anak nelayan tak ambil pusing lagi pada kemampuan ayah-ayah yang bergelut mencari nafkah di tengah samudera. Yang penting, bisa main. Sebab, anak tetangga yang baru itu, mainannya melimpah ruah, berjibun, berserakan, menggerakkan air liur teman sebaya. Tak dinikmati mubazir menganga, diikuti seleranya sengsaralah pasti melekat melilit leher sendiri.
Begitu pula dengan istri warga kampung. Ibu-ibunya pada belomba-lomba menghiasi leher, tangan kanan dan kirinya. Mereka sampai begitu tergiur dan bernafsu memilikinya kerena yang punya gedongan itu pintar mengambil hati.
“ Ayo, ibu-ibu, belilah, nggak mahal kok! Kalau ibu-ibu nggak bisa kontan, ya nyicil juga bisa, langsung saja dengan saya. Tidak perlu pakai uang muka lho, Bu. Biar saya nanti yang kontanin duluan, ya Bu, ya ? Nggak usah takut, yang penting, kita semua bisa menikmatinya, biar nggak dibilang terlalu kere. Mau kan, Bu ?” katanya dengan lembut.
Wanita-wanita kampung yang umumnya berpendidikan rendah itu akhirnya lunak juga. Semuanya pingin memilikinya.
“ Ah, biar mahal, yang penting kita kan bisa nyicil !” kata seorang ibu dengan entengnya..
Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin pas diberikan kepada mereka yang tidak pernah merasa puas atas nikmat yang diberikan Tuhan.
“ Bu, belikan mainan kayak orang tetangga yang baru itu ya ?” tanya seorang anak pada mamaknya yang sedang menggoreng pisang untuk dijual.
“ Memangnya gaji bapak kita gajinya gede.......? Kalau gede seperti orang kaya itu, baru beli mainan, makan saja masih hitung-hitung, eh.........kamu malah mau beli tamiya segala. Tahu kamu berapa harganya.........?” kata seorang ibu yang tahu kerja suaminya dengan mata melotot.
“ Kan bisa nyicil, Bu ? Orang itu bisa beli, kok kita tidak........??!! “
“ Betul kata ibumu, Nu. Kita jangan sekali-kali lihat ke atas, tapi cobalah tengok ke bawah. Kalau menuruti nafsumu, bisa-bisa nasib keluarga kita terperangkap tengkulak. Hancur..........! Lihat tetangga kita yang jualan itu, mereka terus gaduh tak hentinya,” kata ayah yang bijak.
Benar, Pak Nelayan yang istrinya jualan itu bingung. Tiap saat para tentenir datang ke rumahnya menagih hutang. Kepalanya pusing tujuh keliling memikirkan istri dan anaknya yang kini sedang naik daun mengikuti irama kehidupan si kaya.
Setiap pulang dari melaut, si istri terus nyosor minta dibelikan gelang. Padahal, di lehernya telah melilit benda kuning hasil keringat sendiri. Mengapa masih kurang...........?
“ Entahlah.”
“ Ingin pamer......?”
“ Entahlah.”
Yang jelasnya, si istri mengumbar senyum manakala suami berangkat ke kota memenuhi maksudnya. Keceriaan rupa mengumbar kabar. Tetangga pada tahu bahwa sebentar lagi si empunya kedai akan kaya mendadak.
“ Betulkah ?” tanya para tetangga penasaran.
Kita lihat saja apa yang akan menjelma ke permukaan. Apa yang terjadi kemudian harus kuceritakan.
Hari itu suaminya pulang dengan wajah lain. Di tangannya melekat bungkusan tebal lagi berat.
“ E.........e...........e.........., Mak........., bapak pulang ! Bapak pulang........,Mak..! Bapak bawa bungkusan besar, Mak !” Si anak lari menyongsong ayahnya. Gembira benar hatinya. Ia melompat ke sana-sini persis kayak orang kesetanan.
Istrinya yang telah menanti lama bergegas tak ingin ketinggalan.
“ Untukku, Pak ?”katanya dengan hati berbunga-bunga.
Bapak hanya manggut. Kotak langsung dibuka. Si anak sudah nggak sabar, ia ingin cepat-cepat melihatnya, tetapi lapisan bungkusnya banyak sekali Selapis, selapis, dan terus begitu samapai kotaknya tinggal kecil persis kayak kotak rokok.
“ Apa isinya ya ? Ha......, sebuah rantai besi kecil dan secarik kertas berisi surat penyegelan tanah !” kata anaknya heran.
“ Untuk siapa, Pak ?” tanya si ibu pula.
“ Ya......, untuk kamu !”
“ Ooooooo......mati aku !” Senyumnya lenyap berganti rentenir bersorak.

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
4. Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin
8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Laba-laba Oi Laba-laba

Laba-laba oi laba-laba
macam rupamu aneka jenisnya
delapan buah kaki ragamu
salah satu ciptaan Tuhanku

Ou……..ou……..ou……
laba-laba oi laba-laba
tubuhmu terbagi dua
bagian depan pengindera makan
bagian belakang untuk pernafasan

Laba-laba oi laba-laba
warna tubuhmu indah menawan
merah hitam juga kecoklatan
rambutmu lebat sungguh menakjubkan
engkau berbisa dapat mematikan

Hei……hei………hei……
engkau kadang jadi pemalas
hanya menunggu mangsa kerjamu
begitu dapat mangsa tak berdaya
karena kauhisap cairan tubuhnya

Hei…..hei……hei……
laba-laba makhluk istimewa
salah satu keluarga serangga
berumah jaring indah mempesona
lanjut keturunan bertelur caranya

Hei…..hei………hei……
engkau menunggu
menunggu……..menunggu…..
sampai menetas anak-anakmu
begitu lama engkau menunggu
akhirnya matilah dirimu



Batuphat,230501

Lebah

Lebah….
dirimu suci
tiada yang menandingi
hatimu mulia
semulia kasih mama
kerjamu bercahaya
tiada meniggalkan titik noda

Oh lebahku sayang
dikau ukir persaudaraan sejati
membagi tugas hilangkan dengki
tidur nyaman berhias kedamaian
mengukir jagad madu kesucian

Lebah….
di antara berjibun ciptaan Tuhanku
terkisah dirimu geger dunia
dalam Quran kitab milik-Nya
menggiring jiwaku sungkem pada-Nya


Btp 260501

Karena Ulah Sendiri

Kampungku indah di luar kota
segar rasanya tinggal di sana
kakekku punya ayam betina
satu jantan yang berkuasa

Si jantan badannya besar
dadanya bidang lagi kekar
teman lain takut melanggar
sebab bisa mati tercakar

Ketika sedang makan daunan
ia dengar sebuah nyanyian
lagu merdu lagi menawan
darahnya naik terbawa angan

Pergi melangkah dapatkan cermin
cermin dipandang si jago main
dikira kawan mengejek main
darahnya naik marahnya main

Marahnya terus membakar jiwa
lama-lama hilang sabarnya
diterkamlah cermin wjah dirinya
merah darah wajah aslinya

Akhirnya ia pulang ke rumah
di pintu rumah majikan marah
disembelih jago pelampias marah
hingga menggelepar di atas tanah

Kabar mengalir ke pelosok desa
si sombong kini telah tiada
semua senang dan bahagia
hidup damai tak lagi tergoda


Feb 91

Elang

Elang......
yang dicipta Maha Kuasa
yang mengukir berita
soal waspada
bagi kita semua

Engkau punya Tuhanku
aku kagum padamu
engkau yang jitu
sekali tatap musuhmu
musuh terkunci di matamu

Elang..........
pemburu mangsa
binatang kecil aneka rupa
kau sikat semua
tanpa ampun di dada

Hari itu
kulihat dirimu
terbang melayang
intai musuh tuk diserang
jauh di langit
dengan mata tajam menggigit
berbekal kuku mengerikan
engkau cengkeram tanpa kasihan

Elang.........
terbang melayang
mengukir keindahan
di bali awan
memberi kabar tentang Tuhan
agar ingat kesalahan
sebelum maut menjemput badan


Lhokseumawe, 11 Sept 03
08.35

Gorila

Gorila.........
engkau makhluk Afrika
engkau keluarga kera
mirip manusia
tubuhmu besar
engkau kuat lagi kekar

Oh..... gorila
engkau berat sekali
tubuhmu tinggi
melebihi diriku sendiri

Sekali waktu
kulihat dirimu
di televisiku
engkau tersenyum padaku
engkau pura-pura malu

Oh .....gorila
aku sayang padamu
tapi kawanku
berpacu memburumu
menyantapmu
darahmu naik
kau marah mencabik-cabik
hingga nafas tak bisa balik


Lhokseumawe, 11 Sept 03
09.55

Duduk

Duduk
engkau binatang
hidup di tempat luas membentang
raringmu panjang
meremuk tulang belulang
tubuhmu belang-belang
wajahmu ngeri menantang
buat yang lain lintang pukang

Duduk
hidupmu di Australia
daging santapan istimewa
antilup dan zebra
engkau santap semua
tanpa sisa
lalu engkau tertawa
ha........ha........ha........
aku terkesima
aku heran melihatnya
sebab engkau di gurun sahara
jauh dari singgasana
tempatku di Indonesia


Lhokseumawe, 11 Sept 03
08.10

Angsaku Sayang

Angsa putih angsaku sayang
lehermu panjang
engkau pandai berenang
jalanmu bergoyang-goyang
keluargamu itik dan soang
makananmu tumbuhan dan binatang

Sekali waktu
engkau di darat
tubuhmu cukup berat
23 kilo saat kuangkat

Oh ……..angsaku
engkau punya saudara
di Australia
hitam warnanya
membuat tertawa
malam gelap tak tampak wajahnya

Oh….angsaku
engkau makhluk Tuhanku
engkau berikan telurmu
untuk keluargaku
lezat rasanya
hingga kami cerdas semua


Lhokseumawe, 10 Sept 03
12.45

Kutu dan Semut

Hari begitu cerah. Secerah badut membawakan gelak tawa.Burung-burung pun pada ikut ngakak. Mereka geli melihat teman-temannya banyak yang jingkrakan. Kucing-kucing pada berlarian berkejar-kejaran. Semut-semut juga tak ingin melewatkan suasana gembira, yang mungkin hanya sekali duakali seumur hidup. Kegilaan mereka pun kian menjadi manakala angin bertiup kencang. Dingin, ser....., menyegarkan. Lebih-lebih bagi keluarga yang baru saja mengguyur badan menjelmakan keharuman.
Keceriaan alam diikuti seekor kutu. Dia tengah berjalan-jalan menghirup udara segar. Waktu itu sih mainnya di semak-semak. Semak itu bukan hutan yang lebat, bukan pula tempat kumuh seperti comberan, melainkan semak di tubuh anjing yang lupa dibersihkan.
Dengan tubuhnya yang kecil mungil, Kutu bergerak leluasa, nggak ada yang menghalangi. Meskipun rajin mencari makan, makhluk berkaki kuat itu tidak akan pernah besar. Di tetap kecil, kecil, kecil kerdil, kecil selamanya. Padahal makannya congok minta ampun.Weleh........, weleh.............!!!!
Suatu hari saat Kutu asyik bermain, dia bertemu dengan Semut Merah. Matanya melotot. Mulutnya cengar-cengir, mencibir-cibir, mengejek-ngejek, dan memaki-maki. Anehnya, si Semut malah tersenyum-senyum saja. Tak dihiraukannya caci maki tetangganya yang usil itu.
“ Hai, Semut, mari kita adu sembunyi !” ajak Kutu memulai pembicaraannya untuk menarik simpati Semut.
“ Oke, mari kita mulai !” tantang Semut Merah tak gentar.
Pertandingan pun dimulai. Genderang ditabuh bertalu-talu. Suaranya menggema ke angkasa, sampai-sampai terdengar ke penjuru wilayah Lauser yang luas itu. Hingar bingar menderu. Sorak-sorai pun ikut nimbrung menyatu. Semuanya gembira, kegirangan, berpesta ria menyambut pertandingan keduanya.
Sang Kancil bertindak sebagai juri. Lagaknya nggak tanggung-tanggung. Persis seperti juri lari di tingkat olimpiade. Suaranya tegas dan tidak bisa dibantah kata-katanya. Benar saja. Jika dia telah berdiri jadi juri, maka yang lain tentulah tidak dapat berkutik. Semua pasrah dan........ pasrah.
Bendera start dikibarkan. Kutu lari kecang. Ia melompat-lompat. Lompatannya jauh betul melebihi lompatan juara dunia. Semut Merah keteteran, tertatih-tatih, dan kehaisan tenaga dibuatnya. Nafasnya ngos-ngosan. Makhluk yang kerap menyikat gula itu pun nggak sanggup lagi untuk lari.Dia terduduk lesu kehabisan tenaga seperti orang baru selesai kerja berat.
“ Ah...., daripada aku mati konyol, sia-sia, percuma, lebih baik aku istirahat saja,” pikirnya.
Karena kehabisan tenaga dan keletihan, akhirnya Semut Merah tertidur pulas di bawah rimbunan pohon. Di tempat terpisah Kutu beriang sorak sebab ia baru saja memenangkan pertandingan.
Dalam perjalanan kembali ke biliknya, Kutu berpapasan dengan Semut Betina. Ditegur, dan digodanya. Yang parahnya, hiasan Semut Betina yang telah usai dan segera dijuanlnya ke pasar, berantakan dan pecah berkeping-keping. Semut betina jadi marah bukan kepalang, mukanya memerah. Lebih-lebih setelah si Kutu mengejek tentang abang kandungnya, si Semut Merah.
“ Abangmu goblok, loyo, lelaki tak bertenaga, masak untuk lari bersembunyi begitu saja tidak sanggup !”
“ Awas kamu, kuberitahu abangku !” kata Semut Betina gemas.
“ Kasih tahu, cepat !” teriaknya sambil menyepak hiasan di depannya.
Semut betina lari pulang dengan menangis tersedu-sedu. Bajunya dibiarkan saja tergerai ditiup angin kencang. Rambutnya jadi awut-awutan persis kayak gembel nggak pernah menyentuh air beberapa hari.
“ Abang........!” rengeknya setiba di rumah.
“ Kenapa kamu ? Siapa yang telah mencederai kamu begini ? “ tanya Semut Merah heran.
“ Itu........Bang. Si Kutu telah merusakkan semuanya. Habis sudah karyaku,” katanya kesal.
“ Hu....uh..., di mana dia sekarang ?” tanyanya dengan emosi.
“ Di sana, di hutan perawan dekat tepi kali !”
“ Biar kuhajar dia. Kalau sudah martabat dan harga diri diinjak-injak, siapapun pasti marah. Demi kehormatan adikku dan keluargaku, akan kuhajar dia !”
Dengan emosi yang meluap-luap, Semut Merah ke belakang rumahnya. Dia mencari kayu panjang. Sebilah celurit turut dibawanya. Ia pun pergi mendatangi Kutu yang telah merusak segalanya itu.
Warga sekitar telah berkumpul di sepanjang jalan tikus di lereng hutan perawan pegunungan Lauser. Mereka terheran-heran, bertanya-tanya. Ada apa ? Ada apa ? Semut Merah terus melaju tanpa menoleh ke belakang.
“ Hei, Kutu. Di mana kau....? Ayo, tampakkan batang hidungmu ! Jangan hanya berani di belakang layar !” katanya marah sambil mengacungkan kayu dan celurit.
Dengan berlagak nekat kayak jagoan, Kutu keluar dari peristirahatannya. Tiba-tiba, “ Ha.........., gawat, bisa mampus aku....!” katanya ciut. Kutu lari.
“ Hei, jangan lari kau ! “ hardik Semut Merah. Ia terus mengejarnya. Ke mana pun Kutu bersembunyi akan dicari. Nggak peduli apakah itu harus manjat pohon ataukah tidak. Aku harus mendapatkannya, pikirnya.
“ Nah, bagus. Ternyata kamu sembunyi di sini. Aku nggak harus bersusah payah mencarimu lagi !” kata Semut Merah yang mengetahui jejak persembunyian Kutu di sela-sela kayu di sekitar lahannya sendiri.
Kutu sudah tekepung. Ia tidak berkutik lagi dan mengangkat tangannya ke atas. Ternyata di sekelilingnya telah berdiri keluarga semut.
“ Maaf, Bang Semut. Aku salah. Aku yang telah merusakkan semua hiasan adikmu. Maaf, jangan pukul aku !” akunya.
“ Bagus. Walaupun kamu telah meminta maaf, bukan berarti hukuman tidak diberlakukan terhadapmu. Hukuman itu tetap aku jalankan. Kamu harus menerimanya, karena itu kesalahanmu, mengusik ketenangan hidup warga lain.”
“ Ya, Bang Semut, aku terima apa saja hukuman yang kalian berikan,” jawab Kutu dengan tangan terborgol.
“ Ingat, Kutu. Hukuman yang aku berikan akan berlangsung seumur hidupmu. Kamu harus bekerja untuk keluargaku. Kamu tidak boleh membantah. Satu lagi, setiap selesai kerja dan mendapat hasil, kamu harus setor kepada kami !” jelas Semut Merah.
Kutu pun menerima hukuman akibat perbuatannya sendiri. Dia menjadi sapi perahan, peliharaan, sekaligus budak si Semut Merah.
Itulah mengapa Kutu harus menyerahkan sebagian hasil keringatnya berupa embun madu untuk keluarga semut. Tetesan embun madu yang dihasilkan Kutu pun tetap dimakan Semut hingga sekarang.

Selamatkan Jiwanya

Suatu hari bumi mulai sedikit basah. Aku melihat seekor burung menyanyi sendiri di dalam kurungan. Tidak sama dengan yang kulihat di rumah pamanku. Mereka terbang bebas di sangkar yang besar di belakang rumah. Yang ini tidaklah demikian. Sebentar kepalanya ditundukkan, lalu sayapnya dikepak berulang kali. Gundah hatinya terus menjadi-jadi. Ia ingin mencairkan jerit tangisnya namun tidak kuasa. Jangankan saudara-saudara sekandungnya, tenaganya saja tidaklah mampu menerjang benteng yang begitu kuat dan kokoh. Kokohnya benteng itu mungkin sekuat karang di tengah lautan. Seakan tidak bergeming walau dihantam badai sekalipun.
Adik-adikku manis, dia meronta-ronta seperti itu mungkin minta bantuanku agar bisa bebas hidup mandiri seperti saudaranya yang lain. Aku sedih sekali, teman-teman. Bagaimana perasaan kalian seandainya teman-teman dikungkung seperti itu ? Sedih, bukan ? Aku yakin kalian pasti merana juga. Air mata tentu membanjiri bumi kasih sayang-Nya.
Begitu pula dengan burung yang kulihat. Kesedihan kita juga dirasakannya. Hidup sunyi menyendiri ibarat hidup segan mati pun tak mau. Harapannya kelak bisa berteman banyak kini lenyap sudah. Hanya melamun saja kerja yang bisa dibuat. Terheran-heran melihat diri bersayap namun tak bisa terbang jauh. Pilu hati terus membubung menatap kertas beterbangan ditiup angin kencang.
Adik-adikku yang pemurah senyum. Keadaan hari itu seakan bertambah genting. Bumi terus diguncang dengan badai dan tiupan angin kencang diselingi cicit anak ayam yang ingin disuapi induknya. Rumput-rumput kayaknya ikut bergoyang. Pohon-pohon kayu besar sepertinya mau tumbang. Sebentar kemudian lolongan anjing menyibak lamunan melemparkan angan-angan yang mungkin tak tercapai. Sebab kurungan itu bukanlah milikku. Isinya itulah yang membangkitkan amarahku, namun tidak kuasa berlari untuk menggapainya, kemudian melepaskannya supaya sahabatku bisa bersenang ria. Karena aku orang yang tak punya.
Tentu adik-adik maklum pada keadaanku. Tiada yang ingin kukejar selain kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya untuk diriku seorang, melainkan juga untuk lingkunganku. Kebahagiaan yang hanya bisa diraih dengan kemauan dan usaha maksimal. Kebahagiaan yang tidak memandang dari segi materi, melainkan kebahagiaan yang dipandang dari segi nurani manusia. Manusia seperti kita-kita ini. Manusia yang sadar akan dirinya sebagai manusia. Dengan kesederhanaan itu pula aku ingin mencoba menolong temanku. Teman yang betul-betul mengharapkan keringanan langkah dan jiwaku untuk membebaskan dari belenggu yang berkepanjangan. Maukah adikk-adik membantuku ?
Di pembaringan yang amat sederhana, mataku tidak bisa dipejamkan. Meski sudah kuusahakan, namun tidak juga mau terkatupkan. Irama dan kepiluan hati temanku terus menyusuri lorong kecil tempat tinggal sahabatku.
Ketahuilah adik-adik, tangan-tangan kecilku seakan-akan diajaknya menari untuk memberinya makan. Pikiranku galau dan semakin kacau. Kacau sekacau-kacaunya. Melilit dan melintir-lintir. Ingin sekali aku meremas-remas kepalaku saat itu, merobek-robek dan memukul-mukul diriku manakala tak bisa........ Ah, aku kesal sekali. Mengapa dia kutinggalkan seorang diri ? Huuuuuu, kakiku kelihatan tidak sabar lagi guna mengajak jiwaku ke rumah saudaraku itu. Tak dinyana dan tak pula disangka-sangka bening-bening hangat mulai memecah di dermagaku yang agak tinggi.
Hatiku kian hancur berkeping-keping, perih, pedih sepedih-pedihnya. Lebih pedih lagi ketimbang diiris dengan sembilu. Duh, hancur sudah harapanku. Tetapi, ah......tidak boleh demikian. Kepingan dan jeritan hati terus menghujam tatkala kulihat sahabatku untuk kesekian kalinya di rumahnya sudah tidak tertinggal jejak. Ke manakah dia pergi ? Apakah dia sudah tidak mau lagi berteman denganku ??? Mungkinkah dia digondol maling ? Atau......??? Ah, entahlah. Sebab kedua mataku tak sampai menatap sedemikian jauhnya. Karena kesal, kuajak kedua tungkaiku berlari kecil kembali ke pondokku.
Hati kecilku semakin luruh dan terperanjat berjuntai seribu duka berkepanjangan. Betapa tidak, hujan bergelanjut terus menghempas dan menerpa bumi mengantar pikiran yang tak menentu. Menyelimet, membelit seribu belah, tidak terbatas dan tidak pula bertepi.
Di situ, dekat pasar ikan, nongkrong sahabat sejati. Ternyata dugaanku benar adanya. Dia sudah berpindah tangan. Di tangan kasar ia tertampung. Penjual-penjual yang lagi diserbu nasib untung besar. Tak memikirkan nasib orang yang lagi bingung.
Di tempat itu sahabatku dikerubuti orang. Silih berganti mereka menawar harga pas agar kelak tidak rugi melilit dahi. Untukku......? Ah, rasanya bumi ini mau pecah. Tahulah sendiri, di rumahku tidak lagi tertinggal nyawa sedikitpun. Sepertinya jantungku mau copot. Detaknya semakin kencang bagai dikejar-kejar anjing liar yang siap menerkam mangsa di depan mata.
Ke mana lagi aku harus mengadukan nasib, teman-teman ? Kepadamukah..atau kita sama-sama menanggungnya, bagaimana ?
“ Pulang saja !”
“ Pulang ?”
“ Ya, pulang. Untuk apalagi kau di situ, sedangkan........”
“ Kalau itu yang kalian inginkan, boleh juga. Kalian mau ikut menemani ?”
“ Jauh atau tidak ?”
“ Kalau jauh, mengapa rupanya ?”
“Aku tinggal di pasar. Kamu yang pulang sendiri. Hujan belum juga reda. Lihatlah, masih deras. Jangan-jangan kepalaku pusing nantinya.”
Kutinggalkan tempat itu. Kukayuh kencang langkahku sekencang larinya kijang. Kupercepat dan semakin kupercepat layak seorang pembalap yang ingin meraih gelar juara. Akibatnya nafasku tersenggal –senggal bagai musik yang sedang kejar-kejaran. Keringat mengucur deras ibarat air kali mengalir ke muara. Seketika itu pula, mataku sedikit memerah menahan duka. Rasa memiliki seakan sirna sudah. Ibarat punai di tangan terlepaskan meski telah di depan mata. Tetapi, untunglah Yang Maha Kuasa masih meninggalkan sisa-sisa celenganku di lemari. Tidak banyak memang, namun cukuplah kurasa. Kuraih dan kumasukkan ke saku tanpa kuhitung-hitung lagi.
Si pengguyur bumi sudah menghentikan aksinya. Ramahnya pun menguak ke permukaan. Karenanya aku bisa sedikit lega. Tidak pula harus pusing tujuh keliling hanya karena tidak memiliki payung mantranya hujan.
Nah teman-teman, nafasku naik turunnya telah rada teratur juga. Denyut nadiku pun telah stabil seperti sediakala. Kata dokter, kalau sudah begitu tentunya darah kita telah berjalan normal pula. Cuma keberuntungan belum mau singgah di dermagaku yang telah menanti penumpang. Penumpang-penumpang kaya semuanya telah memesan tempat sehingga aku yang papa ini tak kebagian. Semua terbang dibawa angin kencang. Burung-burung pada laku terjual. Tiada sisa sedikit pun untukku. Nggak kasihankah kawan-kawan padaku ?
Teman-teman, panas hari itu kian tinggi. Tawa canda para penjual burung terus membahana seakan dialah yang hebat. Musik ringan radio pedagang lain memberi suasana baru pula. Si penjual ada juga yang bersiul kecil –kecil mengiringi irama musik kegemaran. Sampai-sampai ada pembeli lain yang tak digubris. Bahkan aku tak ambil peduli pada mereka. Kucari dan terus kucari sahabatku. Ternyata, ia telah lepas dari genggaman tanganku. Aduh, kekecewaan itu tidak mau juga hengkang dari tempatku bermadah. Sahabat sejati telah beranjak jauh. Jauh sekali. Aku pun tak tahu ke mana perginya. Yang kutahu, ia pasti lenyap di tangan peminat burung yang lain.
Wahai sahabatku seiman dan seperjuangan.........! Kau boleh teguk kenikmatan yang kau inginkan tetapi hilangkanlah kekerasan jiwamu yang dapat merobek-robek makhluk yang ingin bebas. Kau boleh memilikinya namun selamatkanlah jiwanya. Jiwa yang tidak mungkin kita memilikinya. Jiwa yang hanya ada di alam bebas. Jiwa berjiwa yang berlagu manusia di pucuk-pucuk pinus yang siap merentangkan sayap kenikmatan tiada bertepi.
Oi...... sahabatku senusantara. Selamatkanlah dia yang hampir punah derita ditelan masa. Jangan kungkung dia bila tidak ingin balasan mampir di dada. Jangan, jangan sampai siksan-Nya menyelimuti diri ini datang lebih dini. Selamatkanlah..........selamatkan........selamatkan...........semoga ia bahagia.

Akhir Sebuah Penyesalan

Malam kian dingin menggigit-gigit, meremas, merobek kulit anak adam. Hujan dan guntur datang bergantian, mengiringi langkah gontai manusia serakkah kenikmatan. Langkah gontai semakin kencang bergerak merengkuh namun kaki tak kuasa menahan tonggak yang menancap. Hati menjerit melolong keras, namun tak ada yang dengar. Jiwa meronta dan memaki-maki diri sendiri.
Kenapa.....? Kenapa bisa begini......? Kenapa begini jadinya.........? Kenapa........? Oh...oh....! Aduh........., aduh........, panas........!!! Jangan........jangan........!
Mereka sibuk cari teduhan ke sana ke mari. Berlari-lari mengejar-ngejar, namun yang dikejar nggak mau berhenti maupun menoleh sedikitpun. Berlari dan terus berlari. Mereka berlari mencari titik embun penghilang dahaga. Kecuali sepasang lebah yang tengah memadu kasih.
Sepasang lebah tengah duduk bersantai ria. Keduanya bercanda tawa, mengelus-elus dada.
“ Untunglah kita tidak terbuai ya, Ma !”
“ Sejak kapan, Pa ?”
“ Ya, sejak dulu, waktu kita masih kecil dan sampai kita berkumpul di tempat yang megah ini. Kalau tidak, entah apalah jadinya diri ini. Belum lagi dosa yang kita pikul. Semuanya akan minta balas sama kita.”
“ Coba Papa lihat, mereka tengah minum apa, arakkah itu ?”
“ Betul, Ma. Yang di sana, lihatlah mereka sedang makan makanan yang dikerubungi lalat.”
“ Hi.........hi........., jijiknya......!”
“ Ngomong-ngomong tentang itu, aku jadi teringat kejadian masa lalu.”
“ Apa itu ?”
“ Pokoknya siiip......!!!”
Suatu ketika, sepasang lebah tengah dirundung malang. Hari-hari mereka selalu diliputi kesedihan dan kedukaan. Hari-hari mereka sendiri tiada yang menemani. Kasihan sekali. Sudah sekian lama menantikan buah hati, namun belum juga dikaruniai anak.
“ E...........e..........e..........eg, Ma, jangan ngomong, kita kan sudah diberkahi. Buktinya kita sehat, tidak melarat, makan seharipun rasanya cukup.”
“ Papa tahunya enak saja, tetapi aku yang merasakan ........ Masak sudah dua belas tahun berkeluarga belum juga punya momongan, eh keturunan. Orang lain, baru berkeluarga empat bulan sudah punya gendongan. Ayo dong, Pa........ cari anak, mungut anak kek, atau apa gitu !”
“ Emangnya mungut anak itu gampangan apa......?”
“ Hu......, Papa sih, nggak sayang sama aku lagi ya.....?”
“ Bukan aku nggak sayang sama kamu, cuma Tuhan belum mgnizinkan kita punya ....!”
“ Ala........., sudahlah, bosan aku, apa-apa mesti bilang kayak begitu. Hu......,lihat saja besok, aku mau ke gunung....!” tantangnya.
“ Emangnya gunung bisa ngasih apa....? Gunung saja diam membisu, e........malah kamu mau minta. Senget kali ye...!!”
Si istri diam. Dia nggak mau ngomong. Sebab kalau ngomong terus, bencana kan runyam, api akan semakin membara dan kian membesar.
Lama setelah itu, mereka mendapat anak. Banyak sekali, nggak tanggung-tanggung. Aku saja nggak bisa menghitungnya. Kalau kalian bisa, hitung saja sendiri. Saat itulah beban yang mereka pikul kian berat. Tak sanggup badan memikulnya. Namun ada anak yang tertua. Dialah yang mengatasi semuanya dan sukses tentunya.
“ Pesan Bapak, kalian jangan sekali-kali cari makan di tempat yang kotor, kalian hidup tidak sendiri.”
“ Siiip..........! Jika perlu, kami akan berkorban demi yang lain.
Suatu ketika, anak-anak lebah pergi merantau dipimpin raja dan ratu. Tujuannya hutan lebat dan banyak pohon buah-buahan. Mereka akan bergotong royong membantu yang lemah, meringankan beban orang tua. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Satu disakiti, maka yang lain pun merasakan. Itulah prinsip hidup mereka sebagai satu tali persaudaraan.
Setelah memperoleh informasi ada rakyat yang berpesta pora, ratu dan raja memerintahkan anak buahnya ke sana. Mereka berbondong-bondong ke atas bukit.
“ Wou, mereka tengah pesta. Lihat, anjing-anjing itu sedang teler, musang-musang pun ikut. Mereka berdansa, minum-minum arak yang memabukkan. Bergandeng tangan, berhappy-happy. Rasanya dunia ini milik mereka ya, Bang.........?”
Adik-adik, kalian jangan tergiur akan kenikmatan mereka itu. Yang mereka kerjakan semuanya kotor. Lihat, sudah ada minuman bersih, masih mau yang kotor, dan makanan yang telah tersedia di rumah, kok kiranya masih kurang. Rakyat itu nggak tahu bahwa sebenarnya mereka tengah menikmati siksaan. Teler dan berkawan setan. Mamak dan bapak bilang..........
“ Aduh........., aduh.........., maafkan aku........! Kalau tahu begini jadinya, begini siksaannya, aku tak mau berbuat kayak dulu. Oooooooh, menyesal aku........, menyesal sekali.......! “
“ Hei lebah-lebah, bagi-bagilah minuman ! Mengapa kalian bisa menikmati makanan dan minuman yang begitu lezat ha..........??! Bantu kami beri payung itu, ayo beri.....! Panas rasanya, tolong.........!!!!”
Mereka minum minuman panas lagi menyala-nyala. Mereka yang serakah hidupnya dulu, kini mengalami nasib sial. Sial sejadi-jadinya.
“ Hai Raja, mengapa tidak Engkau bilang dulu pada kami kalau tempat ini begitu ngeri........? Kami minta, kami minta antar kami balik ke sana, biar kami bisa berbuat seperti lebah itu...!”
“ Mengapa kamu tanyakan itu ?”
“ Kami menyesal sekarang. Kami menyesal, beri kami tempo, Raja........!!”
“ Maaf, sudah terlambat, nasi sudah membubur untuk apalagi dijadikan beras. Rasakan balasannya !”
E.........e...............e....................eheg...........! Mereka menangis namun tidak berguna lagi.

Pohon Ek dan Seekor Tupai

Dahulu, sudah lama sekali, dalam sebuah hutan hiduplah sebuah pohon. Pohon itu sering disebut pohon ek. Batangnya tinggi besar menjulang. Daunnya hijau melebar nan panjang.
Di situ pula tinggal juga seekor Tupai Tanah. Ia tengah berkeliling-keliling. Si Tupai Tanah mendengar suara tangis yang memelas jiwa. Rintihnya keras melengking tinggi. Ou...ou, kasihan sekali, pikirnya.
Tupai Tanah menghentikan langkahnya. Kedua telinganya dibuka lebar agar dapat menangkap jelas-jelas suara itu. Lebar sekali kayak lebarnya sebuah parabola bisa menangkap siaran mancanegara. Sesekali kupingnya digerak-gerakkan. Untuk memastikan suara itu, ia pun memanjat sebuah pohon yang cukup tingi.
Dari puncak pohon nan tinggi itu, ia melihat ke sekelilingnya. Matanya sedang mencari-cari. Tatapannya begitu tajam.” Wou.........,wou.........., di sana, di sana,” teriaknya kecil. Ternyata, biarpun jauh, dia bisa melihatnya dengan matanya yang sangat besar. Hebat sekali.
Setelah turun, Tupai Tanah menuju pohon yang dilihatnya tadi. Langkahnya begitu cepat. Ia melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Sekejap saja telah tiba di tujuan.
“ Hei mengapa engkau kurus sekali ?” tanya Tupai Tanah heran.
“ Ya beginilah nasibku. Aku begini karena ulah seorang yang tak bertanggung jawab,” jawab Pohon Ek.
“ Kasihan sekali kamu. Kalau boleh aku tahu, diapakan kamu rupanya ?”
“ Malam itu aku dikerjainya. Tubuhku dicongkel dan diberi garam. Karena keasinan, ya begini jadinya. Hidupku jadi merena, tolong aku sahabat !” pinta Pohon Ek penuh harap.
Tanpa pikir panjang lagi, si Tupai Tanah menolongnya. Ranting-ranting kayu yang kering dikumpulinya. Sekelilingnya digemburkan dan ditimbunnya dengan sampah-sampah kering yang berserak di situ. Nggak cuma itu, ia pun mengambil air di kali yang tidak jauh dari tempat Pohon Ek berdiri. Air itu dibawanya dan disiramkan ke tubuh sahabatnya yang sedang sakit.
“ Makasih sahabat, engkau baik sekali. Sudah berbilang hari ini aku tidak minum. Untung ada kamu, kalau tidak ada, apalah jadinya diriku ini. Begitu baiknya dirimu seindah warna hitam dan krem yang menghiasi matamu,” ucap Pohon Ek kepada Tupai Tanah.
“ Ah, biasa kok. Kita hidup kan harus saling menolong,” sambut Tupai merendah.
“ Sahabat, sebagai balasannya, engkau kuberi hadiah. Engkau boleh makan yang kumiliki. Petiklah buah yang ada di tubuhku, sesukamu !” ucap Pohon Ek yakin.
Betapa bahagianya Tupai Tanah mendapat rezeki yang demikian banyak. Biarpun sahabatnya kekeringan, namun buahnya tetap saja ada. Dipetiknyalah buah ek, dimakan, dan sebagian lagi dibawanya pulang.
“ Terima kasih, aku sudah diberi hadiah,” kata Tupai Tanah sembari memasukkan buah ek ke mulutnya sehingga pipinya tampak gemuk dan ia pun berlari kencang ke biliknya.
Malam harinya terjadi suatu keanehan. Tupai Tanah terkejut setengah mati. Ia didatangi bidadari yang sungguh cantik. Dalam tidurnya itu, bidadari mengharapkan bantuan si Tupai Tanah agar tidak membuang ranting alias tubuh Pohon Ek.
“ Wahai Tupai yang baik. Jangan kau sia-siakan ranting itu. Ranting itu bermanfaat sekali bagimu. Ambil dan bawalah pulang. Engkau harus menumbuknya, lalu masaklah !” kata bidadari kemudian menghilang.
Pagi harinya Tupai Tanah tersadar. Tanpa mandi atau cuci muka, ia pergi ke tempat sahabatnya. Ranting kayu yang tadi dikumpulinya dibawa pulang. Setibanya di rumah, ia melaksanakan apa yang ditemuinya dalam tidur. Ranting kayu itu ditumbuknya dan dimasak. Wou, betapa terkejutnya ia. Bubuk kayu berubah jadi bubur. Enak..., katanya waktu mencicipi bubur masakannya. Bubur itu kemudian diolahnya menjadi roti yang sangat lezat rasanya.
“ Kalau begini kejadiannya, aku akan panggil saudaraku yang lain, biar mereka semua turut menikmatinya,” ucap Tupai Tanah bangga.
Beberapa lama kemudian.
“ Hai Tupai Tanah, kemarilah. Aku ingin kabarkan sesuatu kepadamu !” teriak Pohon Ek memangil-menggil Tupai Tanah yang sedang berkelana.
“ Ada apa ?” tanya Tupai Tanah heran.
“ Terima kasih untuk yang kedua kalinya. Lihat, di sepanjang jalan yang engkau lalui, telah banyak tumbuh keturunanku. Itu berkat kebaikanmu, ” pujinya.
“ Mengapa denganku ?” tanya Tupai tanah lagi.
“ Karena, sewaktu engkau makan sambil pulang kemarin, sisa yang kau buang itu telah berubah menjadi tunas-tunas baru. Aku bersyukur karena Tuhan telah memperbanyak keturunanku dengan bantuanmu !” puji Pohon Ek sekali lagi.
“ Bagus, bagus. Kalau begitu, aku akan melakukannya sepanjang hidupku, biar keluargamu semakin banyak,” janji Tupai Tanah.
Sesudah kejadian itu, Tupai Tanah merenung diri. Renungannya amat dalam dan penuh makna. Otaknya diputar-putar. Kepalanya terus memikirkan sesuatu. Akal cemerlangnya pun datang.
“ Hai sahabatku Pohon Ek. Mengapa tubuhmu bisa begini keras dan kuat ? Boleh aku tahu rahasianya ? Ceritakan dong kepadaku, mungkin nanti aku bisa membantumu lagi,” kata Tupai Tanah.
“ Baiklah, aku akan katakan kepadamu tentang diriku, semuanya. Tubuhku ini kuat dan keras karena aku banyak makan. Sari makanan yang kau timbun ke diriku tempo hari, itulah yang kusantap. Nah, sebagai gantinya, sekarang kau boleh mengambil batangku. Tetapi ingat, jangan kau habiskan, sisakan sedikitlah, biar dapat bertunas lagi.”
“ Untuk apa semua itu ?” tanya Tupai Tanah penasaran.
“ Malam nanti juga engkau akan tahu,” jawab Pohon Ek tenang.
Malam harinya Tupai Tanah nggak bisa memejamkan mata. Hatinya gundah, apa benar yang dikatakan Pohon Ek itu nanti. Tetapi, setahan-tahannya ia bergadang, akhirnya tertidur juga.
Untuk kedua kalinya Tupai Tanah bermimpi. Mimpinya kali ini lain. Yang datang bukanlah bidadari, tetapi makhluk aneh. Tubuhnya tinggi lagi kuat. Si Tupai Tanah dicengkeramnya. Ia mengaduh kesakitan, makhluk itu bilang, “ Kamu jangan takut. Apa yang dikatakan sahabatmu itu benar. Tubuhnya bisa kamu pakai untuk dinding rumahmu, bisa juga untuk lantai rumahmu.”
“ O......ya !” sahut Tupai Tanah. Matanya terbuka, namun si makhluk aneh itu sudah tidak ada di depannya lagi. Keherananlah yang ditemui si Tupai Tanah, “ Aku nggak mungkin membangun rumah dengan kayu ek, tidak. Rumahku kan di antara batu-batu, di dalam lubang lagi. Lucu ya........? Tetapi , enggak apalah, biar bukan untukku, kan yang lain bisa membutuhkannya. Nah, lebih baik aku jual saja di pasar !”
Sejak saat itu jadilah Tupai Tanah pedagang mebel antik dan malam harinya menjadi penjual roti dari kayu ek. Wou........, jadilah ia Tupai Tanah yang kaya mendadak, namun tidak pernah menyombongkan diri, sebab ia juga kerap menyebarkan benih pohon ek di tempat yang sering dilaluinya.
“ Terima kasih, Tupai Tanah. Engkau memang sahabat sejatiku !” kata Pohon Ek sambil melambaikan tangannya yang besar ditiup angin kencang.
“ Terima kasih juga. Engkau juga baik kepadaku. Karena engkau, aku bisa bangun rumah dan membuat mebel sampai sekarang,” ujar Tupai Tanah bangga.
Keduanya berpisah sembari meninggalkan nama yang baik untuk semua penghuni bumi ini.

Merajut Benang Persaudaraan

Aku punya ayam banyak sekali. Ada jantan dan betina. Mereka riang sepanjang hari. Hidup berteman berkasih-kasihan. Bertolong-tolongan dalam suka dan duka. Berbaik hati dan tidak pula iri hati.
Ayamku Lurik namanya. Tubuhnya berwarna-warni. Temannya juga banyak. Ada si Putih, Hitam, Merah, dan si Belang. Semua gembira bisa bermain bersama. Sekali waktu mereka terbahak mendapat makanan lezat tak terbilang.
“ Oi...mak, kalau begini terus, bisa kaya mendadak kita nanti. Dapat sedikit berbagi-bagi, apalagi banyak, tentulah bersuka hati.” Begitulah pikiran teman-teman sekapal, riang dan bernyanyi menjadi santapan sehari-hari.
Si Lurik bertubuh kecil. Giat bekerja dan suka membantu. Membantu sesama warga sangatlah digemarinya. Terlebih kepada keluarga sendiri. Enggak pernah bikin ribut. Nggak pernah bikin susah orang tua. Sedari kecil, ia menurut kata-kata orang tuanya. Nggak pernah membantah dan tak banyak permintaan. Apa yang disediakan ayah dan ibu, itu yang ia makan. Sebab, ia tahu itulah rezeki yang ada.
Pagi-pagi sekali si Lurik sudah bangun. Kalau bangun, ia nggak pernah dibangunkan orang tuanya. Bahkan ia pula yang jadi penghulu dalam keluarga. Begitu bangun, si Lurik langsung sujud kepada Tuhan. Dengarlah, Dik, puja-pujinya.
“Kukuru...yuk...!Kukuru...yuk..!Kukuru...yuk !”Begitu syahdu doanya. Merdu terdengar bertalu-talu. Rintihan doanya terdengar kemana-mana. Sampai-sampai ia menitikkan air mata kerinduan, ketakutan, dan kesedihan.
“Oi..manusia..!Oi..manusia..!Bangunlah...bangunlah!”Begitu kira-kira ucapannya.
Sadarlah kita bahwa dia itu sayang sama kita. Si Lurik sayang karena dia takut nanti siksa pedih Yang Kuasa mampir menggerogoti jiwa berjiwa. Lebih cepat dari perkiraan semula. Bagitu baiknya ayamku, ayam kita, ayam kamu. Sampai kini pun orang-orang masih suka kepadanya.
Semua orang menyukai Lurik. Suaranya yang merdu bagai nyanyian bekisar. Nyanyian-nyanyian rindunya bikin orang berebutan. Di pasar, di rumah, di mana-mana, semua mencarinya. Mencari daging gorengnya. Merasakan nikmatnya kuning telur keluarga Lurik. Oi..., betapa banyak telur-telur itu. Besar-besar dan kecil-kecil. Bulat lonjong dan berpipih.
Senja terus menepi. Si Lurik tetap menanti kekasihnya menghadirkan bayi mungil kepadanya. Hatinya gusar bercampur resah. Kini dua puluh satu hari telah bergulir. Sudah saatnya...Benar juga tebakannya. Si imut-imut nongol juga. Mereka riang diasuh bunda terkasih. Mereka bermain dan bercanda.Tepuk dada tanya selera.
“Ah, begini saja aku bahagia. Biar rumah sederhana, yang penting kesehatan terjaga. Pak, biarkanlah anak-anak bermain. Jangan kungkung mereka. Biarkan hidupnya bebas merdeka asal terus kita awasi ke mana mereka pergi !” kata si Ibu.
Suatu ketika rembang senja telah menyapa. Anak-anak telah berkumpul duduk menanti papa tercinta, tetapi si Lurik Kecil belum kembali juga. Si Bunda ingin menjerit keras namun tak kuasa. Hanya bapak yang sanggup.
Tetangga dekat berdatangan ke rumah. Mereka ingin menolong namun ke mana harus mencari.
“ Ke mana Bapak....? Ke mana Bapak ?” isaknya terus. “Dia masih kerja di tengah ladang, mencari makan untuk keluarga, kerjanya dari pagi hingga petang,” sahut anak tertua.
Itulah kerjanya nggak pandang siang maupun pagi. Yang penting, pulang kerja keluarga dapat makan. Sehat badan, sejahtera sepanjang waktu. Tetapi hari itu..........
Saat itu juga si Lurik keliling kampung. Dicarinya si buah hati. Oi..betapa terkejutnya ia. Didapatinya si Lurik Kecil tengah merintih duka. Di dekatnya menggelepar seekor ikan mujair minta tolong.
“Aku tak kuat menolongnya, Pak !” Tolong dia, Pak ! Kasihan dia, rumahnya tadi kebanjiran. Kasihan, Pak !” rintihnya memelas. Karena ibanya si Lurik ikut membantu mengangkat.
“Duh, terima kasih sahabat.Terima kasih, Mungil.!” katanya seraya menjabat tangan si Lurik Kecil. Mendapat jabatan tangan erat tersebut, si Lurik Kecil ikut bangga pula.
Kini, bertahun sudah keakraban mereka. Riang bermain. Sekali waktu si Lurik Kecil mengunjungi temannya. Begitu pula janjian bertukar. Mujair pindah ke rumah majikan Lurik Muda. Bentuk rumah lebih menarik. Terhias kembang warna-warni. Tanpa sengaja Lurik Kecil menghampirinya. Ia nggak tahu kalau telaga kecil itu rumah temannya saat ini.
Hari itu hujan turun gerimis. Tetangga sebaya banyak yang bertandang ke rumah Mujair. Si Lurik Kecil menyaksikannya. Membangkitkan keinginan untuk bermain pula. Satu, dua, tiga, mereka mencebur ke telaga. Hop..hop..hop...., asyik..!
Si Lurik Kecil nggak mau kalah. Ia melompat. Hop..hup...hup..e..e..eg. Tangisnya jelas. Ia merintih sampai sepi menjelma.Ia mau mengepakkan sayap namun tak kuasa, maklumlah sudah terlanjur basah. Kakinya juga tak punya sirip. Ya..sudah, nafas ngos-ngosan, mulutnya didongakkan hanya untuk menghirup udara. Kalau tidak, duh...
Menyaksikan pemandangan yang tak enak itu, Mujair langsung mendekat.
“ Kau.., kau..sahabat..?! “ katanya pelan.
“Hei,kau..kau .. Jair..?! Tolong aku, Jair. Kakiku...ah...nggak bisa kuangkat lagi ! “
“ Duh, kasihan.... kalau tak bisa berenang, jangan main-main !” kata Jair iba.
“ Tetapi, kawan-kawanku yang lain..?” tanya Lurik Kecil heran.
“ Lha, mereka kan punya pelampung. Kamu tidak. Ayo, sekarang berdirilah di punggungku. Aku akan antar kamu ke seberang !” pinta Jair lembut.
Si Lurik Kecil nongkrong di pundak Mujair. Selamatlah dirinya. Bahagia hatinya.
“ Terima kasih kawan. Engkau baik sekali padaku. Untung ada kamu, kalau tidak, nyawaku telah melayang jauh.” puji Lurik Kecil bangga.
“ Sama-sama, Lurik. Engkau juga sahabatku yang baik. Aku menolongmu karena aku tak ingin melihat kawan merana.”
“ Betul, Jair. Kita hidup harus saling...”
“ Membantu, kan ......?”
Keduanya tertawa riang sambil berangkulan merajut benang persaudaraan, meskipun berlainan jenis keturunan.

Sahabat Setia

Aku punya dua sahabat setia. Ke mana pun aku pegi, keduanya selalu ikut serta. Tak heran, banyak temanku yang jadi iri melihat kemesraan yang melekat di hati kami. Padahal kedua temanku itu nggak memiliki apa-apa. Mereka hanyalah binatang yang juga membutuhkan kasih sayangku. Namanya si Beruk dan Jalak.
Setiap hari aku selalu memberinya makan. Karenanyalah tubuh mereka tampak sehat, gemuk, bernyanyi-nyanyi, dan menari-nari keriangan bagai orang-orang yang melihatnya saat bertandang ke rumahku. Kebahagiaanku pun kian hari kian bertambah. Perasaanku berbunga menjulang langit melihat keduanya bersih dari noda. Soalnya, aku selalu memandikan keduanya saat masih kecil.
Bila malam tiba, sahabatku tidur berdua. Berdekatan bagai saudara kandung saja. Tirai biliknya pun sederhana. Cuma rumah kecil yang kuletakkan di belakang rumahku. Mereka begitu riang dan tidak pernah bertengkar.
O ya, adik-adik. Sahabat setiaku punya sifat yang berbeda. Si Beruk lebih suka makan kelapa dan jagung rebus. Dia paling nggak suka diusik tetangga yang bertandang saat dirinya sedang istirahat. Bila ada yang berani, sudah tentu sahabatku yang tak berekor itu akan marah besar.
Lain Beruk, lain pula si Jalak. Jalakku lebih suka makan jewawut dan mandi-mandi. Terkadang usil juga, namun nggak sempat membuat saudaranya marah. Kesetiakawannya pun tinggi. Entah dari mana dia dapat, aku nggak tahu. Tahu-tahu, jagung itu telah dimamah si Beruk.
Suatu ketika saat aku pulang dari sekolah, kulihat berukku termenung sendiri. Aku juga heran, nggak biasanya dia seperti itu. Padahal kalau kutemui, ia kerap kali tersenyum, menari-nari, melonjak tiada terkira. Jangan-jangan sahabatku sakit, atau mungkin aku lupa memberinya makan. Ah........., tidak juga. Lantas, mengapa dia termenung ya.........?
“ Adik-adik, tahu nggak ke mana si Jalak pergi ? Bantu aku dong, mau kan ?”
“ Baik, baiklah. Ayo, kita cari bersama-sama !”
“ Terima kasih, kalian baik sekali. Itu baru teman. Dengan begitu, kepiluan hati bisa sedikit terobati. Soalnya, aku sedang dilanda gundah, bingung, nggak tahu mau bilang apa.”
O...............ou........, hari telah mendekat senja. Mentari kayaknya telah mau tidur dan kerjanya akan digantikan temannya yang lain, si Bulan penjaga malam. Namun si Jalak belum kembali.
Kudatangi si Beruk. Kuelus tubuhnya, dia masih diam. Salah apalah aku padanya. Ruk, mengapa engkau diam saja ? Kuambil dia lalu kugendong. O..........o......o.....o........., baru ada perubahan. Sahabatku mulai jingkrak kecil mengitari diriku. Ditarik-tariknya tanganku. Kencang sekali pegangannya sampai-sampai aku hampir terjatuh dibuatnya. Sepertinya binatang kesayanganku itu hendak memberikan kabar baru kepadaku.
Apa yang kuduga ternyata benar, Dik. Aku dibawanya ke sekitar rumahku. Agak jauh memang, dekat kali Mencirim, di sela-sela semak di bawah pohon rambung.” Ouk...,” si Beruk berteriak memberi tahu.
Betapa terperanjatnya aku ketika itu. Jalakku tergeletak tiada daya seperti orang lumpuh nggak bisa berjalan. Gelisahku meronta, sedihku menguak menyibak sukma. Rasa ibaku berbicara seakan membisikkan telingaku untuk menolongnya. Sayap kecilnya teluka. Paha mulusnya memar. Matanya sedikit berair.
“ Mengapa engkau jadi begini sayang ? Siapa yang telah menembakmu ? Aku harus mengobatimu, Lak. Kasihan dirimu merana karena si Jahil yang tak punya rasa kasih. Kalau engkau begini terus, bagaimana makannya nanti. Aduh.........., teganya orang itu !” pikirku dalam.
Setibanya di rumah, dia kuobati dengan sangat hati-hati. Pelan-pelan sekali karena aku takut si Jalak merintih menahan sakit yang tak terbilangkan. Tanpa sengaja, si Beruk menggelendot di pundakku. Butir salju pun menghiasi kelopak matanya.
“ Maafkan aku sahabat, maafkan aku, aku tak bisa menolongmu !” ucapnya lirih.
Sehari, seminggu, dan sebulan berlalu. Jalakku belum sembuh dari sakitnya. Hatiku semakin sedih, Berukku pun ikut pilu. Melihat sahabatnya terkapar begitu lama, nafsu makannya pun mulai berkurang. Dia lebih senang menunggui sahabatnya yang terbaring lemas. Berkali-kali telah kucoba memberinya makan, namun ia masih enggan. Minum pun hanya sekali-sekali saja, nggak congok seperti biasanya. Akhirnya si Beruk kurus dan kian kurus tidak gemuk kayak dulu.
Dua hari kemudian jalakku mati. Si Beruk semakin menggila, meronta-ronta, menarik-narik rambutku. Mendung pun terus menutupi mentari. Bumi gelap nggak bercahaya kayak muka berukku yang tak manis lagi. Sorot matanya kelihatan redup seperti lentera kehabisan minyak, kecil, dan semakin kecil, lalu buram dan nggak nampak. Tiba-tiba derai tangisnya bertambah keras begitu sahabatnya ditimbun dengan tanah. Mata melongo, mulut terkatup diam, hanya jemarinya menggoda keningku, seakan dia lagi berdoa demi keselamatan sahabatnya.
Adik-adikku manis. Sejak itu berukku semakin murung dan terus murung. Dia nggak menghiraukan dirinya semakin kering. Cinta pada sahabatnya yang membuatnya begitu. Main pun sekarang telah menjauh. Lihatlah, Dik. Kerjanya hanya memandangi gundukan tanah di belakang rumah. Diusap-usapnya tanah itu lalu disapukannya di kepala. Sedih sekali memang. Untung kalian tidak melihatnya. Kalau sempat lihat apalah jadinya.
Untuk menghilangkan kesedihannya, kuajak dia jalan-jalan sore mengitari kota. Mulanya sih tak bersemangat, lama-lama ceria pun tampak di wajahnya. Matanya tertuju pada sebuah sangkar di pusat pasar. Ditarik-tariknya bajuku. Ayo, ambil dia, ambil dia ! Cepatlah !!!!! Dia sudah nggak sabaran.
Betapa senangnya si Beruk begitu tahu aku menghadirkan teman baru di rumahnya. Anehnya, murungnya pun lenyap tak tertinggal jejak lagi. Makannya lahap bukan main. Bersoraklah ia tiada tara.
Benarlah apa yang dikatakan nenek kita bahwa binatang pun perlu teman untuk bertukan pikiran. Buktinya,Dik. Si Beruk menunggu Jalak baru dengan setianya. Dia nggak mikir berapa lama harus menantikan sahabatnya untuk bisa bermain bersamanya seperti sahabatnya yang dulu.
“ Yang penting, aku sudah punya sahabat sekarang, semoga setia seperti sahabatku yang dulu,” katanya pasti.

Loba Membawa Petaka

“Wah……..wah……….., bahagia sekali aku hari ini ! Kemarin hujan deras, sekarang panas mentari sedang-sedang. Kulitku nggak akan gosong........!” Srigala melonjak gembira. Dia melompat dan berlari kayak kesetanan.

Betapa tidak begitu, adik-adik. Karena sekejap lagi panen besar akan mampir di jidadnya. Ia akan memetik hasil yang melimpah dari kebunnya yang amat luas. Mungkin kedua belah matanya sebentar lagi akan berubah warna. Hijau tatapannya menghitung duit yang menumpuk menggunung tinggi. Suara gembiranya yang keras membangunkan seluruh isi kampung.
Hari itu semua penghuni hutan mengumpul di dekat kebun Srigala. Alangkah terkejutnya hati rakyat. Ternyata lolongan tadi cuma omongan besar Srigala. Rakyat yang berkumpul cuma bisa menatap buah-buahan. Jangankan memetik, mendekat saja tidak boleh. Duh, heran pun menganak sungai. Rakyat pada melongo juga takjub pada ketidakpedulian Srigala pada tetangga.
Sesaat kemudian, seekor lebah berteriak lantang.
“ Hei, Srigala......, lihat rakyatmu, mengapa tidak engkau pedulikan ......??!!!”
“ Masa bodoh, itu bukan urusanku !” jawabnya sinis.
“ Kikir amat kamu !” kata yang lainnya.
“ Ya, kamu terlalu pongah, loba, sekaligus tamak.”
“ Masalah tamak atau tidak itu kan urusan dapur sendiri.”ejek Srigala lantang.
“ Hu.....uuuuu.....uuuu ! “ Rakyat pada teriak sekalian mengumpatnya habis-habisan.
“ Hei kawan-kawan, kalian jangan gusar, bingung, dan ketakutan. Ayo, ikut aku ke kebun. Di sana kalian akan bebas menikmati hidanganku. Ayo........!! “ Lebah buka mulut agar saudara-saudaranya tidak berkecil hati.
“ Nah, Srigala. Coba lihat, lebah kecil, tetapi jempolan. Kalau kamu cuma berbadan besar kayak raksasa, namun hatimu nol besar........! Kamu kalah, Srigala, kamu kalah, kamu kalah........!” teriak ular.
Hutan perawan di lereng bukit Lauser sunyi lagi. Yang terdengar cuma gemercik air dedaunan yang jatuh ke bumi. Cicit burung kecil menyambut kepulangan mama tercinta. Rimbunan pepohonan kian menyeramkan rakyat yang lalu lalang namun tidak bagi lebah. Ia makin takjub akan kebesaran Maha Penguasa.
“ Ya Rabbi.....berkahilah limpahan rezeki halal bagi kami. Rezeki bersih tiada noda. Rezeki yang bisa dimanfaatkan bagi semua makhluk penghuni bumi.......!”
Nah adik-adikku manis. Nyata benar, doanya diterima Sekejap kemudian hujan turun dengan derasnya. Tumbuh-tumbuhan semakin subur makmur. Kemakmuran warga kian terasa. Lebih-lebih kebaikan lebah kepada tetangga yang dina papa. Semua berkumpul di satu kebun. Bekerja bergotong royong, bahu-membahu, membersihkan dan membangun istana lebah. Semua senang, gembira, dan bahagia. Tiada rasa kecewa di pundak mereka, sebab rezeki dibagi rata.
Selang beberapa bulan, Srigala datang ke wilayah Lebah bersama temannya. Kedatangannya tetap disambut hangat dan penuh persahabatan. Lebah dan anggota warga menyediakan makanan lezat untuknya. Dia pun diupah-upah, disanjung-sanjung, dan dihormati. Namun apa nyana, Dik ? Kebaikan mereka dibalas Srigala dengan sikap congkaknya.
“ Hei saudara-saudara, lihat diriku, kalian tetap menghormatiku, kan ? Kalian bodoh sekaligus tolol. Lebah, Kupu-kupu, Tawon, Kumbang, dan Burung-burung, ngapain kalian kerja keras di sini ? Lihatlah kebunku, sekakejap lagi akan panen. Aku akan menjadi kaya mendadak. Ha.....ha......ha........! Besok, besok , itu pasti......! Kebun kalian bagaimana ....?” tanya Srigala pada Ratu Lebah penuh sinis.

“ Ya, mudah-mudahan saja kalau Tuhan mengizinkan, insya Allah kita akan sama-sama memetik hasil,”sahut Lebah rendah.
“ Ah, nggak mungkin, nggak mungkin. Aku nggak percaya, sedangkan sekarang saja masih pentil semua. Mana mungkin ! Kalaupun jadi, kalian ke manakan buah-buahan itu ? “
“ Tentu saja akan kami sumbangkan kepada yang membutuhkan !” jawab Ratu Lebah tenang.
“ Wah, bodoh amat. Mengapa tidak kalian jual dan uangnya kau simpan ?” tanya Srigala lagi.
“ Untuk apa, kan lebih berkah kalau kita bagi semua rezeki itu, biar mereka turut merasakan yang kita rasakan !”
“ Hu......uu......, dasar tolol. Kalau aku, tidaklah yau.....! Oke, selamat tinggal Lebah tolol ! Ye hui..............!”
Srigala yang berego tinggi itu pun berlalu begitu saja. Lebah-lebah dan warga lain cuma bisa menatap heran melihat tingkah polanya.
“ Kok begitu kikirnyalah dia !” ujar semut.
“ Ya, semoga saja Tuhan memberi petunjuk dan bukti nyata kepadanya agar dia tidak loba lagi.”
Nah, adik-adik manis. Malam kian larut. Srigala dengan tenangnya ngorok. Ia tiada lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Dia pun terus berkhayal dalam lelapnya.
Sementara itu, di kebun Lebah sedang ramai. Warga pada bersimpuh sembari berdoa memuja-muji kebesaran Tuhan. Harapan mereka doa kebesaran itu bisa dikabulkan. Semoga warga bisa menikmati hasil kerja keras selama ini. Semoga saja begitu.
Pagi harinya Srigala terbangun. Herannya bukan kepalang. Marahnya pun kian memuncak naik.
“ Mengapa, mengapa ladang gandumku mati ........?? Siapa yang bikin ulah begini ha......?? Apakah ada makhluk lain yang merusak kebunku ....?? Hei, siapa yang telah memporakporandakan ladang gandumku......? Ini pasti kerjanya pasukan Lebah, lain tidaklah. Aku harus beri perhitungan !” teriaknya sambil menghunus parang yang tajam dan putih bersih lagi mengkilat.
Setibanya di kebun Lebah, Srigala mengumpat sejadi-jadinya.
“ Hei pasukan serakah, ayo......unjukkan gigi kalian yang telah beraninya merusakkan kebunku. Ayo......!” tantangnya dengan menghunus senjata yang dibawanya.
Lebah dengan sabar coba meladeninya.
“ Wahai saudaraku, mengapa gusar benar hatimu ? Kamu bilang ladang dan kebunmu hancur berantakan, apa betul .....?”
“ Ini pasti kerja kalian !” tudingnya.
“Ngak mungkin, sedari semalam kami kumpul di sini.”
“ Jadi, siapa ?” tanya Srigala ingin kepastian.
“ Aku cuma bisa kasih nasehat, itulah balasan padamu,sebab kamu selalu takabur. Tuhan tidak mau seperti itu. Nyatanya kamu sekarang sengsara kan ?” ujar Lebah merendah.
“ Oh, mati aku........! Siapa lagi yang akan menolongku.........?” katanya kecewa.
“ Okelah, kami akan membantumu sebisa kami. Tinggal dan menetaplah di istana kami ini !”
“ Terima kasih sahabat. Aku sekarang insyaf !” kata Srigala yakin.
“ Bagus, baguslah kalau engkau telah menyadari kesalahan yang telah diperbuat selama ini.”
“ Betul yang kalian bilang, sampai kini aku tetap makan makanan yang tersisa dari kalian. Itu pun karena kebaikan kalian semua.”
Lebah dan keluarganya tetap menerima kehadiran sahabatnya itu dengan penuh lapang hati.

Berkorban Demi Harga Diri

Musim kemarau berganti sudah. Rakyat nggak perlu sibuk mencari teduhan dan nggak repot cari pelepas dahaga. Kini sedang hujan. Warga berpayungan menuntut ilmu. Baik yang miskin atau kaya. Semua bekerja dan belajar agar tak menyesal nanti. Kodok-kodok dan ikan-ikan berteriak gembira. Bahagia bisa menikmati kemenangan. Cuma semut yang rada malu untuk keluar rumah. Soalnya, takut pada air yang melimpah. Langkah gontainya diikuti kambing yang lari terbirit-birit nggak tentu arah sebab ketakutan telah memuncak naik.
“ Si Kerbau bagaimana ?” tanya tetangga yang suka usil.
“ Wah, dia terlihat riang mandi-mandi dan menyenangkan dirinya sendiri. Inginnya hidup di atas penderitaan orang lain. Kalau dia telah berada di kubangan, otomatis ikan-ikan kecil yang berada di dalamnya seakan hilang nafas sekejap.”
“ Kasihan, kok teganyalah dia......!” kata burung pipit heran.
“ Wah, itu sih belum apa-apa bila dibandingkan dengan Singa. Dia akan terus menindas yang lemah, nggak pandang bulu, tua, muda, besar, kecil, atau si miskin yang menjerit. Semua disikatya, kecuali dari keluarganya sendiri. Mereka akan terus dibantunya sebisa mungkin !” ujar Kodok.



“ Benar yang dibilangnya. Kalau telah banyak keluarganya yang ia tolong, maka ia semakin lantang berteriak. Teriakannya mampu menembus hutan belantara, pujian pun segera singgah di pundaknya. Engkau baik, engkau baik, pantaslah jadi pemimpin,” kata Raja Hutan.
Mendengar kata penuh pujian itu, Singa cuma bisa mendelik dan cengar-cengir karena dia yakin tentunya raja hanya tahu menatap dari luarnya saja. Dari dalamnya bagaimana ? Cuma Singa saja yang mengetahuinya.
Suatu ketika, kodok, ikan, semut, kerbau, dan binatang lainnya tengah bermusyawarah. Musang dan konconya cari ulah.Musyawarah jadi berantakan nggak karuan gara-gara persoalan sepele. Semua kecewa, kesal, kegembiraan hilang seketika. Padahal, Dik, beberapa warga di antara mereka telah berjaya mengangkat nama baik warga menjadi terbaik antar rukun warga.
Hari itu suasana semakin kacau, rumit, dan berbelit-belit. Memang usul begitu banyak berdatangan, namun sayang, banyak pula yang ditolak mentah-mentah sama Bos Singa. Si Kodok hanya bisa berkoak tetapi nggak mampu berbuat banyak karena hidup di bawah ketiak tempurung. Ikan dan semut diam nggak berani buka mulut karena mereka rakyat kecil yang nggak pernah diperhitungkan.
“ Lantas, siapa yang akan melunakkan egoisme si Macan Bos itu ? “ Mereka bertanya-tanya dalam diri sendiri.
“ Kalau dibiarkan tindakan Singa yang tak memikirkan baik buruknya sesuatu, maka yang rugi adalah rakyat juga. Sia-sia mereka telah berupaya mengangkat nama baik warga namun tak bersambut kehangatan nan mesta. Apapun yang mereka kerjakan senantiasa dikatakan salah. Inilah hidup yang serba susah,” teriak ikan-ikan.
Saat itu muncul si Kancil. Dia coba menantang kebijakan Bos Singa dengan suara lemah lembut.
“ Hei Bos Singa, kita tak bisa memutuskan dengan bertepuk sebelah tangan. Hidup tidak sendiri, tetapi harus pula melihat kepentingan bersama. Mereka yang mengangkat nama kampung hutan sepatutnya kita dukung, bukan sebaliknya memperlambat kemajuan dan keinginan dengan menindas perlahan-lahan.”
“ Ala.........., pintar-pintaran kau. Yang mengatur di hutan ini kan aku, bukan kau. Semua keputusan ada di tanganku !” jawab Bos Singa lantang.
“ Memangnya keinginan bos bisa terpenuhi kalau kami enggan ? Mikir........, mikirlah, jangan mau menang sendiri. Perasaan orang dan tanggung jawabnya harus diperhatikan. Oke, okelah, seandainya kau mau, mungkin upaya yang dilakukan jauh dari hasil, bahkan mungkin semua akan diam membisu, dan Bos Singa akan ketiban pulung. Warga kita nggak akan maju. Kita juga akan dikucilkan dari segala kegiatan, “ balas Kancil mantap.
Adik-adik manis. Perkataan halus si Kancil bikin mumet ( pusing ) Bos Singa. Duduk salah berdiri pun salah. Ia bingung tidak karuan. Biarpun begitu, yang paling bingung si Ikan, Udang Kecil, dan Kodok. Soalnya, keberangkatan mereka telah di ambang pintu, namun uang makan belum juga ke tangan. Banyaklah macam alasan yang mencuat ke permukaan.
“ Maklumlah, kata si Kancil. Bos Singa kikirnya bukan kepalang. Kalau sudah begini, yang repot kita juga. Yang parahnya, kalau kalah kita disuruh pulang.”
“ Lantas, yang jaga warga kecil kita di medan laga siapa ......?? Emangnya kita harus lepas dari tanggung jawab.....?? Begini, kita harus pergi dan pulang bersama dengan kekuatan sendiri, ketimbang mengorbankan tanggun jawab, “ kata Ikan Teri mantap pula.
“ Benar yang diucapkan warga kampung. Kalau menang kita disanjung, kalau kalah nggak ada yang open. Dibiarkan merana begitu saja. Tetapi, kalau menang, itu kan karena aku, karena aku......! Si Bos Singa nggak ngerti kalau kemenangan itu diraih dengan perjuangan. Tanpa dukungan, mustahil kemenangan bisa diraih. Oleh sebab itu, kita harus bersatu. Biar dengan kocek sendiri, nggak apa, yang penting, harga diri masih utuh. Jangan dikira kita makan duit melulu. Biar mereka tahu, dengan kocek sendiri, kita mampu mencapai kemenangan,” ucap Kodok penasaran.
Mendengar semua itu, binatang hutan pada ngakak semua. Ha........ha......ha...... dan kemenangan itu memang nyata adanya. Terbuktikan.........????!!!!!

Kucing Kesayanganku

Aku punya kucing jantan. Tubuhnya tegap, berbidang, dan kekar. Sepanjang hari kerap kali ia bersimbah peluh. Bulunya indah dan menarik. Matanya tajam berbinar, senyumnya segar menawan. Langkahnya pun penuh perhitungan. Itulah kucing kesayanganku.
Kucingku sangatlah ringan tangan. Setiap pagi dia giat bekerja keras. Rajinnya enggak terbilang. Sampai-sampai ototnya yang bertulang besi pun tampak menonjol dan besar-besar. Kalau kubilang pun ya mirip kayak binaragawan betulan. Padahal bukan. He.....he......he......!!!

Begitu pula kalau mandi. Seperti kita-kita juga. Tubuh disikat, digosok, disapu-sapu hingga bersih benar kayak tegel bisa memantulkan cahaya bayangan kita.
“ Kilatlah ya.........?”
“ Pasti dong........! Menggosoknya pun tidak dengan batu, melainkan dengan lidah antiknya. Bayangkan,Dik, nggak ada tersisa sedikitpun. Karenanyalah tubuhnya jadi sehat tiada sakit yang mengusiknya.
Adik-adik, mau kan mengikuti jejak kucing kesayanganku ? So pasti. Kalau tidak, tubuh kita kan berdaki, kumal, dan mengerikan. He........he........he........!
Anehnya, Dik, jika telah bersih, kucingku kan terbahak sendiri sembari ngoceh minta makan. Kalian mau membantunya nggak ? Pasti mau kan ? Kalau enggak, ya kelewatan. Masak kita mau makan sendiri.
Begitu makanan telah terhidang di depan moncongnya, mukanya pun berbinar, berseri, bercahaya, dan berkaca-kaca menyiratkan keriangan. Senang pun ikut berbicara, menyeringai, bertepuk- tepuk dada sendiri, menyertainya kemana pun dia pergi. Nggak ada lagi yang mengganggu hidupnya sebab kucingku enggan mengusik ketenangan jiwa tetangga lain. Itulah prinsip hidupnya yang dengan mantap digenggamnya hingga saat ini.
Suatu hari ada tetangga yang bertandang ke rumahnya. Mukanya kusut seribu belah. Pipinya penuh noda pulau kerjanya sendiri. Warna-warni menyayat pipinya. Dia baru bangun dari tidurnya yang panjang berliku.

Mulanya sih kucingku menyambutnya dengan ramah. Akan tetapi, setelah diketahuinya si tetangga yang bertandang belum cuci muka, marahnya pun membakar jiwa. Marahnya pun tidak seperti yang lain kok, Dik. Ini rada aneh, lucu, dan geli kalau aku ngerti apa yang mereka perbincangkan.
Nah, bicaranya pun pelan dan sopan, tetapi sambarannya bisa bikin warga lain jadi pontang-panting. Ibarat geledek menyambar pohon kelapa sampai gundul mentul kayak pentol korek api. He.........he......, apa tahu setelah itu, Dik ? Si tetangga pulang dengan menyimpan malu yang amat sangat, tetapi tidak sakit hati.
Selang beberapa menit setelah itu, konco yang belum cuci muka, eh malah nongol lagi.
“ Apaan tuh si Hitam, datang pakai nangis segala!” gerutu si Belang kucingku. “Emangnya di sini kolam susu apa ? “ katanya lagi.
Si Belang kian terheran-heran manakala si Hitam merangkulnya erat-erat dari belakang sambil menjerit histeris.
“Eong...........eong...........e...........eong......! Abang.........abang !” Dia berteriak kuat sekali sampai-sampai telinga kucingku hampir pekak dibuatnya.
“ Hei, tenang, katanya seraya menampik mulut si Hitam dari kupingnya. Ada apa denganmu, kok belum cuci muka, pakai nangis segala ? “
Si Hitam diam membisu seribu kata. Pikirannya tengah melayang jauh mengingat kejadian yang menimpa ayah dan ibunya.
“ Ayah dan ibuku !” katanya.
“ Kenapa dengan mereka, Tam ?” tanya si Belang heran.
“ Mereka telah tiada, Bang !”
“ Kapan, kok abang nggak tahu ?”
“ Kira- kira dua tiga minggu yang lalu. Waktu itu kan rumah lagi kosong. Abang kan lagi ngantar tetangga yang pindah rumah,” jawab Hitam dengan sedikit memelas.

Mendengar perkataan si Hitam, kucingku seakan merasa bersalah. “ Maafkan abang, Dik. Abang tidak bermaksud menambah luka hatimu. Tadi abang sedikit emosi. Abang kira kau........Ah, sekarang kau tidak usah sedih. Tinggallah bersamaku, di bilik sederhana, yang kubangun dengan cucuran keringatku sendiri,” ajak kucingku kepada si Hitam tetangganya.
“ Baik benar kucingku ya...?”
Malam harinya si Hitam nggak bisa memejamkan mata. Ia gelisah sangat. Keringatnya mengucur deras bagai air terjun ke bumi. Duduk salah berdiri pun enggan menyapa. Gundah membalut kenangan menyaksikan malam menggerogoti nyawa orang tuanya.
Bapak si Hitam terjatuh dari bangunan yang tenah dikerjakan tukang. Soalnya, kayu yang dipijaknya telah rapuh dan mudah patah. Mujur enggan mendekat, malang enggan menjauh. Ibunya mati tersiram air panas insan penghuni bumi yang lagi kesurupan setan.
“Padahal ibuku nggak punya salah kok dihukum begitu kejam. Eong.....eong...!”
“ Apa bapakmu nggak dibawa ke bilik perawatan ?” tanya si Belang kucingku lagi ingin kepastian.
“ Sudah, Bang. Tetapi sayang, dokter Kambing enggan mengoperasi. Soalnya, dokter bilang, biayanya sangat mahal. Kami kan keluarga miskin, manalah mungkin sanggup. Jadinya ya...... tulang leher dan kayu yang menusuk tubuh orang tuaku dibiarkan saja. Eong........eong........!” si Hitam merintih lirih menahan duka yang tak bisa melepaskan diri darinya.
“ Kalau aku jadi dokter........, !” kata si Belang kucingku.
“ Apa, Bang ??” Kata-kata si Belang mengusik lamunan si Hitam.
“ Kalau aku jadi.........”
“ Jadi dokter begitu kan, Bang ?”
“ Ya, aku akan berupaya mendahulukan si sakit ketimbang upah. Aku akan menyelamatkan nyawa dulu daripada......”
“ Ya daripada........!”
“Eong......eong........eong.........!” Si Belang dan si Hitam koor bersama.
“ Aku akan mengikuti jejakmu,Bang!” kata si Hitam penuh yakin.
“ Bagus, bagus, aku akan berusaha menjadi yang teladan, terutama bagi masyarakat kecil, dan menolongnya tanpa mementingkan uang lebih dulu. Kasihan kan mereka kalau tidak ada yang menolong. Kalau bukan kita, siapa lagi ???” sahut kucingku.
Keduanya melambaikan tangan seraya mengharap kejutan-kejutan antik dan aneh.

Makan

Makan nasi nasinya bersantan
nasi gurih penuh kuah
jika ananda hendak makan
jangan lupakan baca bismillah

Ibu masak gulai ikan
ikan sambal lezat rasanya
kalau anda sedang makan
usahakan duduk pada tempatnya

Makan telur bermata sapi
telur digoreng enak dirasa
bila makan banyak saudari
tawarkan kawan untuk merasa

Pecal manis buatan istri
ada sayur campur kacang
bolehlah makan makanan bergizi
asal berhenti sebelum kenyang

Sayur lodeh kuahnya santan
sungguh nikmat berbumbu sasa
makanlah anda segala makanan
asalkan halal terhidar dosa

Nasi goreng telurnya dadar
dimakan ramai banyak keluarga
bila makan dengan sabar
dapat pahala tiada dosa

Nasi soto dicampur gulai
gulai dibeli seorang dara
jadi orang jangan lalai
hindari makan sambil bicara

Beli nasi nasi bersantan
nasi dimakan berbagi-bagi
bila makan ikuti aturan
piring sendok jangan berbunyi

Nasi ditanak menjadi bubur
buburnya dimakan bercampur kuah
selesai makan rajin bersyukur
tentulah nikmat Tuhan tambah

Nasi soto dicampur gulai
bersyukur makan nikmat ditambah
bila makan telah usai
jangan lupakan baca alhamdulillah

Lhokseumawe, 13 Agust 2009
10.30

Belajar

Belajar pagi terasa segar
mandi pagi sungguh nikmat
jika anda rajin belajar
bahagia dunia selamat akhirat

Belajar itu suatu ibadah
berguna betul hari tua
belajar tekun hindari salah
dapat bahagiakan papa mama

Belajar kecil bahagia besar
malas belajar susah jadi
jika lupa kita belajar
kelak menyesal tua nanti

Belajar bahasa sungguh menarik
menyusun kata jadi kalimat
berakhlak mulia sungguh baik
ridholah Allah bahagia akhirat

Lhokseumawe, 11 Agust 2009
09.00

Hindari Narkoba

Rumah besar baru dibeli
dibeli ayah uang berjuta
kalau ingin anak berbakti
jadilah pemuda jauhi narkoba

bila makan harus selera
jika tidak marahlah ibu
kalau kita hindari narkoba
tentulah hidup tenteram selalu

pulang sekolah dapat juara
dapat juara senanglah hati
tidak perlu ngisap narkoba
sebab narkoba merusak diri

generari muda harapan bangsa
harap sejahtera anak negeri
jika orang penghisap narkoba
negaranya rusak hancurlah negeri

Lhokseumawe, 8 Agust 2009
09.00

Rabu, 19 Agustus 2009

Kerja Adalah Pengabdian Suci Insani

Bekerja merupakan sesuatu yang amat didambakan oleh setiap orang. Hal itu ditandai dengan makin banyaknya orang yang mencari pekerjaan. Masyarakat yang membutuhkan pekerjaan pun tak terhitung lagi jumlahnya, mulai dari anak putus sekolah, tua atau muda. Apakah dia kaya atau rakyat jelata sekalipun. Sarjana atau bukan Perkotaan penuh sesak oleh manusia. Bahkan tak jarang, demi sebuah pekerjaan masyarakat merelakan dirinya untuk pergi jauh meninggalkan kampung halaman dan keluarganya sendiri.
Begitu banyak manusia yang butuh pekerjaan, banyak pula cara yang ditempuh. Adakalanya cara yang ditempuh itu tak masuk akal. Pakai jalan pintas atau potong kompas. Masing-masing mencari koneksi. Biar mengeluarkan kocek pun tak jadi soal, yang penting dapat kerja. Ironis sekali memang, tetapi itulah kenyataan yang harus diterima pada masa sekarang ini.
Sebagai pekerja, manusia adalah penghamba yang mengabdikan diri untuk rajanya. Pekerja yang memang benar-benar mendapatkan pekerjaannya dengan jalan yang benar. Pekerjaan yang ditempuhnya pun tidaklah sebatas bahu semata, namun dibarengi dengan niat suci dan perasaan. Sedangkan sebagai topeng, dia memiliki perubahan dari segala hal. Percaya atau tidak, Anda sendirilah yang menilainya.
Sebagai pekerja yang memiliki landasan agama yang kuat, melaksanakan kerja suci yang penuh pengabdian, sudah tentu orang itu bekerja dengan sungguh-sungguh, rajin, ulet, dan tidak kenal putus asa. Tiada waktu luang yang terbuang percuma. Semua waktunya diisi dengan kegiatan yang menu njang pekerjaannya.
Berapa pun detik waktu yang ada akan dipautnya dengan menciptakan suatu perkerjaan yang menguntungkan semua pihak. Yang pasti, kerja yang dilakukan sesuai dengan pendidikan yang pernah dikecapnya. Kerja yang dilakukan pun tidak sembarangan atau serampangan. Semua dilakukan menurut aturan yang ada. Hasilnya baik dan menguntungkan, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat lingkungannya.
Suci tidaknya kerja yang dilakukan tergantung dari insannya juga. Sampai sejauh mana dia memahami makna kerja yang sesungguhnya. Apakah kerjanya itu hanya sekedar memenuhi materi belaka, menurut hati nurani sebagai amanah dari Maha Pncipta, ataukah ada sisi lain yang hanya mengharapkan pujian semata.
Berbahagialah Anda para pekerja yang telah mencurahkan segala perhatiannya terhadap tugas yang dibebankan ke pundak kita. Meskipun pekerjaan bertumpuk, menggunung, yang menurut perkiraan tak mungkin bisa diselesaikan, namun dengan memiliki sifat kesabaran yang tinggi, niscaya tugas pekerjaannya itu dapat diselesaikan. Inilah mungkin yang terbaik. Sebab, orang sabar amat dekat dengan rahmat Tuhan.
Sucinya kerja yang dilakukan bisa jadi karena pekerja melaksanakan tugasnya diiringi rasa cinta yang amat dalam. Bekerja tidak harus ada orang yang mengawasinya, namun melaksanakan kerja itu merupakan suatu panggilan jiwa, bukan karena nafsu badaniah. Pekerja seperti ini ibaratnya mencintai pekerjaan layaknya mencintai dirinya sendiri. Dia merasakan benar nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya.
Menyadari hal demikian, sudah tentu pekerja yang bekerja menurut kesanggupannya dan tidak ngoyo atau serakah, akan merasa puas batinnya. Pekerja itu akan semakin bahagia ketika tahu kerja yang dilakukan itu berhasil sesuai aturan agama. Sebab, dia bekerja memiliki landasan yang sangat kuat semata-mata mengharapkan ridho Allah. Kerja baginya merupakan ibadah suci dan bersih dari noda, yang dilakukannya penuh dengan kreativitas, selaras dengan edukatif yang dimiliki, rajin, jujur, dan amal diwujudkannya dengan sabar, usaha, cinta, dan ikhlas yang mengantarkannya menjadi ihsanulkamil.